zahratunnisa, gadis berparas ayu yang sedang menempuh pendidikan di Dubai sebuah musibah menimpanya, hingga akhirnya terdampar di amerika.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ewie_srt, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
dua puluh tujuh
IN DUBAI
seminggu sejak hilangnya zahra, kehebohan di asrama mulai tenang, ponsel gadis itu berada di tangan adiba, dan adiba tidak memberitahu siapapun tentang keberadaan ponsel zahra. Ia mencurigai seseorang dari daftar panggilan terakhir zahra, namun adiba tak berani mengungkapkan pada siapapun.
Adiba sudah melaporkan hilangnya zahra, tak lupa gadis itu juga melaporkan kepada ommar, pria itu seperti orang gila, setiap hari ommar mondar-mandir dari asrama zahra ke kantor polisi.
Pria itu lebih sering berada di kantor polisi, mencari informasi terkini tentang hilangnya zahra, ia juga sering mengunjungi kedubes RI. Mencari tahu apa yang bisa ia temukan di sana terkait hilangnya zahra.
Wajah pria itu kusut, rambut tipis di dagu dan jambangnya tak sempat ia rapikan, dalam benaknya saat ini kemana perginya zahra tanpa pamit, jangankan padanya pada teman sekamarnya pun zahra tak sempat pamit.
Sudah 7 malam sejak zahra hilang, ommar tidak bisa tidur sepicing pun. Rasa sakit kehilangan yang ia rasakan bercampur dengan rasa takut, ommar takut terjadi hal yang mengerikan pada gadis itu.
Sudah seminggu juga, ommar tak pernah mengunjungi rumah kedua istrinya, setelah dari kementerian waktunya lebih banyak dihabiskan mencari sisa-sisa keberadaan zahra.
Malam ini, malam kesepuluh sejak zahra raib bagai di telan bumi, ommar merasakan dunianya runtuh. Ia tak bersemangat dalam hal apapun, ternyata ia benar-benar mencintai gadis indonesia itu.
"dimana kamu zahra?" gumamnya sendu, matanya memerah menahan air mata yang hendak jatuh, rasa sakit di dadanya terasa sangat menyesakkan.
Ommar menatap kota dubai di malam hari dari jendela kaca apartemennya di lantai 30, ommar ingin teriak, ingin rasanya ia memaki dirinya sendiri yang terikat seperti ini. Seandainya saja dirinya pria bebas, tentu saja saat ini ia akan terjun langsung mencari wanita yang di cintainya itu.
Ommar harus bersabar, hanya menanti kabar dari orang-orang bayarannya, sudah 10 hari tapi orang-orang bayarannya itu tak menghasilkan apapun.
Sebenarnya rasa heran juga menguasainya saat ini, bagaimana bisa zahra hilang bagai di telan bumi. Tak ada sisa-sisa keberadaan gadis itu yang bisa menjadi petunjuk, dimana dan kemana sebenarnya zahra. Sungguh itu membuat ommar kelimpungan, dan kalut.
"ning..nong"
Ommar tersentak oleh bunyi bel, keningnya berkerut heran. Namun tak urung ia melangkah, membuka pintu apartemennya itu.
Amira, istri keduanya berdiri di depan pintu. Matanya menatap nyalang ke arahnya, wanita itu berdiri bertolak pinggang, dengan beberapa pengawal pribadi berdiri di belakang istrinya itu.
Ommar tak berreaksi apapun, wajahnya menatap tanpa ekspresi, ia membiarkan pintu itu terbuka, tak ada ajakan atau perintah, pria itu melangkah kembali ke sofa tempatnya duduk tadi tanpa suara.
"kenapa kamu seperti ini ommar?, apakah aku dan latifa tak memiliki arti bagimu?"
Suara lantang amira sama sekali tak ommar gubris, pria itu masih menatap pemandangan indah dari jendela kaca, kini pria itu berdiri masih menatap pemandangan malam dubai yang indah, dengan kedua tangannya berada di saku celananya.
"aku dan latifa adalah istrimu!, ommar!" teriak amira sedikit histeris
Ommar memutar tubuhnya malas, mata elangnya terlihat sayu dan lelah.
"sudahlah amira, jangan buat kepalaku tambah pusing"
"kenapa kamu pusing karena perempuan yang bukan siapa-siapa, sehebat apa perempuan itu sampai kamu mengacuhkan kami, siapa di—"
"nama perempuan itu zahra.." sela ommar cepat, sorot matanya terlihat tajam menusuk.
"dan perempuan itu, aku mencintainya.."
"tidak..tidaaakkk" teriak amira histeris, hati wanita itu sakit bagai di remas-remas, melihat kesungguhan ucapan ommar dan sorot mata pria itu, sungguh amira tidak terima.
"kau tahu, latifa juga tahu, aku mencintai zahra" ucap ommar datar dan dingin,
Amira menangis, tubuhnya luruh terduduk di lantai. Tangannya meremas dadanya yang terasa sakit, ia sangat mencintai ommar dan ucapan pria itu barusan sungguh melukai hatinya.
"lalu apa arti kami bagimu?"
Ommar menggeleng, wajah tampannya terlihat sendu.
"jangan mulai amira, jangan pernah tanyakan posisi kalian di hatiku"
Ommar memutar tubuhnya kembali, membelakangi istri keduanya itu yang semakin terisak.
"lalu kenapa kamu mau menikahiku?"
"hhhhhhhh.." helaan nafas ommar terdengar berat,
"aku menikahimu, karena ibuku memaksa.."
"tapi ommar.."
"amira.." panggil ommar tanpa melihat ke arah wanita itu,
"bukankah keinginanmu hanya menjadi istriku!, jangan berharap lebih amira, kau tidak akan pernah memiliki hatiku"
Amira semakin tersedu-sedu, tubuh wanita itu berguncang menahan sedih dan sakit dalam hatinya,
"pulanglah.." perintah ommar setelah mereka terdiam cukup lama, suara tangisan amira tinggal menyisakan isakan.
"aku tak bisa mengantarmu, sudah seminggu ini aku tak tidur sama sekali"
Amira berdiri, ia melangkah menghampiri suaminya itu. Bayangan mereka terpantul dari jendela kaca, amira menggigit bibirnya. Mata ommar terlihat enggan menatapnya walau hanya lewat pantulan bayangan,
"ommar, katakan apa yang bisa kulakukan agar kamu melupakan gadis itu"
"maaf amira.." geleng ommar tanpa menoleh, tanpa menatap bayangan amira sedikitpun.
"tidak akan ada yang bisa membuat aku melupakan zahra"
Hati amira mendidih mendengar jawaban ommar, yang sama sekali tak memperdulikan hatinya itu.
'untung aku sudah menyingkirkan gadis sialan itu' ujarnya dalam hati,
'ada tak ada dirimu zahra, kamu mengambil hati ommar seluruhnya'
"pulanglah amira, aku ingin beristirahat" pinta ommar dengan sedikit memaksa, pria itu meninggalkan amira sendirian, ia menuju ke kamarnya tanpa memperdulikan istrinya itu sedikitpun.
Amira menoleh kesal, sorot mata indahnya terlihat marah. Namun senyum sinis terlihat tipis di bibirnya,
"teruslah mencari gadis murahanmu itu, kamu tak akan pernah menemukannya ommar!, semoga saja gadis itu sudah mati di lautan sana dan sudah di makan ikan hiu" gumam amira dengan tawa kecilnya.
Sekilas ia menoleh ke arah kamar ommar yang sudah menutup, sebelum kakinya melangkah keluar. Senyum culas itu terlihat lagi,
"latifa saja, kalau bisa akan aku singkirkan. Tidak ada yang boleh memilikimu, kecuali aku ommar"
Amira meraih handle pintu apartemen ommar yang luas itu, di luar menanti pengawal-pengawalnya yang bertubuh kekar, pengawal yang juga membantunya menculik dan menghilangkan zahra dari hidup ommar.
"ayo kita pulang.." perintahnya dan diangguki dengan hormat oleh pria-pria besar itu.
Bersambung..