"Aku tidak butuh uangmu, Pak. Aku hanya butuh tanggung jawabmu sebagai ayah dari bayi yang aku kandung!" tekan wanita itu dengan buliran air mata jatuh di kedua pipinya.
"Maaf, aku tidak bisa!" Lelaki itu tak kalah tegas dengan pendiriannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Risnawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ingin muntah melihatmu
Sofia mematung dengan tubuh gemetaran saat ia mendengar suara yang sangat familiar di telinganya. Nggak, itu nggak mungkin dia. Namun, postur tubuh itu tidak bisa di bohongi. Meskipun posisinya membelakangi, tetapi ia sangat mengenali.
"Bik, dengar aku ngo...." ucapan Axel terhenti saat ia menoleh ke belakang. Matanya membola dan terkesiap.
"Kamu?" ujar lelaki itu seketika berdiri dari duduknya.
Sofia masih membeku tanpa suara. Baru sadar ternyata saat ini ia sedang berada di kediaman orangtua lelaki yang sengaja ia hindari.
Axel menghampiri dimana Sofia masih mematung. Tatapannya begitu lekat penuh introgasi.
"Kenapa kamu bisa ada di rumahku?" tanya Axel datar.
"Aku, aku tidak tahu jika ini rumahmu," jawab Sofia sedikit gugup.
"Hng! Kamu benar-benar hebat Sofia, kamu sengaja mendatangi kediaman orangtuaku agar kamu bisa memaksaku untuk menikahimu melalu orangtuaku, begitu?" tekan Axel dengan nada sedikit meninggi.
Sofia yang sedari tadi menunduk, ia memberanikan diri mengangkat wajahnya.
"Cukup Pak! Cukup! Hentikan tudinganmu itu. Aku benar-benar tidak tahu jika Bu murni adalah orangtua kamu. Seandainya aku tahu, maka aku tidak akan pernah mau datang kerumah ini!" tekan Sofia tegas.
Axel menyeringai mendengar ucapan Sofia. Tentu saja ia tidak percaya dengan kata-katanya.
"Kamu kira aku percaya dengan ucapanmu itu. Ingat ya Sof, aku tidak akan pernah mau menikah denganmu!" ujar Axel begitu menyakitkan.
Sofia menatap tajam dengan genangan air mata. Hatinya terasa sakit sekali saat mendengar ucapan Axel. Untuk ke kesekian kalinya lelaki itu mendengungkan di telinganya bahwa tidak ada pertanggung jawaban untuk bayinya. Tidak adakah sedikit saja rasa sayang terhadap darah dagingnya?
Sofia menekan segala rasa sakit di hatinya. Ia tidak boleh sedih, ia harus tetap tegar. Lelaki seperti Axel tidak pantas untuk di tangisi.
"Awwh...." Sofia memegang perutnya yang tiba-tiba terasa nyeri.
"Jangan banyak drama kamu. jangan menjadikan kehamilanmu itu untuk meminta perhatianku," ucap Axel masih dengan keangkuhannya.
Sofia merasa perutnya semakin sakit sehingga ia tak mampu untuk berdiri.
"Mbak Sofia kenapa?" tanya bibik yang baru saja datang.
"Bik, perut aku sakit sekali," lirih Sofia menjangkau tangan bibik untuk meminta bantuan.
"Ayo bibik bantu ke kamar. Tapi apakah mbak bisa jalan?" tanya bibik ragu.
"Nggak usah lebay gitu Bik, tadi dia bisa jalan kok," sahut Axel masih berdiri di sana tanpa minat untuk membantu.
"Tapi mbak Sofia sedang di suruh istirahat total oleh dokter, Den. Karena mbak Sofia mengalami pendarahan. Tadi kenapa tidak panggil bibik saja, mbak?" ucap bibik merasa sangat khawatir.
Axel terdiam sejenak mendengar penjelasan bibik. Ia masih belum tahu bagaimana Sofia sampai di kediaman orangtuanya.
"Akhhh.... Ini sakit sekali, Bik..." Sofia masih merintih menahan rasa sakit di perutnya. Sepertinya perdebatannya tadi membuat kondisinya memburuk.
"Den, tolong bantu gendong mbak Sofia ke kamarnya. Bibik sangat takut terjadi hal buruk pada bayinya," ucap bibik meminta bantuan lelaki yang sebenarnya adalah ayah dari bayi yang di kandung oleh Sofia.
Axel yang sebenarnya tak sampai hati, maka dengan raut wajah datar ia menghampiri Sofia.
"Nggak perlu!" tolak Sofia saat Axel hendak membantunya. Hatinya sudah terlanjur terluka.
"Nggak usah kepedean seperti itu, aku hanya ingin membantu bayi itu," balas lelaki itu menatap malas.
"Tapi bayiku tidak sudi di bantu olehmu! Bahkan melihat wajahmu saja aku ingin muntah!" timpal Sofia menatap muak.
"Kamu kira aku sudi lihat muka kamu ada disini? Aku lebih mual lagi tahu!"
Bibik menatap bingung dengan pasangan ini. Kenapa mereka sepertinya saling membenci? Apakah sebelumnya mereka sudah pernah kenal?
"Bik, bantu aku jalan ke kamar," pinta Sofia malas meladeni ayah anaknya itu. Ia harus segera pulih agar segera pergi meninggalkan kediaman ini.
Bibik menatap ragu. teringat pesan Bu murni dan dokter Seno. Bagaimana jika terjadi sesuatu pada bayinya? bisa-bisa ia terkena marah oleh mereka.
"Mbak, bibik takut jika mbak jalan, nanti darahnya keluar lagi. Bibik sangat khawatir, biar di bantu sama den Axel saja ya?" bujuk bibik.
"Aku nggak mau, Bik. Aku...."
"Ish, malas banget dengar ocehanmu itu." Axel seketika membopong tubuh Sofia.
"Aku tidak mau! Turunkan aku!" Sofia memberontak minta di turunkan oleh lelaki itu.
"Diamlah, Sofia!" bentak Axel menggeram kesal.
Sofia terdiam menatap wajah lelaki yang saat ini sedang menggendongnya. Kenapa ia harus di pertemukan lagi? Dan kenapa harus ada momen seperti ini?
"Nggak, aku nggak boleh baperan. Aku tahu lelaki ini hanya terpaksa membantuku," batin wanita itu meyakinkan dirinya.
Axel membaringkan tubuh Sofia dengan sangat hati-hati. Meskipun ia tidak menyukai Sofia, tetapi bagaimanapun juga bayi itu harus tetap di selamatkan. Sadar sekali bayi itu tidak bersalah, dia hadir karena sebuah kesalahan.
Bibik cekatan mengambil obat penguat kandungan, lalu menyerahkan pada Sofia.
"Ayo di minum dulu, mbak. Bibik sudah telpon den Seno, sebentar lagi dia pulang. Apakah perut mbak Sofia masih terasa sakit?" tanya bibik masih sangat khawatir .
"Udah nggak sakit lagi, Bik. Kenapa bibik telpon dokter Seno? Aku jadi nggak enak, takut ngerepotin," ucap Sofia.
"Nggak pa-pa, tadi den Seno berpesan, jika ada sesuatu segera hubungi dia."
Axel yang masih berdiri di samping tempat tidur, atensinya teralihkan saat mendengar suara getar ponsel Sofia di atas nakas. Terlihat panggilan dari adiknya. Sejak kapan Seno dekat dengan Sofia? Apakah Seno yang membawa Sofia ke rumah ini?
bersambung.....