NovelToon NovelToon
CARA YANG SALAH

CARA YANG SALAH

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / CEO / Playboy / Selingkuh / Cinta Terlarang / Romansa
Popularitas:5.1k
Nilai: 5
Nama Author: syahri musdalipah tarigan

**(anak kecil di larang mampir)**

Di tengah kepedihan yang membungkus hidupnya, Nadra mulai menjalani hari-hari barunya. Tak disangka, di balik luka, ia justru dipertemukan dengan tiga pria yang perlahan mengisi ruang kosong dalam hidupnya.

Arven, teman kerja yang selalu ada dan diam-diam mencintainya. Agra, pria dewasa berusia 40 tahun yang bersikap lembut, dewasa, dan penuh perhatian. Seorang duda yang rupanya menyimpan trauma masa lalu.

Dan Nayaka, adik Agra, pria dewasa dengan kepribadian yang unik dan sulit ditebak. Kadang terlihat seperti anak-anak, tapi menyimpan luka dan rasa yang dalam.

Seiring berjalannya waktu, kedekatan antara Nadra dan ketiga pria itu berubah menjadi lingkaran rumit perasaan. Mereka saling bersaing, saling cemburu, saling menjaga namun, hati Nadra hanya condong pada satu orang: Agra.

Keputusan Nadra mengejutkan semuanya. Terutama bagi Nayaka, yang merasa dikhianati oleh dua orang terdekatnya, kakaknya sendiri dan wanita yang ia cintai diam-diam.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syahri musdalipah tarigan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

09. DUNIA NADRA RUNTUH

Angkot berhenti tepat di depan gang rumah Nadra. Sopir memberikan uang kembalian.

"Nih, Dek, dua puluh ribu, pas ya," ucapnya ramah.

Nadra tersenyum senang. Tangannya langsung menerima lembaran lusuh itu dengan penuh harap.

"Lumayan, bisa buat beli beras. Atau sabun cuci. Atau, roti buat Ibu."

Ia melangkah santai menyusuri gang. Matanya mengamati jalanan yang mulai sepi menjelang senja. Sesekali ia menyapa tetangga yang duduk di bangku plastik depan rumah. Tapi, tidak seperti biasanya. Pandangan mereka bukan ramah,tapi aneh. Dingin. Ada bisik-bisik yang menyesakkan.

"Kenapa mereka ngeliatin aku kayak gitu?"

Langkah Nadra melambat. Namun sebelum ia bisa menebak-nebak, tiba-tiba. Seorang wanita paruh baya berlari kecil menghampirinya, wajahnya panik.

"Nadra! Nad! Akhirnya pulang juga. Itu... Itu Ibu dan Ayahmu..." suara wanita itu tercekat. Ia seperti tak sanggup melanjutkan kalimatnya.

Detik itu juga, Nadra tak menunggu penjelasan. Ia langsung berlari sekencang-kencangnya menyusuri gang rumahnya. Napasnya tak beraturan, detak jantungnya menggila. Dan saat rumah kecil itu terlihat dari kejauhan, langkah Nadra mendadak terhenti. Matanya membelalak. Orang-orang berkerumun. Ada suara isak. Ada teriakan panik. Ada petugas.

Ia menerobos keramaian, tak peduli dengan siapa pun yang berusaha menahan. "Maaf! Maaf! Aku anaknya! Permisi! Ini rumahku!"

Begitu sampai di depan rumah, dunia Nadra runtuh. Ibunya tergeletak di teras rumah, bersimbah darah. Mulutnya masih sedikit terbuka, seolah sempat mencoba berteriak. Dan dari dalam rumah, terlihat sang ayah menggantung. Tubuhnya menggoyang pelan dari tali yang mengi*kat lehernya di balik ruang tamu. Nadra mematung. Napasnya tercekat. Semua suara di sekelilingnya mendadak lenyap.

"I...Bu?" bisiknya lemah. "I...ini apa..." ia terjatuh berlutut. Suaranya pecah. "Ibu! Bu, bangun! Bu, ini Nadra... Ibu...!" tangannya gemetar, menyentuh wajah sang ibu yang dingin.

Petugas medis mencoba mendekat, tapi Nadra menepis mereka. "Jangan sentuh Ibu aku! Jangan! Ibu cuma tidur, kan? Kan, Bu?" ia berlari mendekati ayahnya. "Ayah...ayah, kenapa?" suara Nadra semakin menggema, hancur. Air matanya tumpah, membasahi lantai.

Seseorang dari kerumunan mendekat, pelan berkata, "Katanya, ayahmu pulang mabuk, lalu mereka bertengkar hebat. Tetanggamu sempat dengar suara jeritan Ibumu sebelum akhirnya sunyi"

Nadra tak lagi bisa bicara. Tubuhnya goyah, seperti ditarik oleh gravitasi luka yang terlalu berat. Namun hatinya menjerit.

"Kenapa harus begini. Kenapa kepergianku justru jadi akhir dari segalanya?"

Tangis Nadra memecah di tengah hiruk pikuk rumah yang kini berubah menjadi tempat duka. Orang-orang menunduk, sebagian terdiam, sebagian lagi menghapus air mata sambil menggeleng pelan.

Nadra masih berlutut di samping jasad Ibunya. Air matanya sudah tak terbendung, isaknya seperti menghujam langit. Suaranya parau, tapi tetap memaksa keluar dari luka yang tak sanggup dibendung.

"Bu, aku janji bakal bahagiain Ibu. Aku janji, aku bakal beliin Ibu sepeda listrik, aku bakal kerja lebih keras. Bu, kenapa semua ini jadi sia-sia?"

Tubuhnya bergetar hebat. Matanya kini berpindah menatap jasad ayahnya yang telah diturunkan ke lantai, dibaringkan di atas tikar oleh para warga.

"Dan kau, Ayah. Kenapa, kenapa selalu keras kepala? Kenapa nggak pernah dengar Ibu? Kenapa harus main tangan terus?!"

Nadra berdiri, langkahnya terhuyung. Ia berlari kecil ke arah jasad ayah, lututnya jatuh bersimpuh di sisi tubuh itu. Dengan mata merah dan tubuh gemetar, ia menghantam pelan dada Ayahnya.

"Kenapa Ayah?! Kenapa nggak mati sendiri aja?! Kenapa harus bawa Ibu juga?!" tangannya mengepal, memukul dada Ayahnya pelan tapi penuh emosi. "Kau gagal sebagai suami, gagal sebagai Ayah, dan sekarang... Kau bahkan gagal mati sendirian."

Semua yang melihat terdiam. Tak ada yang sanggup menenangkan. Sampai seorang wanita paruh baya maju mendekat, Bu Haja Sumarni. Wanita itu mengenakan pakaian daster elegan. Wajahnya angkuh seperti biasa, tapi sorot matanya lembut saat melihat Nadra.

Ia berlutut di belakang Nadra, lalu memeluk gadis itu dari belakang. dekapan yang kuat, hangat, tapi tetap menjaga wibawanya.

"Sudah, Nak, jangan menyalahkan siapa-siapa lagi. Orang yang mati tak akan bisa dengar. Yang hidup yang harus kuat."

Nadra menggigit bibirnya. "Tapi, tapi janji aku ke Ibu, semua hancur. Semua sia-sia."

Bu Haja mengelus rambut Nadra perlahan. "Janji itu tidak hancur, Nadra. Janji itu akan tetap hidup dalam caramu menjalani hidup. Kau masih bisa bahagiakan Ibumu lewat doa, lewat tindakanmu, lewat bagaimana kau bertahan."

Nadra menunduk. Air matanya kembali menetes, tapi kini tak seekstrim tadi. Tangannya mengepal di atas lutut, seolah mengunci tekad.

"Aku akan tetap hidup. Tapi bukan untuk diriku sendiri. Akan akan hidup untuk membayar semua janji itu."

Mata Nadra perlahan mengering, tapi luka itu akan terus tinggal. Luka yang akan mengajarkannya bahwa hidup terkadang memaksa kita untuk tumbuh dari kehancuran.

💔💔💔 🌑🌑

Langit mulai berubah menjadi gelap. Suasana rumah Nadra makin ramai, bukan lagi oleh para tetangga, tapi oleh petugas aparat, dan media lokal yang mencium peristiwa ini sebagai tragedi keluarga yang menarik perhatian publik.

Di tengah keramaian, salah satu petugas dari pihak kepolisian menghampiri Nadra yang duduk lemah di depan rumah. Wajahnya masih sembab, namun mata itu terlihat kosong seperti telah kehilangan arah.

"Maaf, Dek. Untuk kepentingan penyelidikan, kami ingin melakukan autopsi terhadap kedua orang tuamu."

Nadra spontan menggeleng. Suara kecilnya keluar di antara lelah dan luka. "Tidak, tolong jangan. Mereka sudah terlalu sakit saat hidup. Dan kini, biarkan mereka tenang meski cuma setelah meninggal."

Sebelum petugas melanjutkan, suara berat seorang wanita terdengar tegas. "Saya juga tidak mengizinkan. Biarkan kami segera memakamkan mereka sesuai ajaran kami." Bu Haja Sumarni berdiri di samping Nadra, mengenakan kerudung berwarna abu, dengan wajah penuh wibawa.

Petugas menatap sejenak, lalu mengangguk pelan. Namun, di sudut rumah, beberapa kamera telah merekam kejadian ini dari awal. Mikrofon dan lensa diarahkan ke wajah-wajah duka. Salah satu kamera bahkan dengan jelas menangkap wajah, dan bagian perut Ibunya Nadra yang telah bersimbah darah saat pertama kali ditemukan. Nadra yang melihat itu sontak bangkit. Tubuhnya masih lelah, tapi matanya kini penuh bara.

"Berhenti! Jangan sorot wajah orang tuaku! Kalau kalian ingin menayangkannya, setidaknya sensor wajah orang tuaku."

Seorang kameramen menurunkan kameranya, sedikit canggung. "Baik, kami akan sensor. Maafkan kami."

Namun, pertanyaan baru muncul. Salah satu wartawan mendekat, mengarahkan mikrofon ke wajah Nadra. " Apa yang sebenarnya terjadi? Apa ini murni karena kekerasan rumah tangga?"

Nadra menatap tajam ke arah kerumunan itu. Sorot matanya bukan lagi kosong, tapi penuh luka yang membentuk keberanian baru.

"Ayahku adalah orang yang ringan tangan. Tapi aku, aku tidak pernah berpikir semua ini akan berakhir begini." Suara Nadra bergetar, namun tetap tenang.

"Untuk siapa pun yang masih menganggap ju*di itu hiburan. Tolong ingat, setiap kekalahanmu bisa menjadi awal kehancuran orang-orang yang kau cintai. Judi bukan hanya merugikan dompetmu. Tapi juga merobek hati orang-orang yang ingin kau lindungi."

Tak menunggu reaksi lebih lama, Nadra berbalik. Ia memanggil Bu Haja Sumarni, suaranya lirih tapi jelas.

"Bu, tolong bantu aku mengurus jenazah kedua orang tuaku. Aku ingin mereka pulang ke tempat yang lebih damai."

Bu Haja mengangguk. Tangannya lembut meraih tangan Nadra.

"Mari, Nak. Kita siapkan dengan layak. Ini terakhir kalinya kau bisa menyentuh mereka sebagai anak."

🪦🪦🪦⚫⚫

Beberapa jam kemudian, suasana pemakan. Langit malam mendung tanpa bintang. Cahaya bulan tertutup awan mendung. Dua lubang kubur digali bersebelahan di tanah pemakaman umum.

Nadra berdiri di antara para pelayat, mengenakan pakaian putih sederhana. Wajahnya tenang, namun matanya sembab. Tak ada tangis lagi, hanya diam yang panjang.

Petugas memandikan, mengkafani, lalu mengantar jenazah kedua orang tua Nadra menuju liang lahat. Doa-doa dipanjatkan. Saat jenazah diturunkan, Nadra berlutut di samping makam Ibunya.

Suara hatinya mengalir menjadi bisikan lirih. " Bu, akhirnya Ibu tenang sekarang. Maaf karena aku tak cukup cepat menyelamatkanmu. Tapi aku janji, Bu, aku akan bertahan. Aku akan terus hidup, demi semua janji yang belum sempat kutepati."

Satu demi satu tanah ditimbun. Kepala Nadra tertunduk.

"Karena kadang, orang yang paling kita cintai tidak butuh kita untuk mengubah takdir mereka. Tapi mereka butuh kita untuk bertahan setelah mereka pergi."

...BERSAMBUNG.......

...Terimakasih untuk dukungannya 😁☺️...

1
Elisabeth Ratna Susanti
top banget seruuu Thor 👍🥰
Elisabeth Ratna Susanti
maaf flu berat jadi telat mampir
Pengagum Rahasia
/Sob//Sob//Sob/
Pengagum Rahasia
Agra begitu sayang sama adeknya, ya
Syhr Syhr: Sangat sayang. Tapi kadang adeknya nyerandu
total 1 replies
Pengagum Rahasia
Oh, jadi asisten ingin genit genit biar lirik Agra. Eh, rupanya Agra gak suka.
Syhr Syhr: Iya, mana level Agra sama wanita seperti itu 😁
total 1 replies
Pengagum Rahasia
Apakah ada skandal?
Syhr Syhr: Tidak
total 1 replies
Pengagum Rahasia
Agra sedetail itu menyiapkan semua untuk Nadra. /Scream/
Pengagum Rahasia
hahah, karyawannya kepo
Syhr Syhr: Iya, hebring
total 1 replies
Pengagum Rahasia
Kapoklah, Nadra merajok
Syhr Syhr: Ayo, sih Om jadi bingung 😂
total 1 replies
Pengagum Rahasia
Yakin khawatir, nanti ada hal lain.
Pengagum Rahasia
Ayo, nanti marah Pak dion
Syhr Syhr: Udah kembut Nadra, pusing dia
total 1 replies
Pengagum Rahasia
Abang sama adek benar benar sudah memiliki perusahaan sendiri.
Pengagum Rahasia
Kalau orang kaya memang gitu Nad, biar harta turun temurun
Syhr Syhr: Biar gak miskin kata orang².
Syhr Syhr: Biar gak miskin kata orang².
total 2 replies
Pengagum Rahasia
Haha, jelas marah. Orang baru jadian di suruh menjauh/Facepalm/
Pengagum Rahasia
Udah Om, pakek Duda lagi/Facepalm/
Syhr Syhr: Paket lengkap
total 1 replies
Pengagum Rahasia
Kekeh/Curse//Curse//Curse/
Pengagum Rahasia
Mantab, jujur, polos, dan tegas
Syhr Syhr: Terlalu semuanya Nadra
total 1 replies
Pengagum Rahasia
Cepat kali.
Pengagum Rahasia
Agra memang bijak
Pengagum Rahasia
Agra type pria yang peka. Keren
Syhr Syhr: Jarang ada, kan
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!