Karena dipaksa untuk segera memiliki anak, Jovan sang CEO dari perusahaan ternama diam-diam menikah lagi. Dengan kejamnya, dia mengusir Seina selaku istri pertamanya yang dikira mandul. Namun nasib buruk pun menimpa Jovan yang mana istri keduanya mengalami kecelakaan hingga membuatnya keguguran bahkan rahimnya terpaksa harus diangkat demi menyelamatkan nyawa Ghina.
Lima tahun kemudian, Seina yang dikira mandul kembali dengan tiga anak kembar yang memiliki ketampanan mirip Jovan.
“Bunda, Oom itu milip Kakak Jelemy, apa Oom itu Ayah kita?” tanya Jelita, si bungsu.
“Bukan!” elak Seina.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mom Ilaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bica Cali Ayah ?
“Jhans, Jelita, lain kali jangan diulangi. Yang kalian lakukan kemarin itu berbahaya. Kalian bisa diculik orang jahat di sana. Paham?” Seina menasehati Jhansen dan Jelita dengan lembut, membuat Jeremy merasa hukuman untuk adik-adiknya kurang.
“Mengelti, Bunda. Jelita cama kakak Jen nda ulangi lagi.” Kedua anak kembar itu memeluk Seina lalu menjulurkan lidah ke Jeremy.
Vara terkekeh melihat Jeremy cemberut. Lalu, Salwa mengajak mereka sarapan roti panggang.
“Telima kacih, Onty.”
“Sama-sama, sayang.”
“Oh ya, Kak Salwa sama Kak Seina punya rencana buka usaha di sini atau mau ikut bekerja di kantor kami?” tanya Vara, duduk di sebelah Jhansen dan Jelita yang berebutan selai. Jeremy mengambil dan mengoleskan selai itu ke roti adiknya agar tidak ribut.
“Sebenarnya kita hanya sebentar di sini,” papar Salwa sebab tujuan mereka hanya melepas rindu si kembar pada Gara dan Vara.
“Heee... napa cebental aja? Lama-lamain lah, Onty. Jelita macih mau cama Onty Vala cama Papa Gala. Jananlah pulang, Bunda.” Jelita tak setuju pada ucapan Salwa yang berniat kembali ke luar negeri.
“Iya... Jencen ugah mau main-main di cini.” Sahut Jhansen dengan pipi penuh makanan.
“Kalau Jelemi udah mau pulang,” kata Jeremy yang membuat Jhansen dan Jelita menoleh.
“Pulang aja cendili, janan ajak-ajak Bunda lah, huuuuu....!” Seru mereka memonyongkan bibir mungilnya.
“Betul sih kata Jelita sama Jhansen. Kalian menetap saja selama seminggu atau sebulan. Selamanya juga boleh kok. Sekalian, Jelita bisa bantuin vlog-nya aku,” kata Vara menatap Jelita.
“Apa itu pelok, Onty?” tanya Jelita dengan muka penasaran.
“Bica di makan tah?” tanya Jhansen polos.
“Bukan sayangku, vlog itu bikin video terus dikirim ke story IG, Onty,” jawab Vara gemas.
“Telus ige itu apa?”
“Itu aplikasi sosial media, sayang.” Sahut Salwa mencubit pipi Jhansen yang bakpao.
“Bica cali Ayah dong?”
Pertanyaan ketiga Jhansen dan Jelita mengejutkan semua orang di meja makan.
“Untuk apa cali Ayah? Kita udah punya Papa Gala,” timpal Jeremy.
“Tapina Papa Gala butan Ayah benelan.” Sanggah Jelita dan Jhansen, kalimat yang kemarin ingin mereka katakan pada Jovan.
“Udah... udaahh... kalian jangan berdebat lagi dan benar kata Jeremy, kalian sudah punya Papa Gara, tidak perlu mencari Ayah kalian,” ujar Vara berniat mengubah suasana tegang, tapi Jelita dan Jhansen seakan tak terima.
“Hiks... Onty jananlah bilang gitu!”
“Hei, kalian mau kemana?” Vara terkejut melihat dua bocah itu berlari masuk ke kamar Gara.
“Apa tadi aku salah bicara?” gumam Vara, menggaruk kepala.
“Kamu tidak salah, Vara. Akulah yang salah di sini,” ucap Seina yang diam saja karena sedih akan pernyataan anaknya.
“Napa Bunda?” tanya Jeremy bingung.
“Karena Bunda, kalian tidak pernah merasakan kasih sayang dari Ayah kandung kalian. Maafkan, Bunda.”
“Jeremy, masuklah ke kamarmu dulu. Biarkan Onty Salwa yang bujuk Ibumu,” pinta Salwa dan Jeremy menurut.
“Kak Seina, aku minta... maaf,” ucap Vara, merasa bersalah melihat Seina terisak di pelukan Salwa.
“Ini bukan salahmu, Vara. Ini salahku yang tidak bisa mempertahankan Ayah mereka.”
“Kak,” panggil Gara, kini sudah berdiri di belakang Vara membuat sekretarisnya itu menengadah tapi ia menunduk cepat karena ekspresi Gara membuatnya takut.
“Kak, laki-laki bangsat sepertinya tidak layak kakak pertahankan dan kakak tidak salah berpisah darinya. Berhentilah menangisi pria itu, Kak.” Gara perlahan menghampiri Seina. Memegang satu bahunya serta mengusap lembut mata Seina yang berembun.
“Air mata kakak ini mahal. Tidak pantas laki-laki itu ditangisi oleh kakak.”
Vara tertegun mendengar ucapan Gara. Pria itu selalu terlihat cool. Vara juga ingin dipeluk seperti Seina, namun Gara sering marah dan mengerjainya. Meski begitu, Gara sangat menjaganya dari laki-laki hidung belang di kantor, tapi ada rasa di mana Vara ingin dianggap lebih dari adik.
“Kak, kota ini tempat lahir kita. Gara merasa kakak sebaiknya menetap di sini,” ucap Gara setelah Seina mulai tenang, tapi saran Gara membuatnya gelisah.
“Tapi, kalau menetap di sini, kakak cemas pada anak-anak, Ga.”
“Selagi Gara masih hidup, anak-anak kakak dan kalian semua akan baik-baik saja. Gara yang akan menjaga kalian dari orang jahat terutama dari pria bajingan itu. Jadi kakak tenang saja.” Gara menepuk dada dan tersenyum mantap.
Salwa yang berdiri di sana makin penasaran siapa pria bajingan yang dimaksud Gara.
“Ka-kalau begitu, apa kakak boleh mendirikan toko bunga bersama Salwa?” tanya Seina. Sejak dulu ia ingin punya toko bunga dan itu juga keinginan Salwa.
“Jangankan toko bunga, kebunnya sekalian pun boleh kok. Apa sih yang tidak boleh buat kalian, hm?” goda Gara menarik alisnya membuat Salwa tertawa. Gara pun tersenyum malu-malu kepada wanita seumuran kakaknya. Sedangkan Vara memutar bola matanya malas.
“Terima kasih, Gara,” ucap Salwa tersenyum.
“Iya, Kak.” Angguk Gara, tersenyum lagi lalu melihat jam tangannya sudah pukul sepuluh.
“Gawat, hari ini aku punya jadwal untuk pergi mengecek pabrik baru. Gara berangkat kerja dulu, Kak!” Gara segera masuk ke kamarnya, si kembar pun sudah berada di kamar mereka sendiri. Setelah rapi, Gara menarik Vara. Seperti biasa, mereka berangkat bersama.
“Kak, untuk tokonya, Gara sudah siapkan. Tempatnya lumayan dekat dari sekolah si kembar. Jadi itu lokasi yang cocok untuk kakak dan anak-anak kakak.”
Seina tersenyum membaca pesan dari Gara. Ia menyimpan ponselnya lalu mendekati Jeremy yang duduk sendirian di teras.
“Jeremy, main hape-nya kenapa sendiri saja? Mana adikmu, sayang?” tanya Seina membelai rambut Jeremy.
“Tuh, meleka main di situ, Bunda.” Tunjuk bocah tampan itu pada Jhansen dan Jelita yang main masak-masakan.
“Loh, kenapa tidak ikut main ke sana, hm?” Seina mengernyit bingung.
“Jelemy nda diajak main, Bunda. Jadina Jelemy main hape aja,” jawab Jeremy.
Seina mengambil ponselnya lalu meraih tangan Jeremy. Mereka mendekati kedua adik Jeremy.
“Jhans, Jelita, lagi main apa, sayang?” tanya Seina.
“Macak-macak, Bunda. Jelita jadi cepna telul Kakak Jencenna jadi julina.” Jelita menjawab tanpa melihat Jeremy, begitu pula Jhansen menatap Ibunya. Mereka masih jengkel pada perkataan Jeremy.
“Kalau gitu, Bunda sama Jeremy yang jadi peserta lombanya, boleh kan?” tanya Seina duduk di depan mereka.
“Bolelah, Bunda. Tapina janan ajak Kakak Jelemy.” Jhansen mengizinkan tapi tidak untuk kakaknya.
“Loh, kok Jeremy tidak boleh?” Sahut Salwa datang membawa sepiring biskuit.
“Kakak Jelemi olanna bawel. Malah-malah telush, Onty.” Jawab Jhansen dan Jelita.
“Pufft... kalian lucu sekali. Dari tadi kakakmu hanya diam tuh, tidak bicara apa-apa. Lagian Jeremy kalau marah itu tandanya sayang pada kalian berdua,” kata Salwa dan Seina mengangguk.
“Tapina Kakak Jelemy tadi culu Jelita cuci piling, Bunda.” Jelita tampak masih jengkel.
Jeremy berdiri lalu menghentakkan kakinya. “Kalau nda mau ya udah nda usah ajak Jelemy main lagi!” Ujarnya berbalik.
“Tuh kan kakak Jelemy udah malah aja,” celetuk Jhansen membuat Jeremy berjongkok sambil menenggelamkan kepalanya di antara lututnya.
Salwa dan Seina kaget mendengar Jeremy menangis. Jhansen dan Jelita pun bertatapan merasa bersalah.
“Tuh kan, kalian jadi buat Kakak nangis. Kalian tidak kasihan sama kakak Jeremy, hm? Kalian tidak sayang sama dia?” Seina menatap sedih kedua anaknya yang seketika itu berdiri mendekati Jeremy.
Salwa menggeleng melihat si kembar mulai berbaikan. Jhansen mengusap mata Jeremy dan Jelita memeluknya.
Karena kemarin Seina berjanji akan membawa mereka ke wahana bermain, maka Seina dan Salwa pergi menepatinya sore ini.
“Holleeee... Kita main di luwal!” Seru Jhansen dan Jelita duduk di samping Jeremy yang tersenyum melihat dua adiknya aktif, tak seperti dirinya yang bicara saat adiknya berbuat salah atau diajak bicara.
Hari ini Seina dan si kembar merasa happy. Berbeda dengan Jovan, Presdir tampan itu tersiksa, gelisah, merana karena masih dituntut untuk segera memiliki anak.
Asisten Lu datang seorang diri ke ruangan Jovan, kemudian pria itu berkata pada Jovan yang sudah tiga hari tak pulang.
“Tuan Jovan, apa Anda akan pulang nanti? Nyonya sudah merindukan Anda dan pesan yang saya terima, beliau menginginkan Anda untuk melakukan kencan buta.”
Jovan yang menunduk meremas rambutnya frustasi.
“Ini yang membuat saya malas pulang. Dia terus memaksa saya melakukan hal yang tidak ingin saya lakukan lagi! Menyebalkan!” Gerutu Jovan meringis.
“Kata Nyonya, ini demi masa depan Anda.”
Jovan menatap sinis Asisten Lu lalu menarik napas panjang.
“Seandainya aku tahu akan seperti ini, saya lebih baik melihatnya gila lagi daripada memenuhi keinginannya yang lebih gila itu.”
Tiba-tiba Jovan bangkit dari kursinya ketika seorang wanita cantik sudah berdiri di pintu. Raut wajahnya terlihat kecewa dan sedih.
“Ghina...?”
Semoga Seina/ Elsha bisa bersatu lagi dengan Jovan, agar anak-anak bisa bahagia bersama orang tua yang lengkap.
Kasian si kembar baru bertemu bapaknya dah mau metong...