NovelToon NovelToon
Jati Pengantin Keramat

Jati Pengantin Keramat

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Iblis / Tumbal
Popularitas:5.1k
Nilai: 5
Nama Author: Septi.sari

Gendhis Banuwati, wanita berusia 20 tahun itu tidak percaya dengan penyakit yang dialami sang Ayah saat ini. Joko Rekso, dinyatakan mengalami gangguan mental, usai menebang 2 pohon jati di ujung desanya.

Hal di luar nalar pun terjadi. Begitu jati itu di tebang, darah segar mengalir dari batangnya.

"KEMBALIKAN TUBUH KAMI KE TEMPAT SEMULA!"

Dalam mimpi itu, Pak Joko diminta untuk mengembalikan kayu yang sudah ia tebang ke tempat semula. Pihak keluarga sempat tak percaya. Mereka hanya menganggap itu layaknya bunga tidur saja.

Akan tetapi, 1 minggu semenjak kejadian itu ... Joko benar-benar mendapat balak atas ulahnya. Ia tetiba menjadi ling lung, bahkan sampai lupa dengan jati dirinya sendiri.

2 teman Pak Joko yang tak lain, Mukti dan Arman ... Mereka juga sama menjadi gila.

Semenjak itu, Gendhis berniat mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan tempat yang di juluki dengan TANAH KERAMAT itu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septi.sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Jati Keramat 8

Jantung Nanda hampir lepas dari tempatnya. Wajahnya bahkan menolak untuk mempercayai ucapan pria tua didepanya kini.

"Bu Inem! Sini dulu, deh!" Pria tua itu memanggil seorang wanita, demi membuat pemuda didepanya percaya.

"Ada apa, Pak Umar? Ini dengan Nak siapa?" Wanita setengah baya yang kini menggendong kayu kering itu menatap Nanda dengan sorot penuh tanya. Lalu ia kembali menyenggol lengan Pak Umar. "Ada apa, sih?" bisiknya.

"Saya agak bingun setelah mengantar teman saya pulang Bu. Namanya, Garini!" Seru Nanda kembali.

Mata Bu Inem melotot. Bukan marah, cuma ia tak habis fikir dengan ucapan pemuda didepanya. "Loh, Nak ... Garini kan sudah meninggal 1 tahun yang lalu."

"Tapi, saja habis mengantarkanya pulang, Bu! Tapi janggalnya, tadi saya tidak melewati tempat ini. Makanya saya agak bingung." Nandaka sampai menoleh belakang, memastikan ada pohon bambu kuning yang menyambutnya tadi.

"Nak, kamu nggak tahu ya, kalau dulu kematian Garini sempat menggemparkan Desa Waruireng! Garini meninggal gantung diri di belakang rumahnya. Menurut cerita warga, Garini pada saat itu tengah mengandung 3 bulan. Kekasihnya tidak mau bertanggung jawab. Dia depresi, dan langsung nekad mengakhiri hidupnya!" Jabar pria tua tadi.

Wanita bernama Mak Inem juga menimpali, "Benar itu, Nak! Malang betul nasib Garini. Sudah hidup sebatang kara, tapi malah ditipu sama kekasihnya."

Nandaka mendengarkan dengan antusias. Ia sampai lupa, jika nanti akan ada rapat di balai desanya. Setelah berpamitan, Nandaka kembali melanjukan kendaraanya.

***

Semua warga sudah berkumpul di Balai Desa. Semuanya sudah duduk dikursi plastik, dan sudah siap untuk mengikuti jalanya musyawarah.

Nandaka sebagai wakil Bapaknya, kini duduk di depan ditemani oleh Pak Sekdes, dan para Perangkat Desa lainnya.

"Untuk masalah ini, apa ada yang usul? Biar sekalian masalah dapat teratasi." Ucap Pak Ahmad menatap para warga didepanya.

Seorang warga kira-kira berusia 45 tahun, ia mengangkat tanganya, "Permisi, Pak! Usul saya, diujung desa kalau bisa diberikan penerangan, agar tidak terkesan seram! Kasian yang baru pulang kerja sampai larut malam!" Pria yang mengenakan kemeja longgar itu menatap penuh damba. Dan memang, penerangan di Desanya harus segera teratasi.

"Baik, Pak! Nanti akan saya bicarakan sama Pak Kades setelah dia pulang!" Kata Pak Ahmad kembali.

"Untuk ketua Rw ... Harap warganya yang tidak hadir, nanti diberi tahu, agar segera berkumpul di ujung Desa untuk melakukan kerja bakti." Timpal Nandaka dengan wajah tegasnya.

Para warga menyetujui itu. Rapat kali ini berakhir dengan damai. Para warga dan beberapa Perangkat Desa lainnya, kini langsung bergegas menuju ujung desa.

"Pak ... Bapak sarapan? Ini nasinya sudah dingin, lo!" Pertegas Aini sambil mengangkat nasi dalam rantang.

Pak Joko masih tetap diam. Fokus matanya kosong. Namun pendengarannya mampu mengangkat ucapan sang putri bungsu. "Taruh kembali saja, In! Bapak belum lapar!"

Aini kembali masuk kedalam. Ia taruh nasi tadi diatas meja kayu yang warnanya sudah usang. Tak begitu peduli, Aini langsung duduk sambil belajar kembali.

Karena tadi sempat mampir, jadi pukul 9 Bu Siti sama Gendhis baru tiba di rumah.

Melihat suaminya masih melamun di teras rumah, hal itu membuat Bu Siti agak geram dibuatnya. Apalagi, para warga sudah berbondong-bondong menuju ujung Desa untuk melakukan kerja bakti bersama.

Pak Joko yang paling aktif dalam masyarakat, kini mendadak lesu, bak kehilangan semangat dalam jiwanya. Tubuhnya masih terlihat segar, namun jiwanya melayu.

"Ya Allah Gusti, Pak! Kok masih diam saja disini sejak tadi?! Para warga sudah berkumpul di ujung desa untuk kerja bakti, tapi ini kok Bapak masih santai di rumah! Tadi, Arman sama Mukti saja sudah ada disana!" Belum juga meletakan barang belanjaanya, Bu Siti sudah menggerutu dengan hebat.

Gendhis kini langsung duduk disamping Ayahnya. Pak Joko tersadar. Sorot matanya menelisik keadaan, seolah Gendhis tampak asing dengan sorot mata itu.

"Kalau Bapak sedang nggak enak badan, nanti biar Gendhis panggilkan Pak Minto suruh buat urut badan Bapak!" Serunya.

Pak Joko menoleh perlahan. Ekor matanya menatap penuh rasa takut. Bayang-bayang dua sosok pengantin. Darah segar yang mengalir. Dan lagi, suara rintihan itu.

Semuanya memenuhi isi kepala Pak Joko saat ini.

"Bu, Bapak mau istirahat saja! Badan Bapak rasanya tidak enak!" Setelah mengatakan itu, Pak Joko lantas bangkit dan berjalan masuk kedalam.

Gendhis menatap Ibunya dengan wajah bingung. Sementara Bu Siti, ia hanya mampu mendesah lirih, dan ikut melenggang masuk juga.

'Kok tingkah Bapak aneh banget, ya? Apa mungkin Bapak memang sedang capek saja? Mungkin iya, sih!' Gendhis mencoba acuh, lalu juga ikut masuk kedalam kembali.

Tak berselang lama dari itu, suata seorang gadis muda memecah keheningan rumah Pak joko.

"Ndis ... Kamu ada di rumah?"

Wanita cantik dengan rambut dikepang satu, berpakaian kaos, serta memakai celana training longgar itu, kini tengah berdiri diambang pintu depan.

Gendhis menyibak korden pintu kamarnya, "Narni, sini masuk! Aku ganti pakaian dulu!"

Narni duduk didalam. Kurai anyaman itu sebagian susah rapuh termakan masa. Namun, meskipun agak rusak, tapi masih dapat di tempati untuk duduk.

Namanya Nita. Ia putri semata wayang Mukti, yang tak lain keponakan Pak Joko sendiri.

"Ndis ... Kita ke ujung desa yok! Aku mau lihatin orang kerja bakti. Sekaligus pingin tahu sendiri, bau anyir bekas penebangan pohon jati itu. Banyak warga yang lewat, katanya mencium bau darah disana!" Pekik Nita dengan wajah polosnya. Wanita berusia 19 tahun itu menatap tanpa kedip korden kamar Gendhis.

Husttt!!!

Bu Siti yang keluar ikut menyela. "Jangan bicara seperti itu, Nita! Pamali!" Hardiknya.

Nita hanya mampu mendesah dalam. Ia memutar mata malas, selalu saja kalimatnya mendapat pertentangan dari beberapa orang tua. Tak di rumahnya, di rumah Gendhis, semuanya sama saja.

Gendhis sudah keluar. Ia kini sudah mengenakan celana longgar berbahan kain katun, serta atasanya hanya memakai kaos yang dilapisi jaket kecil. "Ayo, Nar! Nanti keburu siang. Panas!"

Narni bangkit. Mereka berdua berpamitan terlebih dahulu kepada Bu Siti.

"Bilangin sama Nanda, Ya Ndis ... Kalau Bapakmu nggak dapat ikut kerja bakti. Nggak enak badan!" Suara Bu Siti terbawa angin keluar.

Gendhis mengiyakan. Lalu segera berjalan meninggalkan rumah sederhana itu.

1
Lucas
seru banget lo ceritanya
Septi.sari: Kak terimaaksih🙏❤❤
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!