Hidup Nara berubah dalam satu malam. Gadis cantik berusia dua puluh tahun itu terjebak dalam badai takdir ketika pertemuannya dengan Zean Anggara Pratama. Seorang pria tampan yang hancur oleh pengkhianatan. Menggiringnya pada tragedi yang tak pernah ia bayangkan. Di antara air mata, luka, dan kehancuran, lahirlah sebuah perjanjian dingin. Pernikahan tanpa cinta, hanya untuk menutup aib dan mengikat tanggung jawab. Namun, bisakah hati yang terluka benar-benar mati? Atau justru di balik kebencian, takdir menyiapkan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar luka? Dan diantara benci dan cinta, antara luka dan harapan. Mampukah keduanya menemukan cahaya dari abu yang membakar hati mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RizkaAube, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter : 8
Sore hari mulai turun perlahan. Langit berwarna jingga, dan udara kota membawa aroma aspal panas bercampur angin sore. Nara berdiri di halte kecil dekat perempatan, menanti jemputan yang sudah jadi rutinitas sejak bertahun-tahun lalu.
Sebuah taksi berhenti tepat di depannya. Dari balik kaca yang sedikit buram, muncul wajah yang begitu ia kenal.
Pak Riyo.
“Naik, Nak,” sapa pria paruh baya itu sambil membuka pintu sebelah kiri.
Nara tersenyum dan segera masuk. Aroma dalam mobil itu khas, wangi sabun murah yang menyenangkan, bercampur sedikit bau rokok yang tertinggal di karpet mobil.
“Kelihatannya lelah banged ya nak hari ini?” tanya Pak Riyo sambil mulai menyetir.
“Lumayan pak,” jawab Nara pelan.
Mobil melaju pelan di bawah langit senja yang mulai gelap. Lampu jalan mulai menyala satu per satu.
Pak Riyo melirik Nara sebentar. “Kok diam aja dari tadi?” tanyanya lembut.
Nara menarik napas, lalu tersenyum kecil. “Lagi mikir, Pak.”
“Kerjaan?”
“Bukan,” jawabnya sambil memandangi jendela. “Lebih ke… hidup.”
Pak Riyo tertawa pelan. “Waduh, berat banget itu. Biasanya yang mikir hidup, mau ambil keputusan besar.”
Nara menoleh, sedikit terkejut, lalu ikut tertawa kecil. “Iya, bisa dibilang begitu, Pak.”
Pak Riyo tak berkata apa-apa. Ia hanya mengangguk pelan, lalu mengurangi kecepatan saat mendekati tikungan.
“Pak…” Nara membuka suara setelah beberapa detik hening. “Malam ini… Nara boleh mampir ke rumah, ya?”
“Lho, ya boleh dong,” jawab Pak Riyo cepat. “Kapan pun. Memangnya kenapa?”
“Ada yang pengen Nara omongin ke Bapak sama Buk. Tapi nanti aja pas di rumah,” ucapnya, menahan nada gugup.
Pak Riyo melirik lagi, kali ini dengan tatapan yang lebih dalam. Tapi ia hanya tersenyum dan menjawab, “Kalau kamu yang ngomong, pasti penting.”
Nara mengangguk pelan.
Mobil terus melaju, perlahan-lahan membawa mereka menuju rumah, dan menuju sebuah malam yang akan mengubah segalanya.
Beberapa menit kemudian, mobil berhenti perlahan di depan rumah sederhana bercat hijau muda, yang sudah bertahun-tahun jadi tempat paling nyaman bagi Nara selain rumah peninggalan orangtuanya sendiri. Lampu teras menyala kuning temaram, dan dari dalam terlihat siluet Buk Ninik yang sedang menyapu lantai ruang tamu.
“Sudah sampai, Nak,” ujar Pak Riyo sambil mematikan mesin.
Nara mengangguk pelan. “Makasih udah jemput, Pak.”
Pak Riyo hanya tersenyum dan turun lebih dulu. Nara menunduk sebentar, menarik napas dalam, lalu mengikuti langkah Pak Riyo ke dalam rumah.
Begitu pintu dibuka, Buk Ninik langsung menoleh.
“Lho, nak Nara? Tumben malam-malam ke mari. Ada apa, Nak?” tanyanya sambil meletakkan sapu.
Nara tersenyum kecil. “Maaf, Buk. Nggak ngabarin dulu. Cuma… Nara mau ngomong sesuatu.”
Buk Ninik menoleh pada Pak Riyo sejenak, lalu mengangguk dan menuntun Nara duduk di sofa tua yang empuk, tapi penuh kenangan. Pak Riyo menyusul, duduk di kursi seberang, matanya tak lepas dari wajah Nara.
“Mau ngomong apa, Nak? Kayaknya penting,” ujar Buk Ninik sambil duduk di samping Nara, suaranya lembut seperti biasanya.
Nara memainkan ujung jarinya. Jantungnya berdegup sedikit lebih cepat dari biasanya.
"Ada seseorang yang akan datang ke rumah malam ini, Pak Buk," kata Nara dengan suara pelan. "Dia memiliki niat serius."
Pak riyo dan buk ninik menatapnya dengan rasa ingin tahu.
Nara memilih kata-katanya dengan hati-hati, mengingat orang-orang tidak pernah menyangka bahwa gadis manis seperti dia akan menerima kunjungan spesial seperti ini.
“Siapa nak?” Tanya buk ninik memastikannya.
“Anu buk, sebenarnya kami sudah lama kenal namun Nara tidak ingin berpacaran. Dan setelah berkenalan lama sepertinya kami benar-benar sudah saling menyukai.Jadi lebih baik memutuskan untuk menikah saja” Nara terpaksa harus membuat alasan bohongannya itu demi kedua orang tua angkatnya percaya.
Pak Riyo memandang Nara dengan penuh kasih sayang.
"Kamu benar-benar siap, Nak?" tanyanya lembut.
Meskipun Nara bukan anak kandungnya, Pak Riyo menyayanginya seperti anak sendiri.
Hal ini tidak mengherankan, karena orang tua Nara yang telah meninggal dunia, dikenal baik dan menyenangkan semua orang.
Dan begitu pun Kini, Nara menikmati kasih sayang dari orang-orang sekitarnya.
“Nara sudah siap pak buk” jawab nara tersenyum manis agar mereka percaya padanya.
“Jika kamu sudah siap, bapak dan ibu tidak akan melarang mu untuk menikah walaupun usia mu masih muda. Kami akan selalu mendoakan yang terbaik untukmu nak” ucap ninik mengelus lembut pucuk kepala nara.
Benar saja, tepat jam delapan malam lewat keluarga Zean kini tiba di kediaman sederhana milik orang tua angkat nara.
Mereka semua dipersilahkan untuk masuk kedalam rumah tersebut. rumah sederhana yang sudah terlihat sedikit menua.
Mereka semua dipersilahkan duduk di sofa tua yang mulai kehilangan kemilau masa mudanya.
Dengan senang hati mereka semua pun duduk diatas sofa itu. Walaupun mereka berasal dari keluarga yang dibilang cukup kaya.
Namun tidak ada sedikitpun kesombongan di antara mereka. Apalagi melisa yang kini memilih duduk disamping ninik.
Mereka semua sudah tau tentang Nara. Jadi mereka sama saja sedang berakting seperti gadis muda itu.
Setelah perbincangan singkat, Zean menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. la terkejut menemukan dirinya merasa gugup berdiri di depan segelintir orang ini, padahal saat menghadiri acara bisnis besar, ia bisa berbicara dengan percaya diri di depan ribuan orang.
"Bapak/Ibu, saya sangat berhormat berdiri di hadapan Bapak/Ibu malam ini untuk memohon restu dan kesempatan menjadi bagian dari keluarga ini. Nara, maukah kamu menjadi istri saya?”Dengan jantung yang berdegup cepat,Zean berhasil menyampaikan lamarannya.
Zean tidak pernah menyangka akan melamar gadis itu, meskipun hatinya belum menyimpan perasaan cinta.
“Bagaimana nak?” Tanya Ninik pada Nara yang ada disampingnya.
“Sa-saya menerima lamaran anda!” Jawab nara sedikit terbata, namun sebisa mungkin ia menyembunyikan luka didepan mereka.
Dia akan menikah dengan seseorang yang bahkan sama sekali tidak ia cintai. Nara pernah berpikir jika menikah tidak saling mencintai itu lambat laun pasti akan hadirnya cinta.
Namun nara berpikir lagi, itu semua tidak mungkin. Karena pria yang akan menjadi suaminya itu sudah mencintai orang lain.
Nara juga sudah berpikir sempurna. Jika benih itu benar tidak hadir didalam rahimnya, secepatnya ia akan berpisah dari pria itu.
Tak apa menjanda yang penting ia bahagia dan tidak terluka karena mempunyai suami yang tidak akan mencintainya.
Semua keluarga kini tersenyum manis, sudah menyampaikan niat baik dan diterima pula dengan baik.
Kedua calon pengantin hanya tersenyum paksa didepan semua keluarga,terutama pada keluarga nara.
Melisa tersenyum manis sembari memegang tangan Ninik. "Kita akan melaksanakan pernikahan mereka minggu depan, ya, Pak Buk."
Ninik terkejut. "Apakah tidak terlalu cepat?
Kami belum mempersiapkan apa pun."
Melisa menatap anak lelakinya, mencari dukungan. "Lebih cepat lebih baik, bukan, Nak?" Dia bertanya dengan senyum.
Zean tersenyum paksa. "lya, Ma."
Ninik menggelengkan kepala. "Bukan itu bu, Kami membutuhkan waktu untuk mempersiapkan semuanya."
Melisa menggenggam pundak tangan Ninik. "Jangan khawatir, Ibu dan Bapak. Kami akan menanggung semua biaya. Biarkan kami mengurus semuanya."
Ninik ingin memprotes, tapi Melisa langsung memotongnya. "Ssst, tidak ada penolakan, Bu Besan. Kami ingin membuat hari spesial ini tidak terlupakan."
Tanpa terasa, waktu telah berlalu. Jarum jam menunjukkan pukul satu lewat. Setelah diskusi panjang tentang pernikahan, keluarga Zean bersiap pamit.
"Hati-hati di jalan," kata Nara pelan kepada
Zean, ketika mereka sudah berada diluar rumah.
"Iya," jawab Zean singkat.
"Kami pulang dulu, ya, Pak Buk," ucap Melisa dan suaminya, Hendrik.
"Hati-hati di jalan. Jangan lupa kabari kami jika sudah tiba," kata Ninik bersama suaminya pak Riyo.
"ya, terima kasih. Selamat malam," jawab Melisa ramah.
Setelah mobil hitam mewah itu menghilang, Ninik mendekati Nara dengan senyum hangat.
"Calonmu sangat tampan, nak. Mereka terlihat kaya, tapi tidak sombong," katanya, mencolek lengan Nara.
Nara bingung. "Kenapa, Bu?"
"Kenapa kamu tidak pernah cerita tentang pacarmu?" tanya Ninik penasaran.
Nara tersenyum lembut. "Bu, kami tidak pernah pacaran."
Pak Riyo memotong percakapan mereka. "Udah, yok masuk. Sudah malam."
Nara memanfaatkan kesempatan itu. "Selamat malam, Pak Buk. Nara izin pamit pulang."
"Selamat beristirahat, Nak," jawab Pak Riyo
Malam mulai larut, dan udara dingin pelan-pelan menyusup masuk ke sela-sela jendela kamar. Nara duduk di depan cermin kecil di kamar peninggalan orang tuanya. Lampu diatas meja menyala redup, menerangi wajahnya yang kini tak lagi semanis beberapa jam lalu. Di wajah itu, ada lelah, ada bimbang, dan ada luka yang masih segar.
Gaun polos warna krem yang tadi ia kenakan untuk menyambut keluarga Zean, kini tergantung di balik pintu. Ia sudah mengganti pakaian, tapi rasa tak nyaman dalam dadanya belum bisa diganti dengan ketenangan.
Pikirannya masih mengulang-ulang ucapan Zean saat melamarnya.
“Nara, maukah kamu menjadi istri saya?”
Sebuah pertanyaan sederhana, tapi beratnya seperti beban berkarung-karung yang menghimpit tubuh. Ia tahu Zean hanya melakukannya karena situasi,bukan karena cinta. Bahkan saat ia berkata “Saya menerima lamaran Anda”, suaranya sendiri terdengar asing di telinganya.
Nara menarik napas panjang. Matanya menatap kosong ke arah cermin. Refleksi dirinya tampak asing, seolah-olah yang ia lihat bukan dirinya sendiri, tapi seseorang yang terpaksa mengenakan topeng kuat di hadapan dunia.
Tangannya terulur, menyentuh kaca cermin
Dingin.
Seperti menepuk bayangan dari kehidupan yang bukan miliknya.
Nara memejamkan mata sejenak. Dadanya naik turun pelan, seolah berusaha menyusun ulang napas yang sejak tadi terasa berat. Tak ada suara, hanya dengung malam dan detik jam yang terdengar menyesakkan di telinga.
Lalu matanya terbuka lagi, dan ia menatap bayangan dirinya yang sama, mata yang sembab tapi tetap memaksa terlihat tegar, bibir yang sudah tak sanggup tersenyum, dan hati yang kosong, seperti kamar ini tanpa suara tawa sejak kedua orangtuanya pergi.
“Apa kamu bahagia?” gumamnya lirih pada pantulan di kaca. Ia tahu, tak akan ada jawaban.
Yang ia lihat hanyalah seorang gadis yang dipaksa dewasa terlalu cepat.
Gadis yang mengubur mimpi-mimpinya demi menebus kesalahan yang bahkan bukan sepenuhnya salahnya.
Gadis yang akan menikah dengan laki-laki yang bahkan belum pernah memandangnya dengan cinta.
Tangannya perlahan turun dari permukaan kaca. Dingin itu menetap di ujung jemari, seperti peringatan.
“Nara yang dulu pasti nggak akan kenal aku yang sekarang,” bisiknya lagi, nyaris seperti doa yang retak di udara.
Lalu ia berdiri, melangkah pelan ke arah jendela yang sedikit terbuka. Angin malam menyelinap masuk, membelai rambutnya yang tergerai.
Nara menatap langit malam. Tak ada bintang.
Hanya langit hitam pekat. Dan ia merasa, itu cocok. Karena malam ini tak ada harapan yang tersisa untuk disandarkan pada langit.
Ia memeluk tubuhnya sendiri. Dingin mulai merayap dari dalam, bukan dari luar.
Dalam diam, ia tahu, mulai besok, hidupnya akan berubah. Tapi bukan karena cinta.
Melainkan karena sebuah perjanjian sunyi yang akan menuntut air mata lebih dari yang bisa ia bayangkan.
Dan di tengah keheningan malam yang makin menekan, Nara akhirnya membiarkan satu tetes air mata jatuh.
Bukan karena lemah. Tapi karena terlalu lama berpura-pura kuat.