Raka Dirgantara, Pewaris tunggal Dirgantara Group. Tinggi 185 cm, wajah tampan, karismatik, otak cemerlang. Sejak muda disiapkan jadi CEO.
Hidupnya serba mewah, pacar cantik, mobil sport, jam tangan puluhan juta. Tapi di balik itu, Raka rapuh karena terus dimanfaatkan orang-orang terdekat.
Titik balik: diselingkuhi pacar yang ia biayai. Ia muak jadi ATM berjalan. Demi membuktikan cinta sejati itu ada,
ia memutuskan hidup Miskin dan bekerja di toko klontong biasa. Raka bertemu dengan salah satu gadis di toko tersebut. Cantik, cerewet dan berbadan mungil.
Langsung saja kepoin setiap episodenya😁
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rizky_Gonibala, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Makan Mie di Gudang
Pagi di Toko Kita Jaya nggak pernah benar-benar sepi. Rolling door baru setengah kebuka, pelanggan udah ada yang dorong-dorong pintu. Intan berdiri di depan rak minyak goreng, rambutnya dikepang dua, mata setengah merem.
“Mas Raka! Cepet narik rolling door! Ada emak-emak mau rebutan promo lagi nih!”
Dari balik mesin kasir, Raka muncul sambil garuk kepala. Seragamnya kebesaran, rambutnya awut-awutan.
“Baru jam tujuh, Tan… Aku baru tidur tiga jam…”
Intan melotot. “Tiga jam kenapa? Siapa suruh begadang?”
Raka nyengir, narik rolling door dengan suara berderit. Bel pintu berdentang keras. Dua ibu-ibu masuk sambil saling sikut. salah seorang bapak-bapak menjambak salah satu rambut ibu-ibu.
"Bukan saya, Ibu itu!" jawab bapak itu pada ibu yang dia jambak sambil menunjuk ke ibu-ibu lain
Hampir saja terjadi baku hantam antar ibu-ibu kerena ulah si bapak gabut itu. Untung Raka cepat datang dan melerai.
“Bu, antri ya! Nggak rebutan, Bu!” teriak Intan sambil ngatur keranjang belanja.
Raka berdiri di kasir, pegang scanner yang udah mirip senjata perang.
Sejam kemudian, antrian menumpuk sampai rak shampo. Intan mondar-mandir, mulutnya cerewet bagai toa masjid rusak.
“Bu, yang antri di kasir satu ke kasir dua ya! Jangan numpuk! Mas Raka, itu harga minyaknya dicek! Kalau salah scan, emak-emak ngamuk!”
Raka senyum kecut. “Siap, Komandan!”
Sret! Sret! Beep! Beep!
Satu keranjang, dua keranjang, lima keranjang. Raka nyaris tumbang. Tangannya pegal, senyumnya kaku.
Pukul sepuluh lewat, pelanggan mulai sepi. Intan bersandar di rak camilan, ngos-ngosan.
“Mas… makan dulu yuk. Aku lapar banget.”
Raka melihat jam. “Boleh. Di gudang aja, ya?”
Intan mengangguk. Mereka masuk ke gudang belakang, ruangan sempit berdebu dengan rak kardus tinggi menjulang. Di pojokan, ada kursi plastik, dispenser galon, dan dus mie instan yang udah agak penyok.
Raka duduk di kursi, Intan duduk di atas kardus. Dia membuka mie gelas, dan menuangkan air panas.
“Hari ini capek banget…” keluh Intan, meniup mie-nya yang masih mendidih.
Raka membuka mie gelas juga, mengaduk pelan. “Iya. Kalau tiap hari gini, lama-lama otot lengan aku gede gara-gara angkat keranjang.”
Intan tertawa pelan. “Bagus kan. Biar bisa ngangkat aku.”
Raka mendelik. “Lho? Emang mau digendong?”
Intan nyengir. “Nggak, Ih!. Berat. Kamu mah nggak kuat.”
Raka nyorong mie gelasnya ke arah Intan. “Mau coba rasa kari ayam?”
Intan menggeleng. “Mau punya mie sendiri. Nggak mau share.”
Raka pura-pura manyun. “Pelit banget.”
Suara tikus lari di atas rak kardus bikin Intan kaget. “Mas! Ada tikus!”
Raka mendongak. “Tenang, itu sahabatku. Namanya Kim.”
"Kim?, Kim apa?" tanya Intan
"Kim Jong Un." jawab Raka
Intan mau melempar sendok plastiknya. “Kim Jong Un apaan, Artis Kpop yah?”
“Ia, Kim Jong Un artis Kpop. Lagian kalau Kim nggak ada, toko ini udah bangkrut. Dia makan mie kadaluarsa, jadi bisa ketauan barang yang expired.”
Intan ngakak sampe mie tumpah ke paha. “Ish, gila Mas. Bisa-bisanya tikus jadi partner kerja.”
Mereka makan pelan-pelan. Di sela sendok plastik yang beradu, percakapan jadi pelan, nyaris berbisik.
“Mas…” panggil Intan pelan.
“Hm?”
“Kalau kamu punya duit banyak… bakal tetep kerja di tempat kayak gini nggak?”
Raka terdiam. Sendoknya terhenti di udara.
“Kalau punya duit banyak… aku mau punya toko kayak gini. Tapi nggak cuma satu. Banyak. Dan pegawainya orang-orang kayak kamu.”
Intan mengerutkan kening. “Orang kayak aku apaan?”
Raka menatap matanya, senyum kecil. “Yang cerewet, tukang marah, tapi bikin betah.”
Intan menunduk, wajahnya memerah. “Ih… gombal lagi. Mie ini kebanyakan micin apa gimana, sih?”
Tiba-tiba pintu gudang diketuk keras.
“Intan! Raka! Shift kasir gantian! Udah rame lagi tuh!” suara Bos dari luar.
Intan mendengus. “Baru juga setengah mie…”
Raka bangkit duluan. Tangannya mencolek pipi Intan pelan. “Makan mie-nya abisin. Nanti aku gantian jagain kasir.”
Intan mencubit pinggang Raka. “Ih, sok heroik!”
Di kasir, Raka berdiri lagi sambil setengah mengantuk. Pelanggan makin aneh-aneh. Seorang cowok ABG beli kondom, senyum-senyum sendiri.
“Eh, Mas, ini expired nggak ya?” tanya ABG itu malu-malu.
Raka melirik kemasan. “Masih 2026 aman harusnya. Mau saya scan?”
ABG itu mengangguk. Raka pura-pura serius, sambil menahan ketawa.
Intan muncul dari belakang, berdiri di samping Raka. Begitu lihat barang belanja ABG itu, dia nyaris ngakak.
“Masnya mau pake sendiri atau patungan?” tanya Intan iseng.
ABG itu kabur sambil ngomel. Raka nyaris jatuh tertawa.
Setelah pelanggan bubar, Intan menyender ke meja kasir.
“Mas Raka. Aku mau nanya deh.”
“Apa lagi?”
“Kalau kamu punya cewek… kamu suka cewek kayak gimana?”
Raka pura-pura mikir. “Hmm. Pendek. Cerewet. Imut. Tukang marah. Tukang makan mie di gudang.”
Intan nyubit lengan Raka sampe meringis. “Jangan ngaco!”
Raka tertawa, mengusap bekas cubitan. “Ya bener! Kenapa?”
Intan menatap meja kasir. “Nggak apa-apa. Pengen tau aja.”
Pukul empat sore. Hujan tiba-tiba turun deras. Air netes dari genteng toko yang bocor.
Intan berdiri di depan pintu toko, menatap hujan di trotoar.
“Mas, hujannya deres banget. Aku males pulang.”
Raka mendekat, berdiri di sampingnya.
“Mau aku anterin?”
“Pake motor butut itu? Basah kuyup kita, Mas.”
Raka menggaruk kepala. “Ya… di sini aja, tunggu reda.”
Intan mendesah, menatap langit. “Aku suka hujan. Tapi kalo lagi nggak di jalan.”
Raka menoleh. “Kenapa?”
“Kalau di jalan, becek. Kaki kotor. Kalau di rumah… dingin, bisa bikin mie anget. Sambil nonton film-film azab”
"Kamu itu unik yah" ucap Raka
"Unik, Unik bagaimana?" tanya Intan
"Yah Unik aja. Cewek lain hujan-hujan gini, masak mie, makan sambil nonton Drakor atau Artis Kpop, kamu mala suka nonton Azab" jawab raka sambil cengengesan.
Raka terdiam sebentar. Lalu, dia nyeletuk.
“Kalau gitu bikin mie lagi yuk di gudang.”
Intan menatap Raka. “Seriusan? Dua kali makan mie?”
“Ya kan stoknya numpuk di rak. Biar sih kim nggak makan semua. Kasian ntar dia kena tipes."
Intan ngakak. Mereka jalan lagi ke gudang, duduk di kursi sempit. Raka merobek bungkus mie instan, menuang air panas. Intan meniup mie-nya sambil menatap hujan di balik celah jendela gudang yang retak.
Hujan turun makin deras. Gudang makin pengap. Raka menatap Intan yang jongkok di depan dus mie.
“Intan.”
“Hm?”
“Kalau… aku nggak kerja di sini, kamu nyari aku nggak?”
Intan menoleh, wajahnya serius. “Nyari lah. Soalnya cuma kamu partner shift aku yang nggak bikin aku bosen.”
Raka tertawa kecil. “Beneran?”
Intan mengangguk pelan. “Beneran.”
Suara hujan jadi latar sunyi. Mie di tangan mereka berkurang sedikit-sedikit. Hangatnya mie, hangatnya tatapan.
“Mas…”
“Hm?”
“Kamu aneh tau nggak. Kadang kaku, kadang gombal. Kadang bego, kadang jenius.”
Raka senyum tipis. “Mungkin barcode hatiku error.”
Intan tertawa pelan. “Mungkin emang kita berdua error.”
Mereka saling pandang. Mie habis. Hujan reda pelan-pelan. Tapi hati yang menempel di gudang rak diskon itu rasanya nggak mau bubar.
Bersambung.