NovelToon NovelToon
Membawa Benih Mafia

Membawa Benih Mafia

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Lari Saat Hamil / Aliansi Pernikahan / Iblis
Popularitas:3.2k
Nilai: 5
Nama Author: CantiknyaKamu

Shanca Evalyne Armandez tak pernah meminta hidup seperti ini. Sejak kedua orang tuanya tewas dalam kecelakaan misterius, ia menjadi tawanan dalam rumah sendiri. Dihabisi oleh kakak tirinya, dipukuli oleh ibu tiri yang kejam, dan dijual seperti barang kepada pria-pria kaya yang haus kekuasaan. “Kau akan menyenangkan mereka, atau kau tidak akan makan minggu ini,” begitu ancaman yang biasa ia dengar. Namun satu malam mengubah segalanya. Saat ia dipaksa menjebak seorang pengusaha besar—yang ternyata adalah pemimpin mafia internasional—rencana keluarganya berantakan. Obat yang ditaruh diam-diam di minumannya tak bekerja seperti yang diharapkan. Pria itu, Dario De Velluci, tak bisa disentuh begitu saja. Tapi justru Shanca yang disentuh—dengan cara yang tak pernah ia duga.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CantiknyaKamu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

MBM

Masih di Rumah Tua Sancha – Pagi Menjelang Siang

Sancha masih terduduk di sofa. Wajahnya pucat dan lelah karena konflik emosi dan ketakutan yang menumpuk sejak tadi pagi. Ia mencoba tetap waspada, tapi tubuhnya perlahan mulai melemah karena tekanan mental dan kondisi kehamilan mudanya.

Sementara itu, Alaska berdiri di dekat jendela, menatap ke luar. Pandangannya tajam, penuh perhitungan. Ia menyentuh earpiece kecil di telinganya.

“Bawa suntikan penenang. Dosis ringan. Jangan ganggu kandungannya.”

Tak lama kemudian, Amar masuk lewat pintu belakang dengan koper kecil berisi perlengkapan medis darurat. Wajahnya terlihat ragu saat membuka koper tersebut.

“Tuan… maaf, apa tidak apa-apa bius ini terkena kandungan? Dia masih sangat lemah, usia kandungan juga baru beberapa minggu…”

Alaska menoleh dengan cepat, wajahnya penuh ketajaman. Suaranya naik satu oktaf.

“Kau jadi bodoh sekarang, Amar? Apa otakmu itu sudah tumpul sehingga kau lupa dasar-dasar farmakologi?”

Amar langsung tertunduk, diam. Ia paham, jika Alaska sudah menggunakan nada seperti itu, berarti tidak ada ruang untuk membantah.

“Obat ini hanya membuatnya tertidur selama beberapa jam. Tidak akan mempengaruhi janin. Aku lebih memilih itu daripada membuatnya histeris sepanjang perjalanan.”

Alaska mengambil sendiri suntikan tersebut, lalu dengan tenang menyuntikkannya ke lengan Sancha. Sancha sempat meringis pelan, sebelum tubuhnya perlahan-lahan merosot tak sadarkan diri.

Alaska berdiri mematung beberapa detik, menatap wajah tenang Sancha dalam tidur paksanya.

“Kau keras kepala, tapi anak ini butuh perlindungan. Dan kau… butuh dilindungi dari dirimu sendiri.”

Tanpa banyak bicara lagi, Alaska membungkuk, menggendong tubuh Sancha dengan kedua lengannya. Gaun putih yang ia kenakan menjuntai lembut, dan rambut panjangnya meluruh ke bahu Alaska.

“Pastikan rumah ini terkunci rapat. Tidak boleh ada satu jejak pun kalau dia pernah tinggal di sini,” ucap Alaska kepada Amar sambil melangkah ke mobil.

Amar mengangguk dan segera mengikuti dari belakang.

Di Dalam Mobil – Menuju Bandara Pribadi

Sancha tertidur di kursi penumpang belakang, dengan sabuk pengaman dipasang rapi. Alaska duduk di sampingnya, diam. Matanya terus menatap wajah itu—wajah yang dulu ia anggap musuh, namun kini menjadi ibu dari anaknya.

“Aku tidak tahu kenapa nasib kita bertabrakan seperti ini, Sancha…” pikirnya.

“…tapi kau tidak akan kabur lagi,atau harus melahirkan anak ini terlebih dulu…!”

Beberapa Jam Kemudian – Jet Pribadi Lepas Landas Menuju Kanada

Langit mendung mengiringi penerbangan itu. Di dalam kabin, suasana senyap. Hanya deru mesin dan detak hati Alaska yang terasa makin berat.

Sancha masih tertidur. Tapi sebentar lagi, semuanya akan berubah.

Kamar Sayap Timur – Siang Hari

Pintu kamar terbuka perlahan dengan suara klik pelan.

Sancha langsung menoleh, matanya merah dan basah. Nafasnya memburu, tubuhnya gemetar. Ia tahu siapa yang datang.

Alaska.

Masuk dengan langkah tenang, namun setiap langkahnya terasa seperti dentuman bagi jantung Sancha. Pintu kembali tertutup otomatis di belakangnya.

“Keluar dari kamar ini!”

teriak Sancha lantang, air mata meleleh di pipinya.

“Kau penculik! Gila! Kau tidak berhak memperlakukan aku seperti ini!”

Alaska menatapnya tajam. Tak ada sedikit pun ekspresi bersalah di wajah dinginnya. Ia hanya berdiri, memandangi Sancha yang mulai kehilangan kendali.

Sancha menunduk lalu mengangkat wajahnya dengan suara parau dan marah.

“Kenapa kau bawa aku ke sini?! Kau pikir aku boneka? Kau pikir kau bisa kendalikan hidupku?!”

Alaska mendekat perlahan. Suaranya tenang, tapi tajam seperti belati.

“Apa kau lupa ini juga ulahmu sendiri, Sancha…?”

Sancha membeku. Tapi ia mencoba melawan, dengan emosi penuh.

“Itu… bukan keinginan ku! Itu semua keinginan ibu tiriku! Aku dipaksa! Dijebak!”

Alaska hanya mengangkat alis.

“Tapi kau tetap melakukannya. Kau masuk ke kamar ku,kau mendekatiku, kau menyelinap di saat yang paling tepat.”

“Dan sekarang, kau panik karena akhirnya kau tak bisa lari dari permainan yang kau mulai sendiri?”

Sancha mendekat. Suaranya semakin serak, tubuhnya menggigil.

“Itu bukan permainan! Aku tidak pernah ingin menjebakmu, aku bahkan muak menyebut nama mu!”

Tapi Alaska tak memberi celah. Ia maju satu langkah lebih dekat.

“Kau bilang tidak ingin, tapi apa kau lupa?”

“Kau datang ke ruanganku dengan niat menjebak, bukan? Kau menyusup, menunggu aku sendirian. Kau pikir aku bodoh tidak tahu semua itu dirancang?”

Sancha memukul dada Alaska sekuat tenaga.

“AKU TIDAK PUNYA PILIHAN!”

“IBU TIRIKU MENGANCAM AKU! MENGANCAM NYAWA AYAHKU! APA KAU PIKIR AKU INGIN MELAKUKANNYA?!”

Ia menangis sejadi-jadinya. Pundaknya bergetar. Tubuhnya merosot ke lantai dengan lemah.

Alaska menatapnya dari atas. Wajahnya mulai kehilangan ketajaman itu. Ia seperti terjebak antara amarah, dendam, dan kenyataan yang perlahan berubah arah.

“Kau tetap masuk ke dalam lingkaran saya, Sancha…” ucap Alaska lirih namun tegas.

“Dan kau akan tetap di sini… sampai anak itu lahir.”

Sancha menatapnya dari bawah, gemetar, tercekik oleh rasa takut dan rasa terkhianati.

“Kau monster…”

Alaska diam. Ia tak mengelak. Tapi untuk sesaat, ada keraguan kecil di mata dinginnya.

Keraguan… atau luka yang tidak diakuinya.

Dan saat pintu kembali tertutup, Sancha sadar bahwa dirinya bukan hanya terkurung dalam mansion ini tapi dalam jaring dendam dan kekuasaan milik pria yang mungkin lebih rusak dari dirinya.

Setelah Konfrontasi

Kamar Sancha, Mansion Alaska

Sancha masih terduduk di lantai, tubuhnya gemetar, air mata terus mengalir, tapi Alaska hanya menatapnya untuk beberapa detik sebelum akhirnya membalikkan badan dan membuka pintu kamar itu.

Ia melangkah keluar tanpa menoleh sedikit pun.

Pintu tertutup otomatis dengan suara klik tajam.

Sancha hanya bisa memandangi pintu itu dalam diam, namun dalam dadanya ada teriakan yang tak bisa dikeluarkan—karena ia tahu, sejak detik itu, dirinya adalah tawanan di mansion ini.

Koridor Depan Kamar Sancha

Begitu keluar, Alaska menatap dua pengawal utamanya yang sudah bersiaga di depan pintu. Amar juga sudah berdiri menunggu dengan catatan kecil di tangan.

Suara Alaska terdengar datar dan pelan, tapi mengandung tekanan yang membuat siapa pun enggan membantah:

“Tempatkan dua orang di depan kamar ini. 24 jam. Tidak ada satu pun orang yang boleh masuk tanpa izin dariku.”

Ia lalu menoleh sedikit ke arah Amar.

“Pastikan maid masuk empat kali sehari. Pagi, siang, sore, malam. Bawa makanan, cek fisik. Tapi tidak ada percakapan panjang. Sekali pun.”

Amar mengangguk cepat, mencatat.

“Sistem pengawas tetap aktif. Pastikan semua kamera bekerja, dan… jangan beri akses ke luar. Tidak ada komunikasi. Tidak ada jalan keluar, Amar. Ini… penahanan lunak.”

Amar menatap wajah dingin Alaska, lalu bertanya perlahan:

“Tuan… sampai kapan dia akan dikurung seperti ini?”

Alaska menarik napas pelan, lalu menjawab tanpa ragu: “Sampai anak itu lahir.”

Kemudian ia melangkah pergi. Setiap langkahnya menggema panjang di koridor marmer itu, meninggalkan perintah dingin yang kini menjadi hukum di mansion tersebut.

Di Dalam Kamar

Sancha menatap ke luar jendela, napasnya masih kacau. Ia sadar…Ini bukan rumah.Bukan tempat tinggal.Tapi sangkar emas, dan dirinya adalah burung yang sedang mengerami ancaman.

1
Faulinsa
lanjut kak
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!