Kisah seorang gadis bernama Kanaya, yang baru mengetahui jika dirinya bukanlah anak kandung di keluarga nya saat umurnya yang ke- 13 tahun, kehadiran Aria-- sang anak kandung telah memporak-porandakan segalanya yang ia anggap rumah. Bisakah ia mendapatkan kebahagiaannya kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jeju Oranye, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BUK- 19 : penolakan Kanaya terhadap Revan
Gedung 30 lantai dengan kaca-kaca berkilau berdiri megah di pusat kota. Logo 'Arkatama Group' terpampang besar di fasad bangunannya. Perusahaan yang bergerak di bidang infrastruktur dan properti itu dikenal sebagai salah satu perusahaan raksasa nasional, dengan omzet mencapai triliunan rupiah setiap tahunnya. Ini adalah perusahaan turun temurun dari keluarga arkatama dan sudah berjalan di dua generasi, dengan tuan Abiyasa yang sekarang memegang jabatan sebagai presdir utama. Dan kedua anaknya, yakni si sulung Areksa dan yang kedua, Rayyan ia persiapkan untuk saling bahu membahu meneruskan perusahaan ini dan mengembangkannya di masa depan.
Sementara saat ini, di ruang rapat lantai atas, suasana tegang sedang terjadi. Areksa, pria tampan yang baru saja pulang dari mata kuliahnya itu langsung mendarat ke kantor untuk membicarakan hal penting bersama ayahnya, dan mengajak Rayyan juga untuk ikut serta, biasanya mereka memang akan berunding di ruang rapat seperti ini jika ada masalah yang terjadi di rumah. Saat ini Areksa sedang berjalan mondar-mandir dengan wajah gelisah. Jas hitamnya rapi, tapi gerakannya menunjukkan jika ia sedang marah.
“Ini nggak bisa dibiarkan, Pah!” suara Areksa meninggi. “Kanaya diperlakukan kayak sampah di panti asuhan itu. Ada kekerasan, ada perundungan. Kita harus laporin ini ke pihak berwajib!” katanya dengan menggebu-gebu, setelah peristiwa kemarin ia tak bisa lagi terus mengabaikan masalah ini dan itu sebabnya ia meminta ayahnya dan Rayyan berkumpul untuk membicarakan nya. Menyesal ia kemarin karena telah mengirimkan uang donatur untuk panti asuhan itu, ia kira adiknya tinggal dengan nyaman dan aman di sana tapi ternyata itu hanya angan-angan nya saja.
Di kursi kebesaran nya, tuan Abiyasa, pria paruh baya dengan aura karismatik, mengangguk-angguk, setuju. Meski kemarin terlibat perdebatan sengit tapi jujur ia tak bisa mengabaikan putrinya apalagi setelah permasalahan ini baru ia ketahui kemarin, Kanaya yang pergi begitu saja dengan ekspresi penuh luka terus membayangi pikiran nya dan dia merasa bersalah. "Kamu benar Areksa, kita telah menaruh kepercayaan penuh pada panti itu tapi ini yang kita dapatkan! kita harus segera membuat tindakan! "
Areksa menatap ayahnya dengan ambisi di mata, ia mengangguk dengan penuh menggebu-gebu.
Namun Rayyan, anak kedua yang duduk santai dengan tangan bersilang di dada, langsung menyela. Senyumnya tipis, tapi nadanya tajam.
“Laporin? Lo serius, Sa?” Rayyan mendengus. “Kalau berita itu sampai keluar, media bakal bikin rame. Nama perusahaan kita bisa ancur. Orang-orang nggak akan liat kita sebagai keluarga peduli, tapi malah bilang kita nggak becus ngurus anak sendiri, " katanya dengan begitu tajam menusuk.
Areksa menghentikan langkahnya, menatap adiknya tajam. “Ray, ini soal kemanusiaan, bukan citra perusahaan. Kanaya adik kita Ray! "
Rayyan berdiri, wajahnya dingin. “Yang lo sebut ‘adik kita' itu bahkan bukan darah kita. Jangan samain Kanaya sama kita.”
Suasana mendadak membeku. Tuan Abiyasa terdiam, matanya bergantian menatap kedua putranya.
Areksa menggeleng, rasanya tidak percaya dengan sikap Rayyan ini. "Setelah peristiwa kemarin, apa lo sama sekali gak merasa kasihan sama Kanaya, Rayy? " ia berharap masih ada sisi kemanusiaan Rayyan untuk Kanaya.
Namun Rayyan menanggapinya dengan sikap acuh tak acuh. "Kasihan sih, tapi ya mau gimana lagi kan? toh kejadiannya juga udah lewat dan Kanaya juga udah tinggal di sini lagi... jadi buat apa di perpanjang? " katanya dengan begitu santai membuat ruangan itu sunyi seketika dan mereka hanya terdiam dengan pemikiran masing-masing.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Kembali di perpustakaan sekolah saat ini, Kanaya mengangkat kepalanya ketika tiba-tiba di depannya sudah berdiri tiga cowok populer ; Revan, Gilang, dan Niko. Di belakang mereka, segerombolan teman cewek maupun cowok sudah menonton dengan wajah berbinar penuh penasaran, ada juga yang ketus dan melirik sinis.
Kanaya mendadak menyipitkan mata, instingnya mengatakan jika semua ini sudah di rancang dengan baik, ada yang ingin mereka sampaikan kepadanya.
Revan, dengan senyum percaya diri, melangkah lebih dekat. “Halo Kanaya, gue Revan mahendra dan gue udah lama perhatiin lo. Gue suka lo. Jadi… mau nggak jadi pacar gue?” kata pemuda itu dengan begitu lugasnya dan penuh percaya diri.
Dan setelah Revan mengucapkan itu, perpustakaan langsung di landa kehebohan. Cewek-cewek seketika berbisik panik.
“Ya ampun, Revan nembak beneran cewek itu?!”
“Kenapa harus Kanaya, si anak pungut itu?!”
"Dia masih anak baru tapi udah bisa banget narik perhatian nya Revan, iri deh! "
"Apa sih yang dilihat dari dia? cantik juga enggak, sebel deh! masih cantikan gue kali! "
Berbagai tanggapan, berbagai komentar langsung meluncur bak desingan peluru, ruang perpustakaan yang semula senyap mendadak ricuh dengan bisik- bisik riuh rendah para siswa-siswi nya.
Kanaya menutup bukunya perlahan. Ia menatap Revan dengan ekspresi tenang, tanpa terlihat terintimidasi sedikit pun. Sebenarnya dia tidak tahu murid cowok ini, sepertinya dia dari kelas IPA, padahal mereka tidak saling berinteraksi, Kanaya mengenalnya pun tidak, entah apa yang di lihat pemuda ini darinya. Kecantikan? dia merasa tidak secantik itu untuk di sukai, apalagi di sekolah ini banyak murid- murid cewek yang jelas cantik dan bergaya hedon. Namun apapun itu, jelas Kanaya tidak bisa menerima perasaan pemuda ini. Ia tak ingin memberinya harapan juga. Jadi Kanaya memutuskan berdiri dan menyelesaikannya saat ini juga.
“Gue hargain perasaan lo, Van. Tapi sorry, gue nggak bisa.”
Sejenak hening. Lalu bisik-bisik jadi riuh lagi.
“Hah? Dia nolak?!”
“Anak IPS nolak Revan Mahendra?!”
"Si anak pungut itu berani- berani-beraninya nolak most wanted kebanggaan sekolah ini! "
Gilang melongo, lalu terkekeh sinis. “Serius lo? Lo tau kan, banyak cewek ngantri buat sekedar dipanggil namanya sama Revan?!” katanya dengan nada sarkastik.
Kanaya mengangkat bahu. “Terus kenapa? Kalau gue nggak suka, ya gue nolak. Sesimple itu.”
Jawabannya membuat suasana makin panas. Niko yang dari tadi diam hanya tersenyum samar, entah kagum atau sekadar menahan tawa.
Keributan makin besar, sampai penjaga perpustakaan datang mengusir. “Hei! Ini perpustakaan, bukan pasar malam! Keluar kalau mau ribut!”
Akhirnya, Revan dkk terpaksa mundur. Revan menatap Kanaya sekali lagi, matanya penuh kekecewaan bercampur gengsi yang tercabik.
Kanaya kembali duduk, membuka bukunya lagi. Sama sekali tak peduli dengan tatapan tajam para cewek yang sudah membencinya.
Aria juga ada di sana, berdiri dengan gengnya, ia berada di tengah dengan kedua tangan terlipat di dada, wajah kesal dan geramnya tak bisa ia sembunyikan. "Lagi-lagi si anak pungut itu ngambil spotlight gue! harusnya gue yang ada du posisi dia saat ini! "
Ucapnya dalam hati dengan perasaan yang menggebu-gebu karena emosi. Usahanya mencemarkan nama Kanaya dengan menyebarkan informasi jika dia anak pungut ternyata belum cukup.
Ia harus melakukan yang lebih lagi agar Kanaya di benci oleh seluruh penghuni sekolah ini!
*****