Lima tahun bukan waktu yang singkat untuk melupakan—terutama bagi Althea Reycecilia Rosewood, wanita dewasa berusia 27 tahun berparas cantik, dibalut pakaian casual yang membuatnya terlihat elegan, tatapan lembut dengan mata penuh kenangan. Setelah lama tinggal di luar negeri, ia akhirnya kembali ke Indonesia, membawa harapan sederhana 'semoga kepulangannya tak menghadirkan kekecewaan' Namun waktu mengubah segalanya.
Kota tempat ia tumbuh kini terasa asing, wajah-wajah lama tak lagi akrab, dan cerita-cerita yang tertunda kini hadir dalam bentuk kenyataan yang tak selalu manis. Namun, di antara perubahan yang membingungkan, Althea merasa ada sesuatu yang masih mengikatnya pada masa lalu—benang merah yang tak terlihat namun terus menuntunnya kembali, pada seseorang atau sesuatu yang belum selesai. Benang yang tak pernah benar-benar putus, meski waktu dan jarak berusaha memisahkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon About Gemini Story, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Panggung Malam Ini
Malam itu, Zurich tampak lebih hidup dari biasanya. Kembang api kecil mewarnai langit, dan hotel Bellerive Grand yang elegan di tepi Danau Zurich sudah dipenuhi cahaya hangat dan tawa para tamu undangan. Hari ini bukan hanya malam pergantian tahun—ini adalah malam emas bagi pasangan klien paling berharga dalam sejarah kerja sama mereka, Mr. dan Mrs. Legard, yang merayakan ulang tahun pernikahan ke-50 mereka.
Lobi hotel yang megah memantulkan cahaya lampu kristal yang menggantung tinggi. Karpet merah terbentang menuju ballroom utama, di mana musik orkestra klasik mengalun pelan menyambut para tamu. Aleron dan Althea melangkah masuk beriringan, elegan dalam balutan busana malam senada berwarna hitam pekat.
Al mengenakan tuksedo hitam klasik dengan dasi satin dan sepatu kulit mengilap yang sempurna. Sementara Althea tampil memukau dalam gaun malam hitam panjang berpotongan sederhana namun anggun, dengan punggung terbuka dan detail renda halus di bagian lengan. Rambutnya disanggul rendah, menyisakan beberapa helaian yang membingkai wajahnya dengan lembut. Kalung infinity pemberian Al menghiasi leher jenjangnya, mencuri perhatian dengan kemilau perak tenang.
Baby Cio tertidur pulas dalam stroller hitam yang serasi. Ia dibungkus selimut hangat berbahan kasmir, tak sedikit pun terganggu oleh keramaian dan gemerlap sekitar. Seolah mengerti peran ‘diam’nya malam itu—ia begitu tenang, seperti mengerti bahwa kedua orang tuanya sedang berada dalam dunia yang tak bisa ditinggalkan.
Tatapan para tamu segera tertuju pada mereka bertiga saat mereka memasuki ballroom. Bisik-bisik pujian dan kekaguman terdengar samar.
“Mereka luar biasa serasi.”
“Itu anak mereka? Astaga, tampan dan sekaligus sangat menggemaskan...”
Al dan Althea tetap tersenyum tenang, mengangguk ramah pada siapa pun yang menyapa. Tak lama, mereka bertemu dengan pasangan yang menjadi pusat malam itu.
“Selamat malam, Mr. dan Mrs. Legard,” sapa Al dengan sopan dan penuh respek. “Selamat ulang tahun pernikahan kalian yang ke-50. Semoga kebahagiaan dan cinta kalian terus tumbuh di setiap waktu yang Tuhan berikan.”
Mrs. Legard tersenyum hangat, memegang tangan suaminya dengan lembut. “Selamat malam, Mr. Moonstone... dan nona Rosewood—atau, haruskah aku mulai memanggilmu Mrs. Moonstone?”
Ia tertawa ringan, lalu melanjutkan, “Terima kasih, Mr. dan Mrs. Moonstone. Kami benar-benar senang kalian datang malam ini.”
Althea hanya sempat tersenyum tipis, belum sempat mengoreksi.
Tatapan Mrs. Legard kemudian berpindah pada stroller di samping mereka, tempat Baby Cio masih tertidur dengan damai.
“Kalian tidak pernah mengatakan bahwa kalian sudah menikah, dan memiliki bayi.” Ia menoleh ke Althea, mata cokelatnya yang lembut memancarkan ketulusan. “Kau sangat cantik dan anggun, Mrs. Moonstone. Dan sungguh berbakat, kepala desainer yang luar biasa.”
Ia lalu menoleh ke Al. “Kau sangat beruntung, Mr. Moonstone. Istrimu... dan putra kalian, sangat menggemaskan. Tampan sekali, perpaduan kalian berdua—walaupun,” ia menyeringai kecil, “aku rasa dia lebih mirip denganmu.”
Thea hanya tersenyum lemah, tidak membantah. Ia sendiri tak tahu bagaimana menjelaskan asal usul Baby Cio kepada siapa pun... terlebih malam ini. Al pun melangkah masuk dengan ketenangannya yang biasa.
“Terima kasih,” ucap Al tulus. “Ya, aku sangat beruntung memiliki mereka di sisiku. Dan kami berdua juga sangat berterima kasih atas kesempatan yang telah kalian berikan, untuk mempercayakan proyek Phoenix kepada kami. Itu adalah kehormatan besar.”
Mrs. Legard menatap mereka sebentar sebelum mengangguk penuh arti. “Aku tidak pernah salah memilih orang yang bekerja dari hati. Dan kalian... kalian terlihat seperti keluarga yang tumbuh dari cinta dan kepercayaan.”
Mereka bertiga pun melanjutkan obrolan santai, membahas proyek, masa depan, dan harapan di tahun yang akan datang. Thea masih terdiam, sesekali mencuri pandang ke arah Al dan Baby Cio. Ia masih belum bisa benar-benar menjawab siapa mereka saat ini. Tapi untuk malam itu... mungkin, ia akan membiarkan dunia melihat mereka seperti ini. Pasangan muda dengan seorang bayi mungil yang tidur tenang, seolah dunia di sekitarnya selalu aman.
♾️
Suasana ballroom masih dipenuhi obrolan hangat, tawa, dentingan gelas kristal, dan musik klasik yang merayap pelan. Namun tiba-tiba, terdengar suara sendok kecil yang dengan ritmis mengetuk gelas sampanye—sebuah tanda universal dalam pesta elegan bahwa seseorang meminta perhatian.
Semua tamu pun secara perlahan mulai terdiam dan menoleh ke arah panggung kecil di sisi ballroom. Di sana, berdiri Mr. Legard dengan senyum lebar di wajahnya, menggenggam tangan istrinya dengan lembut.
“Sahabat-sahabatku yang kami cintai,” ucap Mr. Legard, suaranya tegas namun penuh kelembutan, “malam ini adalah malam yang sangat berarti bagi kami. Lima puluh tahun yang lalu, aku berdiri di altar menatap wanita yang kini berdiri di sampingku. Waktu memang membawa kita ke berbagai tempat, melalui badai dan musim semi, namun satu hal yang tak pernah berubah—aku selalu memilihnya. Setiap hari.”
Suasana menjadi hening, hanya suara lembut dari alunan string section yang mengiringi. “Ia adalah rumah bagiku, pelabuhan tenang di setiap kekacauan dunia. Cintaku padanya tak pernah menjadi pertanyaan—dan hari ini, aku ingin mengucapkan terima kasih telah bertahan, mencintaiku, mempercayaiku, dan menjadi sahabat terbaik yang Tuhan berikan.”
Beberapa tamu tampak menyeka mata mereka, terharu dengan ungkapan tulus dari pria separuh baya itu. Mrs. Legard lalu mengambil alih mikrofon, senyumnya begitu damai. “Aku selalu percaya bahwa cinta bukanlah tentang kata-kata, tapi tentang bagaimana kita memilih satu sama lain setiap harinya. Dan aku bersyukur, bahwa aku memilih pria yang tak pernah menyerah padaku. Pernikahan bukan tentang sempurna, tapi tentang keberanian untuk tetap bersama saat segalanya tak sempurna.”
“Dan malam ini,” sambungnya, “aku juga ingin mengucapkan terima kasih kepada kalian semua yang telah menjadi bagian dari perjalanan kami. Kami sangat bersyukur.”
Mr. Legard kemudian kembali mengambil mikrofon, matanya berkilau dengan kebanggaan. “Untuk merayakan lima puluh tahun kebersamaan kami, aku telah mempersiapkan sesuatu yang sangat berarti. Sebuah simbol, bukan hanya untuk kami, tapi juga untuk semua orang yang percaya bahwa cinta bisa bangkit dari apa pun, dan menjadi lebih kuat... seperti Phoenix.”
Para tamu bergumam pelan, penasaran. “Dan untuk itulah, aku ingin memanggil dua orang yang telah menerjemahkan cerita kami menjadi karya seni... Mr. Moonstone dan Mrs. Rosewood—atau,” ia melirik sambil tersenyum penuh makna, “Mrs. Moonstone.”
Seketika mata para tamu tertuju pada mereka berdua. Al berdiri, lalu dengan tenang mendorong stroller Baby Cio yang kini telah terbangun. Bayi kecil itu hanya menatap dengan mata bulatnya, tenang dan memukau, membuat beberapa tamu wanita berbisik kagum, “Tampan sekali... persis perpaduan mereka.”
Althea berdiri di samping Al, tampak tenang meski degup jantungnya terasa menggema. Gaun hitamnya memantulkan cahaya lampu gantung, dan untuk beberapa detik, mereka benar-benar tampak seperti sepasang suami istri yang membawa presentasi penting... bersama anak mereka.
Setelah sampai di depan, Al memberikan gestur kecil ke Thea untuk memulai. Althea mengambil mikrofon, lalu menghela napas pelan. “Selamat malam, semuanya. Terima kasih telah menerima kami di tengah perayaan yang luar biasa ini. Phoenix... bukan hanya koleksi perhiasan. Ia adalah simbol kelahiran kembali, keberanian untuk bangkit setelah kehilangan, dan kekuatan untuk mencintai lagi meski hati pernah patah.”
Ia lalu menoleh ke layar di belakang mereka yang kini menampilkan sketsa desain utama—sebuah liontin Phoenix berbalut sayap yang membentuk pola setengah hati, melingkari batu berlian yang melambangkan inti hubungan.
“Desain ini terinspirasi dari kisah cinta Mr. dan Mrs. Legard. Bagaimana mereka bangkit dari setiap badai, dan kembali memilih satu sama lain. Sayap Phoenix yang membungkus batu intan di tengahnya melambangkan perlindungan, keabadian, dan kekuatan hati.”
Al lalu menambahkan, suaranya tenang. “Kami menggunakan kombinasi logam mulia platinum dengan detail ukiran tangan, karena setiap garisnya membawa pesan: tak ada pernikahan yang benar-benar sempurna, tapi setiap pasangan bisa menciptakan keindahan dari prosesnya.”
Tepuk tangan langsung pecah setelah mereka selesai.
Mr. dan Mrs. Legard tampak benar-benar tersentuh. Mrs. Legard bahkan tak bisa menyembunyikan air matanya yang mengalir pelan. “Ini... lebih dari sekadar perhiasan,” ucapnya, “ini adalah warisan emosi yang kalian buat dari kisah kami.”
Para tamu ikut memberikan tepuk tangan panjang. Beberapa bahkan terlihat mengangguk dengan kagum, dan terdengar komentar lirih, “Kalau Phoenix seperti ini... pasti akan sangat ditunggu saat launching.”
“Ini... luar biasa,” kata Mr. Legard dengan mantap. “Kalian berhasil menyentuh hati kami dengan karya yang tak hanya indah, tapi penuh makna. Phoenix akan menjadi sesuatu yang dikenang.”
Tepuk tangan masih menggema di ballroom mewah itu ketika Althea kembali melangkah ke mikrofon. Namun kali ini, tatapannya berbeda—ada ketenangan dan haru yang dalam di matanya.
Dengan perlahan, ia meraih sesuatu dari tangan Al. Sebuah kotak kecil berwarna perak berhiaskan ukiran lembut sayap Phoenix. Ia memeluk kotak itu dengan kedua tangan sebelum kembali bicara.
“Dan... ada satu hal lagi yang ingin kami persembahkan malam ini,” ucapnya lembut, membuat semua tamu kembali diam dan memperhatikannya.
Ia membuka kotak itu perlahan, memperlihatkan sepasang cincin elegan yang berkilau sempurna di bawah cahaya lampu gantung. Desainnya begitu unik—berbentuk spiral melingkar seperti ekor Phoenix yang membara, dengan batu safir biru tua di bagian tengah, dikelilingi oleh ukiran halus berbentuk api dan bulu sayap.
“Inilah...” suara Althea sedikit bergetar, “cincin yang kami beri nama ‘Immortality: Journey of Phoenix Love’. Sebuah simbol keabadian dari perjalanan cinta Mr. dan Mrs. Legard.”
Ia menjelaskan dengan perlahan, setiap detail dari cincin tersebut:
“Lingkar spiral melambangkan waktu—perjalanan tanpa ujung. Safir biru tua di tengah melambangkan keteguhan hati yang tetap bersinar bahkan dalam gelap. Ukiran sayap Phoenix menggambarkan ketahanan, semangat, dan kekuatan untuk mencinta dengan tulus... bahkan setelah melewati luka.”
Althea berhenti sebentar, matanya tertuju pada pasangan Legard yang saling menggenggam tangan dengan erat. “Cincin ini bukan sekadar perhiasan. Ia adalah cerita. Kisah tentang bagaimana dua jiwa memilih untuk bertumbuh bersama, dalam suka maupun duka. Cinta yang tidak lekang oleh waktu. Dan hari ini, kami merasa terhormat untuk menjadikan cincin ini simbol dari cinta kalian.”
Lalu, dengan perlahan dan penuh hormat, Althea melangkah maju ke arah pasangan Legard. Ia berlutut sedikit dan menyerahkan kotak berisi cincin itu ke tangan Mr. Legard.
Pasangan lansia itu menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Mrs. Legard bahkan menutup mulutnya, nyaris tak percaya.
Mr. Legard menerima cincin itu, lalu menatap Althea dan Al secara bergantian. “Terima kasih... kalian membuat malam ini jauh lebih berarti dari yang pernah kami bayangkan.”
Dengan tangan gemetar penuh cinta, Mr. Legard membuka kotak, mengambil salah satu cincin, lalu memakaikannya di jari manis istrinya dengan lembut dan perlahan, seolah waktu berhenti sesaat.
Seketika riuh tepuk tangan pecah dari seluruh penjuru ballroom. Beberapa tamu berdiri memberi standing ovation, sementara beberapa lainnya tak bisa menahan air mata haru yang jatuh.
Mrs. Legard tersenyum, tangannya tak lepas dari tangan suaminya.
“Cincin ini... akan selalu menjadi pengingat. Bahwa cinta sejati itu tak hanya hidup, tapi juga bisa hidup kembali—seperti Phoenix.”
Setelah cincin dikenakan dan tepuk tangan mulai mereda, Mr. Legard menatap jemari istrinya dengan senyum nostalgia yang mendalam. Ia menggenggam tangan sang istri lebih erat, lalu melirik para tamu yang menatap mereka dengan penuh perhatian.
“Boleh aku ceritakan sedikit tentang awal mula semuanya?” ucap Mr. Legard, suaranya tenang namun penuh getaran. Semua mata kini kembali tertuju padanya.
“Lima puluh tahun lalu, aku adalah pemuda keras kepala yang sedang mencoba mencari jati diri. Saat itu aku menghabiskan waktu di Zermatt, sendirian. Penuh kebingungan tentang masa depan, tentang cinta, dan tentang apa yang benar-benar aku cari dalam hidup ini.”
Ia menoleh ke istrinya yang kini sudah menghapus air mata kecil di pipinya dengan senyum.
“Dan di sebuah sore musim dingin, aku melihatnya berdiri di depan toko musik kecil di dekat Bahnhofstrasse. Ia sedang melihat biola tua di etalase, dengan ekspresi yang membuatku tak bisa berpaling. Saat salju jatuh, dia menoleh dan tersenyum padaku. Begitulah… dunia yang terasa kacau perlahan menjadi tenang hanya karena satu senyum.”
Tamu-tamu mulai terdiam, larut dalam kisah itu. “Kami duduk di bangku kayu dekat Matter Vispa River, waktu itu… hanya berdua. Dia bercerita tentang mimpinya menjadi guru musik, dan aku tentang keinginanku mendirikan usaha sendiri. Kami berbeda… tapi entah bagaimana, kami bisa menyambung. Mungkin karena sama-sama luka, sama-sama rapuh saat itu.”
Mrs. Legard menambahkan dengan suara lembut, “Tapi justru di Zermatt kami belajar bahwa cinta tak butuh kesempurnaan. Yang dibutuhkan hanyalah keberanian untuk tetap tinggal dan bertumbuh bersama.”
Mr. Legard tersenyum hangat, mengangguk setuju. “Dari situlah semua bermula. Maka tak heran jika proyek ‘Phoenix’ yang kalian persembahkan ini terasa begitu pribadi bagi kami. Karena kami tahu, bagaimana rasanya jatuh… terbakar… dan memilih untuk bangkit kembali bersama.”
Ia menatap Al dan Althea dengan penuh makna. “Aku harap, apa yang kalian ciptakan malam ini bukan sekadar karya desain… tapi juga pengingat, bahwa cinta bisa bertahan melampaui waktu—kalau kalian mau memperjuangkannya.”
Suasana hening beberapa detik. Lalu, riuh tepuk tangan kembali terdengar. Namun kali ini bukan hanya karena kagum, tapi juga karena hati yang tersentuh.
Althea menunduk sedikit, menahan air mata yang menggenang. Al menggenggam tangannya, memberi kekuatan dalam diam. Baby Cio yang sudah bangun menatap ke arah mereka bertiga, seolah ikut memahami kedalaman momen itu.
Dan malam itu, di salah satu hotel paling mewah di Zurich, tidak hanya merayakan cinta emas pasangan Legard… tapi juga menghadirkan pengingat akan cinta yang bisa lahir kembali, bahkan dari abu luka—seperti Phoenix.
Al dan Thea saling melirik—bukan untuk menunjukkan kemenangan, tapi kelegaan yang sama. Proyek ini penting, tapi lebih dari itu... penghargaan dari pasangan yang kisahnya menjadi pondasi desain itu, adalah validasi terbesarnya.
Setelah itu, acara berlanjut dengan musik dan dansa hingga tengah malam. Suasana ballroom berubah hangat, romantis, dan sarat emosi. Lagu cinta klasik kembali mengalun pelan, para tamu mulai berdansa, dan percikan cahaya lampu kristal memantul di gaun-gaun elegan serta tuxedo para tamu.
Dan di tengah semua itu, Althea berdiri bersama Al dan Baby Cio di dekat jendela kaca. Ketiganya—meski belum tahu apa yang akan terjadi di tahun baru yang datang—tahu bahwa malam ini, mereka telah melangkah bersama sebagai satu tim... satu keluarga. Al dan Althea berdiri berdampingan. Baby Cio terbangun dan menguap kecil, menatap mereka dengan tatapan polos yang seolah menyerap kehangatan cinta malam itu. Dan saat tahun baru perlahan menghampiri, di bawah langit Zurich yang bersinar oleh kembang api, cinta tak hanya dirayakan... tapi dikuatkan oleh simbol dan cerita yang akan terus dikenang—sebuah perjalanan keabadian dari cinta Phoenix.
♾️
31 Desember, 23.45
Kilauan cahaya dari kristal gantung ballroom memantulkan kemilau elegan pada setiap sudut ruangan. Balon-balon berwarna emas dan putih tergantung di langit-langit tinggi. Cahaya lembut dari lilin di setiap meja menambahkan kesan hangat pada malam yang sudah begitu syahdu.
Orkestra klasik di ujung ruangan mulai memainkan irama jazz yang perlahan berubah menjadi irama perayaan. Para tamu berbincang dan bersulang, mengenakan gaun dan tuksedo mewah. Aroma manis dari champagne dan bunga musim dingin menyatu dalam udara yang mulai terasa penuh antisipasi menjelang detik-detik pergantian tahun.
Di tengah ruangan, Althea berdiri di sisi Aleron, mengenakan gaun hitam mewah berpotongan sederhana namun memikat, rambutnya disanggul elegan dengan anting berlian kecil menggantung lembut. Di samping mereka, stroller hitam elegan berisi Baby Cio yang kini terjaga, matanya terbuka lebar seolah menatap dengan penasaran pada dunia yang baru dikenalnya.
Aleron tersenyum menatap si kecil yang tampak tenang meski suara musik dan percakapan mengelilingi mereka.
“Lihat dia, Te,” ucapnya pelan, menyentuh tangan Althea, “Cio tidak menangis sama sekali… Seolah dia tahu malam ini penting untuk kita semua.”
Althea menoleh, menatap mata bulat Cio yang berkedip perlahan. Senyum samar terukir di bibirnya. “Mungkin dia tahu ini malam tahun barunya yang pertama… dan dia ingin merasakannya dengan baik.”
23.59
Lampu ballroom meredup, membuat pusat ruangan bersinar dari arah panggung utama. Layar besar di sisi dinding menampilkan hitungan mundur.
“Ten… Nine… Eight…” Aleron menggenggam tangan Althea erat. Ia menunduk sedikit, membisik pelan,
“Terima kasih sudah tetap di sini, Thea…”
Althea menoleh padanya, senyumnya tak terlalu lebar, tapi matanya jujur.
“…Tujuh… Enam…” Al meraih tangan kecil Baby Cio yang masih menggenggam selimut mungilnya.
“Cio… ini tahun pertamamu, sayang… Daddy harap… semua tahun berikutnya akan sehangat malam ini.”
“…Lima… Empat…”
“Dan Thea…” lanjutnya dengan suara hampir bergetar, “Aku tahu kita belum selesai… tapi aku berdoa agar tahun ini kamu bisa merasa pulang. Tanpa harus melindungi dirimu dari siapa pun.”
Althea menatap Al. Sebuah lirih berbisik dalam hatinya. Ia tak tahu apakah semua ini hanya sementara… atau akan berlanjut lebih jauh. Tapi malam ini—hanya malam ini—dia memilih percaya.
“…Tiga… Dua… Satu—Selamat Tahun Baru!!”
Balon-balon jatuh dari langit-langit, confetti emas beterbangan. Tepuk tangan dan teriakan bahagia memenuhi ruangan. Beberapa pasangan saling berpelukan dan berciuman. Gelas bersulang, harapan dilemparkan ke langit Zurich.
Aleron menarik Althea pelan ke dalam pelukannya. Tak memaksa. Tak menekan. Hanya memeluk. “Selamat tahun baru, Thea…”
Althea terdiam sejenak, lalu membalas pelukan itu, kepalanya bersandar di bahu Al. “Selamat tahun baru… Al…”
Mereka tak berkata banyak lagi, karena detak jantung dan udara malam itu sudah menjelaskan semuanya. Di tengah keramaian, Baby Cio berkedip perlahan, lalu tersenyum tipis—entah karena kebetulan, atau karena memang ia merasakan sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Harapan yang tulus.
Beberapa saat kemudian, di balkon ballroom. Mereka bertiga keluar sejenak. Zurich bersinar. Kembang api meledak tinggi di atas Langstrasse, memantul di permukaan sungai dan atap-atap bersalju.
Althea menggendong Cio dengan selimut tebal membalut tubuh mungilnya. Aleron berdiri di sampingnya, tangannya merangkul punggung Althea dari belakang.
“Apa harapanmu tahun ini, Thea?” tanya Al pelan.
Althea memandang langit malam yang dihiasi cahaya merah, ungu, dan emas.
“…Aku ingin bisa melangkah tanpa takut,” jawabnya pelan. “Dan untuk Cio… aku harap dia tumbuh tanpa harus tahu terlalu banyak luka seperti aku.”
Aleron mengecup pucuk kepala Althea. “Dia akan tahu bahwa dia dicintai… oleh kita berdua. Itu cukup, bukan?” Althea terkejut dengan apa yang dilakukan Al. Jantungnya mendadak bedetak cepat, kehangatan yang lama tak ia rasakan dan tak terpikir ia akan merasakannya lagi, ia diam sejenak lalu mengangguk perlahan.
Malam itu, tahun baru bukan hanya angka yang berganti. Malam itu adalah permulaan. Sebuah halaman baru yang dibuka oleh tiga hati yang masih belajar berdetak dalam arah yang sama.
Dan bagi Baby Cio, ini adalah tahun pertamanya—tahun cinta pertamanya.