Menikah? Yeah!
Berumah tangga? Nanti dulu.
Begitulah kisah Inara Nuha (21 tahun) dan Rui Naru (25 tahun). Setelah malam pertama pernikahan mereka, kedatangan Soora Naomi mengguncang segalanya. Menghancurkan ketenangan dan kepercayaan di hati Nuha.
Amarah dan luka yang tak tertahankan membuat gadis itu mengalami amnesia selektif. Ia melupakan segalanya tentang Naru dan Naomi.
Nama, kenangan, bahkan rasa cinta yang dulu begitu kuat semuanya lenyap, tersapu bersama rasa sakit yang mendalam.
Kini, Nuha berjuang menata hidupnya kembali, mengejar studi dan impiannya. Sementara Naru, di sisi ia harus memperjuangkan cintanya kembali, ia harus bekerja keras membangun istana surga impikan meski sang ratu telah melupakan dirinya.
Mampukah cinta yang patah itu bertaut kembali?
Ataukah takdir justru membawa mereka ke arah yang tak pernah terbayangkan?
Ikuti kisah penuh romansa, luka, dan penuh intrik ini bersama-sama 🤗😘
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Umi Nurhuda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
08 Mata Wisnu terbelalak
Mata Wisnu terbelalak. Ia tahu betul maksud kata-kata itu. Selama ini, tiap kali hubungannya kandas, Pak Syarif membantu dengan cara menanam pengaruh dalam hati seseorang. Semacam kekuatan sugesti. Bukan sekadar rayuan, tapi sentuhan pada batin.
Ketakutan merayap di dada Wisnu. Ia tak ingin Nuha disentuh dengan cara itu. "Sudahlah, jangan libatkan dia. Dia nggak ada urusannya sama saya." Tapi ia mencoba acuh dan tetap tenang di tempat.
Pak Syarif terkekeh kecil, lalu mengeluarkan jam saku emas dari saku rompinya. Ia mengayunkannya pelan di depan wajah Wisnu, seolah sedang menguji keberanian. “Kau yakin?” tanyanya dengan senyum menantang.
Brak!
“Ja-- jangan lakukan itu, Pak!” seru Wisnu panik. Berdiri tegang sambil menggebrak meja kafe.
"He he he..." Pak Tua itu mencondongkan badan dari kursinya. Tangannya yang penuh cincin akik menepuk kepala Wisnu lembut, seperti seorang ayah menenangkan anaknya. “Tenang saja. Bapak nggak bakal ngelakuin hal aneh-aneh… kecuali kamu yang minta,” ujarnya dengan nada menggoda.
Ya… gaya Pak tua itu memang tak pernah lekang oleh waktu. Cincin akik menghiasi jari manis dan kelingking di kedua tangannya, jam stainless mencolok melingkar di pergelangan, dan topi lusuh yang seolah menyimpan sejuta cerita selalu menempel di kepalanya.
Topi itu sederhana, tapi justru itulah pesonanya. Ia tampak seperti campuran unik antara hipnoterapis Jawa, seperempat dukun pasar malam, seperempat dosen karawitan, dan setengah ayah yang terlalu sering menonton sinetron mistis sebelum tidur.
"Ya sudah," katanya pelan, seakan-akan bicara pada dirinya sendiri. "Bapak jalan dulu."
"Lah? Orang tua ini…" Wisnu mendecak, "Anda marah, Pak?" Hatinya langsung tercekat. Meski sering gemas dengan tingkah beliau, tetap saja ia tak berani berlaku kasar. Beliau bukan hanya orang tua yang ia hormati, tapi juga ayah angkat yang sudah banyak berjasa dalam hidupnya.
Tapi Pak Syarif sama sekali tidak menunjukkan raut merajuk. Ia justru tersenyum samar, seperti menyembunyikan sesuatu. "Bapak mau pergi ke suatu tempat," ucapnya pelan, mata menatap jauh ke ke depan. "Kamu pasti nggak menyukainya. Jadi, biarkan aku pergi sendiri."
Wisnu terdiam.
Dadanya terasa digelayuti firasat tak enak. Ia tahu persis yang dimaksud Pak Syarif. Tempat mistik kesukaannya, tempat itu bukan sekadar lokasi biasa. Tempat yang tak kasat mata. Tempat yang selalu membuat Wisnu bergidik sekalipun ia sudah terbiasa mendengar cerita-cerita aneh dari ayah angkatnya itu.
Nyatanya...
Pak Syarif malah berjalan mendekati meja tempat Nuha duduk. “Anyong! Oenni-onnei comel~ apa kakek tua ini boleh gabung?” katanya dengan aksen Korea abal-abal.
“Ha???” Sifa dan Asa melongo bersamaan.
Nuha menoleh cepat bersama Fani, nyaris tersedak minumannya. “Eh? Pak Syarif?” katanya kaget tapi tetap duduk di tempat.
“Yo! Long time no see, gendhuk manis.”
“EEEHHHHHHH!!” Sifa langsung teriak kecil, shock melihat Nuha mengenali mereka. Sementara Asa menutup mulutnya, "Waw! Amazing," sangkanya.
Dari meja sebelah, Wisnu hampir terperosot dari kursinya. Dia kira Pak Tua itu mau ke kasir, eh malah mendekati meja para gadis.
Jangan salah... Pak Syarif itu memang punya sedikit bakat centil, apalagi kalau suasananya santai.
Wisnu buru-buru menghampiri, “Pak, jangan godain cewek, dong. Mau dituduh sebagai kakek-kakek mesum, heh?!” katanya sambil nyengir kaku.
“Kak Wisnu?” Mata Nuha melebar.
“Wah? bisa ketemu di sini ya, Dek. Nggak nyangka juga.” Wisnu beralih garuk kepala, senyum malu-malu, "Gimana kabarmu?"
"Em," Nuha hanya diam.
Sifa dan Asa saling pandang, "Siapa?"
“Kakek boleh gabung, cu~” ujar Pak Syarif memecah suasana penuh tanya itu.q
“Ha?!” Asa sampai hampir keselek nastar.
Sifa, yang memang dikenal lebay, langsung menyambut antusias. “Wah boleh banget, Kek! Aku suka banget vibe-nya, kayak Gong Yoo versi pensiunan!”
Pak Syarif pura-pura malu, mengipas-ngipaskan tangan ke wajah. “Ah, kamu ini… bikin kakek deg-degan aja. Panggil Pak aja kalo begini.”
“Serius lho, Kek-- eh, Pak. Huek. Kalo bapak masih muda dikit, aku pasti udah minta nomor WA,” goda Sifa lagi sambil tertawa.
“Nomor WA? Nih, Oppa punya dua. Satu buat kerja, satu buat urusan cinta~” balas Pak Syarif sambil menepuk dada bangganya.
Wisnu menghela napas berat. Gimana mau fokus deketin cewek, ngurus kakek satu ini aja rasanya kayak ngurus Tamagochi level hard mode. Suka banget flirting sama cewek muda.
Di tengah riuh canda Pak Syarif dengan ketiga sahabatnya, Nuha yang diam menatap Wisnu yang hanya diam sambil memainkan ponsel. Gayanya tenang dan santai, kaki disilang seperti pria muda pada umumnya.
Sejak di ekspedisi, meski mereka tak mengenal dekat, sedikit demi sedikit mereka saling tahu menahu seiring waktu berjalan. Kepribadian Wisnu yang tenang kadang membuat Nuha sedikit terpesona. Sedikit ada rasa di dalam hatinya.
Sore itu...
Langit seperti kapas jingga yang pelan-pelan larut ditelan senja. Nuha duduk di boncengan, memeluk tasnya erat sambil menatap jalanan yang berkilau oleh cahaya oranye. Angin sore menerpa lembut wajahnya.
Pikirannya melayang jauh. Dia hampir melupakan semuanya. Sejak berurusan dengan Naru, fokus dunianya hanya tertuju pada pria yang kerap membuatnya sebal tapi juga sulit dilupakan.
“Huff…” Nuha mengembuskan napas panjang. “Aku jadi kangen keluarga paket,” gumamnya lirih, mengingat keluarga campur yang ada di ekspedisi Pak Eko. "Gimana ya kabar mereka?"
“Aku sampai lupa karena sibuk mikirin rencana kuliah waktu itu bareng kamu, Fani. Apa manusia memang begini ya? Mudah melupakan ketika sudah nggak sering bertemu?”
Suara motor Fani sedikit tenggelam oleh lalu lintas, tapi pertanyaannya tetap terdengar lembut.
“Nuha?” alihnya.
“Iya, Fani?”
“Kamu yakin… nggak inget Naru? Kok bisa sih kejadian kayak gitu?”
“Eeehhh-- jangan tanyain itu lagi deh.” Suara Nuha sedikit naik, malu bercampur kesal. “Aku tadi udah berusaha terbuka sama kalian, tapi kamu malah nanyain lagi.”
“Hehehe, iya-iya, maaf…” Fani terkekeh pelan, matanya menatap spion. Dari pantulan kaca kecil itu, ia melihat wajah Nuha yang tengah menunduk. Ada sesuatu di balik ekspresi datarnya. Senyum yang dipaksakan, dan pandangan mata yang seolah mencari sesuatu yang hilang di antara kabut senja.
“Aku cuma nambahin kok,” ucap Fani pelan, matanya tetap fokus ke jalan. “Sebagai teman sebangkumu waktu sekolah dulu. Meski kita nggak seheboh Asa sama Sifa, soalnya kita berdua sama-sama pendiem…”
“Hem?” Nuha memiringkan kepalanya.
“Jujur ya,” lanjut Fani dengan nada hati-hati, “Naru itu baik. Terlalu baik malah. Sangking baiknya, dia nggak bisa ngelawan orang jahat dengan kejahatan. Tapi… demi kamu, apapun dia lakukan.”
“Faniii…” nada Nuha terdengar menurun, lembut tapi jelas ingin menghentikan topik itu.
“Demi kamu, Nuha.” Fani menekankan suaranya sedikit. “Kafe itu, semua modalnya dari Naru. Kalau bukan karena dia sayang kamu, karena Asa sahabatmu dia nggak bakal bantu Asa buka usaha waktu Asa lagi nganggur di rumah.”
Nuha diam. Angin sore menyapu wajahnya, membawa aroma jalanan yang samar.
“Dia pilih lokasi kafe itu di dekat kampus supaya kamu bisa sering mampir. Bahkan ada tempat khusus buat kamu berekspresi. Aku nggak nyangka aja…” Fani menarik napas pelan. “Gara-gara masalahmu sama Naomi, kamu malah lampiaskan ke Naru. Naru yang selalu kena getahnya.”
Nuha menunduk, menatap lututnya yang bergetar ringan karena jalanan bergelombang. “Kamu nggak ngerti, Fani…” hanya itu yang bisa keluar dari bibirnya.
Ia ingin menjelaskan, tapi kelelahan menutup semua pintu kata.
Sampai di rumah.
Nuha melangkah pelan dari gerbang menuju teras. Suara ankle bootnya beradu lembut dengan tanah. Menjadi orang yang sama-sama tenang seperti Fani ternyata susah juga, nggak bisa asal membantah. Jadi, kata-kata tadi terus terngiang di kepalanya, bergema tanpa henti. Kalau Nuha dan Wisnu jadian, apa yang bakal terjadi?
Tapi langkahnya berhenti begitu saja. Di depan sana, pemandangan yang tidak pernah gagal bikin jantungnya campur aduk kembali muncul.
Naru berdiri di bawah tangga teras sambil menggendong Hana. Ia melambai dengan wajah cerah seolah dunia sedang baik-baik saja.
“Syukurlah... onty Mama udah pulang, Hana. Ayo lambaikan tangan ke onty cantikmu,” ucapnya sambil menggoyang tangan mungil anak itu.
“Cyaaaaa!” seru Hana dengan suara bening penuh tawa. “Nyanyaya... mamama...”
Nuha langsung berbalik badan dan jongkok, menutup wajah dengan kedua tangan. “Ya ampun, dia muncul lagi,” gumamnya setengah frustasi. “Kasih aku waktu mikir dikit aja, bisa nggak sih? Itu orang yang ngaku-ngaku suami bener-bener nggak punya kesibukan lain apa selain gangguin hidupku!”
.
.
.
. ~Bersambung...
kanaya tau kebusukan suami & sahabatnya, gak ya?
itu baru emak singa betina yang classy banget!! Bicaranya lembut, tapi nancep kayak belati dari sutra.
“Aku ada bersama mereka.”
langsung pengen slow clap di meja makan
👏👏👏
Pas diserang dari segala penjuru masih bisa bilang “Aku percaya sama Naru.” Uuuuhh, emak langsung pengen peluk dia sambil bilang, “Nak, sabar ya… dunia emang keras, tapi jangan kasih Naomi menang!” 😤😤😤
chill naik sampe ubun-ubun, sumpah 🔥😱
“She said: don’t mess with my daughter-in-law,, mother-in-law supremacy era!!! 👊👊👊