Albar tak bisa terpisahkan dengan Icha. Karena baginya, gadis itu adalah sumber wifinya.
"Di zaman modern ini, nggak ada manusia yang bisa hidup tanpa wifi. Jadi begitulah hubungan kita!" Albar.
"Gila ya lo! Pergi sana!" Icha.
Icha berusaha keras menghindar Albar yang tak pernah menyerah mengejar cintanya. Bagaimana kelanjutan cerita mereka?
*Update setiap hari.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Auraliv, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9 - Di Rumah
Hari Minggu pagi datang seperti hadiah tak terduga.
Untuk pertama kalinya setelah seminggu penuh drama batin, Icha bisa bangun tanpa suara alarm sekolah, tanpa seragam yang harus disetrika, dan tanpa tatapan Reina yang masih membayang dari kejauhan.
Ia menggeliat di tempat tidur, lalu meregangkan tangan sambil menguap lebar. Di luar, suara ibu sudah terdengar riuh dari dapur.
“Icha! Bangun, bantuin Ibu dong, ini ayam udah mulai gosong!”
“Lagi Minggu, Bu!” teriak Icha dari balik selimut.
“Makanya bangun, biar Minggu nggak jadi gosong juga!”
Icha terkekeh pelan. Mau seberat apapun pikirannya, rumah selalu punya cara menampar realita: ayam goreng lebih penting daripada galau remaja.
Setelah cuci muka dan mengikat rambut, Icha turun ke dapur. Ibunya sudah berkutat dengan wajan, sementara adiknya, Zio, yang baru berusia 9 tahun, duduk di lantai sambil main robot-robotan.
“Bu, aku bantu apa?”
“Ulek bumbu itu, ya. Nanti lanjut potong tomat. Tapi jangan asal-asalan kayak kemarin, potongan lo kayak korban kebakaran.”
Icha tertawa. “Siap, Bu.”
Sambil mengulek, Icha sesekali melirik ke arah jendela dapur. Hujan semalam menyisakan embun di kaca. Dingin. Tapi hatinya justru terasa hangat—hal yang jarang ia rasakan seminggu ini.
“Cha,” panggil Zio tiba-tiba. “Kakak suka cowok, ya?”
Icha hampir menjatuhkan ulekan.
“Lo ngomong apaan sih, Zio?”
Zio nyengir. “Kemarin aku liat Kakak diem-diem nangis sambil liatin HP. Terus ada foto cowok. Kakak pacaran ya?”
Icha langsung menyambar bantal dapur dan melempar ke arah adiknya, yang langsung kabur sambil tertawa ngakak.
“Zioooo! Dasar bocah!”
Ibunya ikut tertawa. “Kalau memang ada yang disuka, kenapa harus sembunyi? Ibu dulu juga suka malu-malu waktu suka sama Bapak kamu.”
Icha memutar bola mata. “Aku nggak suka siapa-siapa, kok. Cuma… kadang kepikiran aja.”
Ibunya tidak menanggapi, hanya tersenyum sambil mengaduk kuah sup.
“Tapi Ibu seneng deh, kalo kamu bisa cerita. Jangan kayak biasanya, semuanya ditahan sendiri. Cewek kuat bukan yang pendam semua sendirian, tapi yang tahu kapan harus buka hati.”
Kata-kata itu membuat Icha diam sejenak.
Buka hati?
Ia bahkan belum bisa jujur pada dirinya sendiri.
Siang itu, setelah makan bersama, Icha kembali ke kamarnya. Ia menyalakan speaker kecil dan memutar playlist kesukaannya. Musik memenuhi ruang, menghalau sunyi. Ia membuka jendela, membiarkan angin masuk bersama bau rumput basah sisa hujan.
Ia mengambil buku sketsa dan mulai menggambar. Satu garis, dua garis… hingga perlahan membentuk wajah.
Wajah itu punya senyum jahil, poni acak-acakan, dan mata menyipit seperti sedang menertawakan sesuatu.
Icha berhenti.
Tangannya refleks menggambar Albar.
“Dasar gangguan,” gumamnya.
Ia mengambil penghapus dan menghapus sebagian wajah itu. Tapi semakin dihapus, gambarnya semakin kacau. Seperti perasaannya.
Akhirnya ia menutup bukunya dan merebahkan diri di kasur. Menatap langit-langit.
Hari libur seharusnya menyenangkan. Tapi kenapa rasanya kosong?
Ia mencoba membaca novel, bermain ponsel, bahkan membantu Zio membuat kue donat. Tapi tetap saja, pikirannya kembali ke sekolah, ke aula, ke Reina… dan ke satu orang yang sekarang justru tidak mencarinya lagi.
Dulu, Albar ada di mana-mana. Sekarang… dia seperti menghilang.
Dan anehnya, Icha justru merindukan gangguan itu.
Malam menjelang. Keluarganya berkumpul di ruang TV menonton acara kuis. Icha duduk di karpet sambil memeluk bantal.
Saat iklan muncul, ibunya menoleh.
“Cha, minggu depan ulang tahunmu kan?”
Icha mengangguk pelan. “Iya.”
“Mau dirayain gak?”
Icha mengangkat bahu. “Nggak usah rame-rame, Bu.”
Ibunya mengangguk. “Ya udah, nanti kita makan bareng aja di luar.”
Zio ikut menyahut, “Makan sushi ya! Terus Kak Icha boleh ajak temennya! Yang cowok itu lho!”
Icha langsung mencubit pipi adiknya sambil pura-pura kesal.
“Zio, sini deh. Mau Kakak masukin freezer!”
Mereka tertawa bersama.
Dan untuk sesaat, dunia Icha terasa damai. Tak ada Reina. Tak ada cinta rumit. Hanya keluarga… dan kehangatan rumah yang selalu menerima dia apa adanya.