Hanya karena uang, Dira menjual rahimnya. Pada seorang pria berhati dingin yang usianya dua kali lipat usia Dira.
Kepada Agam Salim Wijaya lah Dira menjual rahim miliknya.
Melahirkan anak untuk pria tersebut, begitu anak itu lahir. Dira harus menghilang dan meninggalkan semuanya.
Hanya uang di tangan, tanpa anak tanpa pria yang ia cintai karena terbiasa.
Follow IG Sept ya
Sept_September2020
Facebook
Sept September
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sept, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CEROBOH
Rahim Bayaran #8
oleh Sept September
Robby menatap jijik pada dua insan yang saling mamatuk itu. Bukan saling, lebih tepatnya, Agam sendiri yang memaksa kehendaknya. Sebab dia begitu rakus seperti orang yang kelaparan. Dengan buas melahap apa yang ada di depannya.
Seolah tak memberikan jeda bagi Dira untuk bernapas, barang sejenak saja.
Semantara itu, sang gadis sudah hampir menangis, matanya mulai mengembun. Terasa perih, bendungan Dira mungkin akan jebol sebentar lagi. Hitungan detik, bulir bening berhasil menyeberang pipinya yang mulus dan lembut itu.
Diperlakukan dengan kasar dan buas oleh seorang pria untuk pertama kali, membuat jiwanya terlukai.
Ini adalah sentuhan fisik pertama yang diberikan kaum Adam pada dirinya. Ya, Agam adalah orang pertama yang berhasil mencicipi ranumnya bibir seorang gadis bernama Anindira tersebut.
Pertama dan sangat kasar, lihat! Gadis itu kini menangis tapi masih dalam kondisi bibir yang bertaut.
Pria gila itu tak mau melepas Dira, seolah tidak ingin Agata pergi kembali. Agam malah merengkuh tubuh munggil Dira. Membawanya jatuh ke atas ranjang, surga dunianya.
Mumuakkan, tak betah tinggal lama-lama di tempat yang terasa panas itu. Robby dengan gusar berjalan ke luar.
Dira sempat melirik sebentar ke arah Robby, matanya melotot ke arah pria tersebut. Bila bisa menulis sandi morse, Dira ingin rasanya memberi tanda minta pertolongan pada sekretaris suaminya itu.
"Mas Robby! Tolong Dira!!! batinnya menjerit, mulutnya terkunci rapat karena tertahan bibir Agam.
Jangankan melihat, melirik saja Robby enggan! Pria itu langsung nyelonong ke luar kamar Agam.
Brakkk
Pria dengan idealist tinggi itu, menutup pintu dengan agak keras, separuh jengkel karena melihat sikap bar-bar sang Tuan muda di tengah rasa mabuknya tersebut.
"Mengapa dia malah pergi? Tak kasihankah dia padaku?" ratap Dira yang kini dalam kungkungan Agam.
Bagai di penjara, Dira ingin lepas dari belengu pria dewasa itu.
"Kenapa kamu pergi, sayang?" suara Agam terdengar lirih, hal itu sempat membuat bulu-bulu Dira meremang.
Masih mengira itu adalah Agata, Agam terus membuai Dira sambil sesekali berbisik lembut di telinga gadis kecil itu. Kontan membuat Dira tak nyaman.
Mungkin karena juga butuh asupan oksigen, kini Agam sudah melepas Dira sepenuhnya. Tidak sepenuhnya, hanya bibir Dira yang ia lepas. Sementara tubuh dan jiwa Dira kini ada dalam gengaman pria tersebut.
"Jangan pernah pergi tanpa seijinku lagi!"
Agam kembali memeluk tubuh Dira yang masih ia sangka Agata. Tapi aneh, meski ia mabuk. Seolah alam bawahnya tersadar, tubuh ini asing. Aroma yang jauh beda sekali. Ini bukan tubuh yang selama ini menghangatkan setiap malamnya.
"DIRA!" pekik Agam yang sadar dari halunya.
Ia langsung bangkit dan menjauh. Agam mengusap wajahnya dengan kasar.
"Kenapa kamu di sini?" bentaknya.
Dira yang lolos dari lubang buaya untuk ke dua kali. Langsung beringsut, matanya menatap penuh ketakutan pada pria yang tadi mengigit bibirnya.
Lihat! Bibir gadis itu, kini sampai tebal karena bengkak. Dasar pria bar-bar. Suka memperlakukan wanita dengan kasar.
Tanpa menjawab, Dira berusaha bangun meski dengan kaki yang bergetar.
"Jawab pertanyaanku!" sentak Agam lagi, hal itu membuat hati Dira jadi kalang kabut.
Hampir saja ia terperosok di bawah ranjang super king tersebut. Sambil mengumpulkan sisa kekuatan, Dira mencoba berdiri tegak. Meski agak oleng karena ia masih ketakutan.
Mata merah itu, kini menatapnya bagai seorang iblis. Menyeramkan!
"Itu ... tadi ... Mas yang," Dira tak mampu melanjutkan kata-katanya. Serangan panik menyerang, ditambah lagi ia malah kini menangis sesengukan.
Agam benar-benar membuat gadis itu trauma.
'Sial! Mengapa dia malah menangis? Anak ini, benar-benar!' gerutu Agam sambil memijit-mijit keningnya yang terasa makin pusing.
"Jangan menangis di depanku!"
Entah ini bentakan yang ke berapa yang Dira terima. Gadis itu kini hanya bisa menyusut hidung sambil mengusap mata.
Bete, kesal campur marah. Agam melempar kotak tisu ke arah Dira.
"Jangan kotori tempat ini, keluarlah!"
Akhirnya Dira pun memungut kotak tisu itu, dan berjalan ke luar meninggalkan Agam sendirian di dalam sana.
Haus, Dira tidak langsung kembali ke kamar. Ia memilih ke dapur. Sepanjang jalan ke dapur yang panjang. Matanya celingukan ke sana ke mari.
Sepi, tak ada mahluk hidup sama sekali di sana. Hanya ada cicak di dinding dan beberapa nyamuk yang sejak tadi mengigit kakiknya.
Begitu menemukan lemari pendingin, tangannya meraih sebotol air mineral. Dira kemudian langsung duduk di meja makan yang lebar itu. Namun, ia terhenyak kaget saat mendapati ada Robby yang sedang duduk sambil menyesap kopinya.
"Singkat sekali mainnya!" cibir Robby.
Dira nampak berpikir, kemudian memilih mengacuhkan ucapan Robby. Kerongkongan sudah kering, ia lebih baik minum dulu.
Setelah menengak air putih itu sampai habis, Dira dengan berani menatap Robby.
"Kenapa Mas tadi ngak nolong Dira?"
"Cih ... menolong apa maksudmu? Bisa-bisa Tuan Agam memengal kepalaku!"
Dira spontan memegang lehernya. Robby yang melihat hal itu, bibirnya tiba-tiba mengulas senyum.
'Sepertinya gadis ini memang bodoh dan lugu!' pikir Robby.
"Bilang sama Tuan Agam, aku pulang!" Pria itu pun bangkit sambil membawa cangkirnya ke dapur.
"Bilang saja sendiri, tidakkah Mas Robby lihat. Betapa takutnya aku padanya."
"Takut? Ish ... Tuan tidak akan memakanmu sampai habis. Pasti ia sisakan sedikit!"
Mendengar itu, Dira langsung merosot dari kursi yang ia duduki.
Robby hanya melirik sebentar kemudian pergi.
Esok harinya, matahari bersinar cerah. Tak seperti Dira. Langitnya mendung karena kejadian semalam. Belum lagi bibirnya kini masih bengkak.
Tok tok tok
"Nona Dira, waktunya sarapan!" ucap Bibi.
"Iya!"
Dira lantas ke luar kamar, sudah mandi namun dengan dandanan alami. Itulah Dira, gadis kampung yang apa adanya. Ia hanya akan pakai bedak kalau ada kondangan.
"Bik, Dira makan di sana saja ya?" Dira menunjuk dapur. Ia bisik-bisik pada Bibi asisten rumah tangga. Takut makan satu meja dengan Agam.
"Jangan, nanti Tuan marah!"
Waduh, Dira seolah mati kutu. Akhirnya ia duduk di meja makan sambil menunggu Agam turun.
Selang beberapa menit, Agam muncul. Seketika itu juga, hawa dingin menyeruak di sekitar meja makan.
Dira terus saja menundukkan wajahnya, tak berani menatap wajah Agam.
"Makanlah!" serunya dengan nada dingin seperti biasa.
Karena Agam sudah bicara, Dira pun berani mengangkat wajah.
'Ada apa dengan bibirnya?' batin Agam yang sekilas melihat Dira.
'Sialll!' rutuk Agam yang ingat bahwa itu adalah hasil dari karyanya semalam.
Keduanya akhirnya makan dengan suasana hening, hanya ada suara sendok dan garbu. Suara kecapan Dira yang biasanya nyaring pun nampak disaring.
Dira seolah tak mengunyah sarapannya itu, gadis itu mungkin langsung menelannya begitu saja.
Suasana kaku nan canggung itu pun akhirnya selesai, karena semua makanan yang di piring sudah ludes.
"Boleh Dira kembali ke kamar?"
Dengan takut-takut Dira meminta ijin.
Agam hanya mengangguk sekali. Kemudian ia yang pergi meninggalkan meja makan pertama kali.
Selepas kepergian Agam, Dira akhirnya bisa menghirup oksigen dengan bebas. Di dekat Agam, membuat gadis itu selalu tegang.
Karena tidak ada hal yang ingin ia lakukan, maka ia membawa semua makanan di meja makan ke dapur.
"Jangan Non! Jangan!" larang Bibi.
"Ngak apa-apa."
"Nanti Tuan marah, kangan memancing kemarahan Tuan!"
Ucapan Bibi membuat Dira tertegun. Kemudian ia memilih kembali ke kamarnya.
"Non, tunggu!" Bibi kemudian merogoh saku bajunya. Mengeluarkan sebuah salep dari dalam kantong bajunya itu.
"Apa ini?"
"Kata Tuan, buat ngoles bibir Nona Dira. Kalau boleh tau, bibir Non Dira tersengat apa sampai bengkak begitu?"
Bersambung
Kadang orang dingin pun bisa perhatian, hanya cara mereka yang tak biasa. Bukan gombal dengan untaian banyak kata cinta, namun dengan tindakan nyata.
i