tidak mudah bagi seorang gadis desa seperti Gemi, untuk menjadi seorang prajurit perempuan elit di kerajaan, tapi yang paling sulit adalah mempertahankan apa yang telah dia dapatkan dengan cara berdarah-darah, intrik, politik, kekuasaan mewarnai kehidupannya, bagaimana seorang Gemi bertahan dalam mencapai sebuah kemuliaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mbak lee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tupai kecil yang malang
Para penguntit lari tunggang langgang, bahkan Kakek Tanjar belum bereaksi apapun, aku berdecak kagum
" kakek kau sungguh hebat " kataku, kakek Tanjar tertawa lirih
" itu bukan ilmu sebenarnya, aku memakai kekuatan otot dan keberanian, hanya bagus diluar, begitu bertemu dengan orang yang benar-benar punya ilmu murni, gertakanku akan menjadi bahan tertawaan " jelas Kakek Tanjar.
Aku mengangguk walaupun tidak paham dengan apa yang kakek ucapkan,
" tapi keberanian dan kekuatan juga penting, kalau saja aku sedikit kuat temanku pasti tidak hilang dan orang tuanya tidak sedih, bahkan mereka memukulku sampai setengah mati dengan mudahnya " gumanku sambil kembali mengekor kakek.
" Kau perempuan, apa baiknya tertarik hal seperti itu, biarkan saja suamimu yang melindungimu kelak " ucap kakek Tanjar.
" sebelum aku punya suami siapa yang melindungiku ?" tanyaku kesal
" tentu saja aku, kakekmu " aku mencebik malas dan tidak lagi memperpanjang pembicaraan ini.
sesuai ingatanku akan pesan nenek Sari aku mencari sebuah pedukuhan bernama Pusung Ghede ,
Pedukuhan Pusung Gedhe, adalah tanah subur diatas awan dengan area perkebunan sepanjang mata memandang, ketika kami sampai hari sudah hampir gelap dan dingin menggigit tulang,
" ini mimpi buruk " kata Kakek Tanjar sambil mencoba membuat perapian di sudut dusun, kami berdua menggigil kedinginan, api pelan-pelan mulai menghangatkan tubuh kami, sepanjang malam kami tidak berani bergerak dari dekat perapian,
" kalian siapa ?" Tanya pemilik kebun yang datang pada keesokan paginya
" kami sedang mencari kerabat, katanya berada di sekitar sini " kata kakek Tanjar.
" siapakah orang yang kalian maksud, pedukuhan kami tidak banyak penduduknya, kalau kalian mencari orang sini, kami pasti mengetahuinya " kata pemilik kebun,
" Gendara " kata Kakek singkat, orang itu mengangguk, dua hari yang lalu yang lalu juga ada orang yang mencari lelaki itu, sepasang suami istri.
kakek Tanjar mengangguk,
" Apakah dia termasuk orang penting disini , kenapa banyak tamunya ?" Tanya kakek,
" bukankah Gendara pengobat ?" orang itu balik bertanya, kakek Tanjar kemudian mengiyakan, walaupun kami datang tanpa gambaran sama sekali siapakah orang ini.
pemilik kebun kelewat ramah , bahkan makan disuguhkan di tempat yang sederhana ini, nasi jagung dan rebusan pucuk daun dengan sedikit garam, dalam keadaan dingin dan lapar, makanan yang diberikan terasa sangat nikmat.
Kami masih harus naik beberapa jam lagi sampai di rumah Gendara itu, ternyata kami salah yang sebenarnya di sebut rumah adalah sebuah gua di tebing, pintu masuk gua itu setinggi manusia lebih sedikit dengan bibir gua yang cukup lebar, seseorang keluar mungkinkah itu orang yang sedang kucari ?
Seorang pria dengan rambut hitam lurus sebahu, brewok dan kumis yang memanjang sepertinya orang ini lupa cara bercukur, lebih lagi wajahnya sedikit mengerikan dengan keropeng dan bekas jerawat atau bisul di semua wajahnya, aku memandang dari ujung rambut sampai ujung kaki sebelum paman itu berdehem.
" Masuklah Ki Tanjar, aku sudah tahu kalian akan datang " aku dan kakek saling menoleh
" Terimakasih " kata kakek singkat
"orang ini punya ilmu sejati " bisik kakek Tanjar kepadaku, aku mengangguk karena sebelumnya kakek sudah menceritakan bagaimana bentukan ilmu dari dalam.
kami dipersilahkan duduk di dalam gua, gua itu juga memakai perapian kecil untuk menghangatkan diri, dari dalam gua muncul seorang lelaki yang hampir mirip dengan paman Gendara, hanya saja aku melihat kalau anak lelaki ini lebih muda.
setelah berbasa-basi tentang perjalanan, aku membuka buntalanku,
" ini amanah yang harus saya berikan kepada paman " kataku sambil menyodorkan permata dalam kantong uangku, paman Gendara menerima dan melihat batu merah darah itu dengan seksama.
" Buat, bawalah gadis ini untuk mengambil daun Naga darah " perintah Paman Gendara kepada lelaki remaja yang ternyata bernama Buat , Buat mengangguk patuh.
" Baik paman "
Aku tahu mungkin ada pembicaraan yang tidak boleh kami dengar sebagai generasi yang lebih muda, maka dengan cara itu mereka mengusir kami berdua, dan aku langsung paham dan dengan sadar langsung bergerak mengikuti pemuda itu.
" namamu siapa ?" Tanya pemuda remaja yang mempunyai wajah sedikit aneh
" Aku Gemi " sahutku pendek
" Gemini atau Gemili ?" katanya sedikit menggoda, aku tertawa kecil ( gemili adalah jenis buah yang umum )
" Kau tidak bertanya siapa namaku ?" pemuda itu berbasa basi, aku tersenyum kecut
" bukankah Buat ? " tanyaku
" tapi aku punya nama panjang " katanya dengan senyum
" Siapa?" pada akhirnya aku penasaran
" Buat apa aku memberitahumu " katanya dengan tertawa, pada akhirnya aku juga menertawakan kekonyolanya.
" aku juga punya nama panjang " kataku spontan
" hmmmm " pemuda itu memandangku sebentar.
" Gemiiiiiiiiiiiiiiii " jawabku, dan spontan pemuda itu juga tertawa riang
Pemuda bernama Buat ini sangat ceria dan pandai melawak, berbeda jauh dengan bayangan seramku, lelaki jangkung dan kurus ini sebenarnya memiliki fitur wajah yang bagus dengan alis dan hidung yang pas, hanya saja kulitnya hitam seperti tidak sehat, juga wajah dengan jerawat hampir semuka, belum lagi bekasnya membuat keropeng di wajahnya.
setelah berjalan beberapa lama Kak Buat menunjuk sebuah tebing, curam
" Tunggu disini, aku akan kebawah mengambil daun yang paman minta " aku mengangguk dan membayangkan menuruni tebing itu, aku sama sekali tidak berminat, tebing itu seperti jurang menganga kalau sampai terpeleset maka dipastikan aku tidak akan pergi ke madura lagi.
" Baik kak, aku tunggu disini " kataku, aku memanggilnya dengan sebutan kakak untuk menghargainya, setelah tahu usia kami terpaut sembilan tahun,
Kak Buat menuruni tebing itu dengan hati-hati, kakinya melangkah satu-satu, tanganya berpegangan sulur atau akar, dari atas terlihat seperti seekor monyet raksasa.
aku mengamati dan lambat laun mulai bosan, dan mengeluarkan pisang dari dalam kantong bajuku, sebelum aku mengunyah satu-satunya pisang yang tersisa seekor tupai kecil menghampiri, dan terus memandangku, muncul perasan iba dan kuberi potongan pisangku,
" Kau mau ini ?" tanyaku, walaupun aku sadar tupai ini tidak akan mengatakan iya, dengan penuh kehati-hatian tupai itu mendekatiku untuk mengambil potongan pisang, aku tersenyum segera tupai itu berbalik untuk pergi setelah mendapatkan bagianya.
Tapi sungguh aku terkejut dengan kecepatan yang super cepat, seekor burung besar menyambar tupai kecil itu tepat di depanku, aku masih melihat tupai itu bergerak-gerak dibawa naik, spontan aku merogoh saku dan mengeluarkan katapel pemberian kakak, membidik dengan cepat, walau bidikanku tidak sebagus kakak tapi selama ini aku cukup handal untuk anak perempuan, tapi memang benda bergerak seperti seekor burung bukan hal yang mudah, pada kali ke tiga bidikanku tepat mengenai burung itu, tupai terlepas dari cengkeraman dan terjatuh dari ketinggian, dengan segera aku melihat kondisinya.
ah sayang sekali, aku sudah berusaha menyelamatkannya, tupai itu tidak bergerak dengan luka di beberapa tubuhnya, cengkeraman burung besar itu melukai tubuhnya, ditambah terlempar dari ketinggian semakin memperparah kondisinya.
" ahhhh kau kasihan sekali " kataku hampir tidak tega,
belum selesai dengan tupai kecil itu, ternyata burung besar itu marah padaku, kemudian dari ketinggian menukik tajam ke arahku, untung saja burung itu mengeluarkan suara aneh yang membuatku waspada.