NovelToon NovelToon
EMPRESS ELARA (Transmigrasi Kedalam Tubuh Permaisuri Lemah)

EMPRESS ELARA (Transmigrasi Kedalam Tubuh Permaisuri Lemah)

Status: sedang berlangsung
Genre:Transmigrasi ke Dalam Novel / Fantasi Wanita / Cinta Istana/Kuno / Masuk ke dalam novel / Mengubah Takdir
Popularitas:4.1k
Nilai: 5
Nama Author: Senja Bulan

Seorang wanita modern Aira Jung, petinju profesional sekaligus pembunuh bayaran terbangun sebagai Permaisuri Lian, tokoh tragis dalam novel yang semalam ia baca hingga tamat. Dalam cerita aslinya, permaisuri itu hidup menderita dan mati tanpa pernah dianggap oleh kaisar. Tapi kini Aira bukan Lian yang lembek. Ia bersumpah akan membuat kaisar itu bertekuk lutut, bahkan jika harus menyalakan api di seluruh istana.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja Bulan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 8, Tuduhan yang membawa Elara kepada teka-teki Istana

Malam pesta berlalu dengan gemerlap yang menipu.

Namun ketika pagi datang, keheningan istana berubah menjadi bisik-bisik penuh ketakutan.

Di halaman timur, tepat di depan paviliun tempat para tamu beristirahat, seorang pelayan menemukan mayat bangsawan dari keluarga Elvren pria berumur empat puluh dengan kulit membiru dan mata membelalak.

Racun.

Bau getirnya masih terasa di udara.

Dalam hitungan jam, kabar menyebar ke seluruh istana.

Dan di setiap bisikannya, satu nama disebut berulang-ulang Permaisuri Elara.

Aula kerajaan dipenuhi orang.

Kaisar Kaelith duduk di singgasana tinggi, ekspresinya sedingin batu.

Di bawahnya, para pejabat dan selir berbaris dengan wajah cemas.

Elara masuk dengan langkah tenang, mengenakan jubah biru tua sederhana. Ia tidak menunduk, tidak menunjukkan rasa takut.

Kaen berjalan di belakangnya tidak sebagai pengawal, tapi sebagai saksi diam yang siap bertindak jika keadaan memanas.

“Yang Mulia,” salah satu penasihat membuka suara, “korban terakhir terlihat meminum anggur dari meja yang disiapkan oleh pelayan istana timur. Paviliun itu, seperti yang kita tahu… berada di bawah perintah Permaisuri Elara.”

Suara bergema di aula.

Beberapa pejabat mulai saling pandang.

Lady Valen berdiri di sisi kanan ruangan, wajahnya tertutup kipas, tapi senyum kecil di matanya jelas.

“Aku tidak pernah menyentuh anggur itu,” kata Elara datar. “Dan aku tidak pernah memerintahkan siapa pun untuk menyajikannya.”

“Namun bukti mengarah padamu,” sahut salah satu pejabat. “Pelayan yang bertugas adalah bawahanmu. Racun ditemukan di dapur istana timur.”

Elara menatap pria itu dalam diam.

Tatapannya tidak marah, hanya dingin dan tajam seperti petarung yang sedang menilai lawannya sebelum memukul.

“Lucu,” katanya akhirnya. “Istana ini punya delapan dapur, dan racun bisa ditemukan di mana saja. Tapi entah kenapa, racun itu selalu ‘ditemukan’ di tempat yang menguntungkan pihak tertentu.”

Beberapa kepala menunduk.

Kaisar masih diam. Hanya tangannya yang bergerak pelan, mengetuk sandaran singgasana.

Kaen maju selangkah.

“Yang Mulia, izinkan saya memeriksa kembali catatan dapur. Tidak ada laporan tentang bahan berbahaya yang masuk semalam.”

“Kau pembela permaisuri sekarang, Kaen?” Lady Valen menyindir, suaranya manis tapi menusuk.

Kaen menoleh tanpa ekspresi.

“Aku hanya bicara berdasarkan fakta. Tapi jika Lady Valen merasa keberatan dengan kejujuran, mungkin ia lebih suka mendengar kebohongan.”

Ruangan mendadak hening.

Beberapa pejabat berdehem canggung.

Kaisar Kaelith akhirnya bersuara.

“Cukup.”

Suaranya dalam dan tegas, membuat semua orang menunduk.

Ia berdiri, langkahnya bergema saat turun dari singgasana.

Tatapannya menembus Elara.

“Jika kau tidak bersalah, buktikan,” katanya pelan.

“Kau punya waktu tiga hari untuk menemukan siapa yang melakukannya. Jika tidak…”

Ia berhenti di depan Elara, jarak mereka hanya sejengkal.

“…aku akan percaya bahwa dunia istana lebih cepat menghancurkan daripada menyelamatkanmu.”

Elara menatapnya balik tanpa gentar.

“Tiga hari cukup.”

Setelah sidang berakhir, Elara berjalan menuju paviliun timur.

Kaen mengikutinya, langkahnya cepat.

“Kau tahu ini jebakan, bukan?” Kaen bertanya lirih.

“Tentu saja,” jawab Elara tenang. “Tapi yang membuatku penasaran bukan siapa pelakunya, melainkan siapa yang begitu yakin aku akan jatuh secepat itu.”

Ia menatap meja anggur tempat racun ditemukan.

Cangkir perak masih di sana, setengah isi.

Elara mengangkatnya, mencium aroma samar yang tersisa bukan racun biasa, tapi racun lambat yang hanya bekerja ketika bercampur dengan alkohol tertentu.

“Racun jenis ini…” gumamnya, “hanya digunakan oleh pasukan rahasia kerajaan. Tak mungkin pelayan biasa memilikinya.”

Kaen menatapnya dengan wajah serius.

“Kau pikir seseorang di dalam lingkaran Kaisar yang melakukannya?”

“Mungkin.”

Elara meletakkan cangkir itu perlahan.

“Atau seseorang yang ingin membuat Kaisar memerangiku tanpa menyadari dia sedang dimainkan.”

Ia berbalik, menatap taman di luar paviliun. Angin membawa aroma bunga melati yang sama seperti malam pesta.

“Kaen,” katanya tenang, “tolong awasi Lady Valen. Tapi jangan biarkan dia tahu. Aku ingin tahu siapa yang mendatanginya setelah tengah malam.”

“Perintah yang berbahaya, Yang Mulia,” kata Kaen lirih.

“Tidak lebih berbahaya dari duduk diam menunggu mati,” jawab Elara, matanya berkilat.

Malam turun perlahan di atas istana.

Hujan gerimis membuat udara lembap, sementara lentera-lentera di jalan setapak bergoyang tertiup angin.

Semua tampak tenang… tapi bagi Elara, malam itu adalah awal perburuan.

Ia berdiri di depan cermin tembaga mengenakan jubah hitam tipis yang memudahkannya bergerak. Rambutnya digelung tinggi dan disembunyikan di balik tudung.

Di meja kecil, sebuah belati tipis berkilau di bawah cahaya lilin.

Elara menyelipkannya di pinggang.

“Tiga hari,” gumamnya lirih. “Dan malam ini, aku akan mulai menghitung dari bawah.”

Kaen, yang menunggu di luar kamar, segera menunduk ketika Elara keluar.

“Apakah kau yakin ingin turun sendiri, Yang Mulia? Jika mereka mengenalimu”

“Mereka tidak akan sempat mengenali siapa pun,” potong Elara pelan. “Jaga gerbang istana timur. Jika aku belum kembali sebelum fajar, kau tahu apa yang harus dilakukan.”

Kaen menatapnya lama sebelum mengangguk.

“Baik, Yang Mulia.”

Istana saat malam bukan tempat yang indah.

Gelap, sunyi, dan setiap bayangan bisa jadi mata.

Elara berjalan cepat melalui lorong sempit di belakang dapur utama. Setiap langkahnya ringan, setiap napasnya teratur.

Sebagai mantan pembunuh bayaran, ia tahu bagaimana membaca ruang.

Ia tahu kapan seseorang sedang mengintai, kapan seseorang pura-pura tidur.

Dan malam itu, semua nalurinya berteriak ada sesuatu yang menunggunya di sini.

Di ujung lorong, ia melihat seorang pelayan membawa nampan tertutup.

Pelayan itu terkejut saat melihatnya.

“Y-Yang Mulia?”

Elara tidak menjawab. Ia melangkah mendekat, matanya menelusuri gerakan kecil pelayan itu jari yang gemetar, keringat di pelipis, tatapan yang tak berani menatap langsung.

“Apa yang kau bawa?” tanya Elara pelan.

“I-ini makanan untuk Lady Valen, Yang Mulia. Ia meminta camilan sebelum tidur.”

“Oh?” Elara menatap nampan itu lama. “Buka.”

Pelayan itu ragu, tapi akhirnya menuruti.

Di bawah kain putih, ada potongan buah yang disiram madu sederhana, tapi aromanya aneh.

Elara mengambil sepotong kecil, mencium baunya, lalu berkata datar:

“Racun bunga biru. Jenis yang sama seperti yang membunuh bangsawan Elvren.”

Pelayan itu pucat seketika.

“S-Saya tidak tahu apa-apa! Saya hanya disuruh”

“Oleh siapa?”

“S-Seorang pengawal, Yang Mulia! Dari istana tengah! Ia bilang ini pesanan Lady Valen!”

Elara menatap tajam.

“Deskripsikan wajahnya.”

“Saya… tidak bisa. Ia memakai topeng hitam.”

Elara menghela napas pelan.

“Topeng hitam, ya…” gumamnya. “Sepertinya seseorang di dalam istana mulai bosan menunggu aku jatuh dengan sendirinya.”

Ia menatap pelayan itu, suaranya turun menjadi sangat lembut nada yang membuat siapa pun menggigil.

“Dengar. Jika kau berbohong, aku tidak akan repot membunuhmu. Tapi jika kau jujur, aku akan memastikan kau tetap hidup cukup lama untuk melihat siapa yang sebenarnya kau layani.”

Pelayan itu menunduk ketakutan.

“Saya… saya bersumpah, Yang Mulia, saya hanya disuruh.”

Elara memberi isyarat agar dia pergi.

“Katakan kau sakit perut dan tidak bisa bertugas malam ini. Jangan kembali ke dapur sampai aku bilang aman.”

Setelah pelayan itu pergi, Elara menyusuri jalan menuju lorong rahasia di balik dapur utama jalan yang dulu hanya diketahui oleh pelayan senior dan pengawal tertentu.

Lorong itu gelap, berdebu, tapi ia tahu ke mana arahnya: ruang penyimpanan racun istana.

Saat ia tiba, pintunya sedikit terbuka.

Elara berhenti.

Tangannya meraih belati perlahan, napasnya ditahan.

Dari dalam ruangan terdengar suara langkah dan… bisikan.

“Letakkan saja di situ. Besok pagi, biar mereka yang menemukannya.”

“Tapi kalau Permaisuri tahu—”

“Dia takkan tahu apa pun. Dia akan sibuk membela dirinya.”

Elara menahan napas, lalu bergerak secepat bayangan.

Belatinya melesat ke arah suara pertama, menancap di tiang kayu hanya beberapa senti dari kepala pria bertopeng yang sedang menunduk.

“Aku benci orang yang bicara tanpa izin,” suaranya datar namun dingin.

Dua pria bertopeng menoleh kaget, tapi sebelum mereka sempat kabur, Elara sudah menendang satu di dada dan memutar pergelangan tangan yang lain sampai terdengar bunyi krek halus.

Mereka jatuh.

Salah satu mencoba melawan, tapi satu hantaman lutut Elara membuatnya pingsan.

Ia berjongkok di depan salah satu yang masih sadar.

“Katakan siapa yang memerintahkanmu,” katanya tenang.

Pria itu menggertakkan giginya.

“Aku… aku tak bisa. Kalau aku bicara, aku mati.”

“Kalau kau diam, kau mati sekarang,” balas Elara dingin.

Pria itu gemetar, lalu menatapnya dengan ketakutan.

“S-Seorang wanita… tapi bukan Lady Valen. Ia mengenakan jubah putih. Aku hanya tahu dia selalu datang dari arah kediaman Kaisar.”

Elara menatapnya tajam.

Jubah putih.

Dari arah kediaman Kaisar.

“Siapa kau sebenarnya?” bisik pria itu, darah di bibirnya menetes. “Permaisuri macam apa bisa bertarung seperti ini?”

Elara menatapnya lama, lalu menjawab dingin:

“Permaisuri yang tidak sudi mati bodoh seperti pendahulunya.”

Ia memukul leher pria itu dengan cepat membuatnya pingsan tanpa suara.

Kemudian berdiri, menarik napas dalam-dalam.

“Jubah putih…” gumamnya, memejamkan mata.

“Sepertinya aku mulai tahu siapa yang ingin aku disingkirkan lebih dulu.”

Ketika fajar menyingsing, Elara kembali ke kamarnya dengan langkah tenang.

Tangannya sedikit berdarah, tapi matanya dingin dan jernih.

Kaen menunggu di luar.

“Kau menemukan sesuatu?”

“Lebih dari yang kuharapkan,” jawabnya pelan. “Tapi ini belum saatnya membuka semuanya. Aku ingin melihat seberapa jauh mereka berani melangkah.”

Ia berjalan masuk ke ruang pribadinya, lalu berkata tanpa menoleh:

“Siapkan orangmu, Kaen. Malam besok kita akan menyusup ke kediaman Kaisar.”

Kaen membeku.

“Ke… kediaman Kaisar?”

“Ya,” Elara menatapnya dari balik bahunya. “Karena jika sumber racun datang dari sana, maka yang kotor bukan hanya istana timur… tapi takhta itu sendiri.”

1
Murni Dewita
👣
Senja Bulan
Ada urusan 🙏
Siti
knp thor masa gk update seminggu🤔
Siti
Kapan update nya.....🙏
Siti
Aku suka ceritanya,jarang loh seorang wanita petinju masuk dunia novel. Apalagi aku suka karakter wanita badas .
Senja Bulan: terimakasih sudah komen kk🙏
total 1 replies
Dzakwan Dzakwan
Gak sabar nih thor, gimana kelanjutan cerita nya? Update yuk sekarang!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!