Setelah lama merantau, Nira pulang ke kampung halaman dengan membawa kabar mengejutkan. Kehamilannya yang sudah menginjak enam bulan.
Nira harus menerima kemarahan orang tuanya. Kekecewaan orang tua yang telah gagal mendidik Nira setelah gagal juga mendidik adiknya-Tomi, yang juga menghamili seorang gadis bahkan saat Tomi masih duduk di bangku SMA.
Pernikahan dadakan pun harus segera dilaksanakan sebelum perut Nira semakin membesar. Ini salah. Tapi, tak ingin lebih malu, pernikahan itu tetap terjadi.
Masalah demi masalah pun datang setelah pernikahan. Pernikahan yang sebenarnya tidak dilandasi ketulusan karena terlanjur ‘berbuat’ dan demi menutupi rasa malu atas aib yang sudah terlanjur terbuka.
Bisakah pernikahan yang dipaksakan karena sudah telanjur ada ‘orang dalam’ perut seperti itu bertahan di tengah ujian yang mendera?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yesstory, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jangan Membuat Gosip
“Kamu hanya tinggal meneruskan pekerjaanku. Tapi lebih baik lagi kalau kamu juga cari klien lain agar bonusmu makin banyak,” ucap Riki.
Safira mengangguk. Mereka tengah beristirahat di pinggir jalan, menikmati es kelapa muda setelah Riki mengajaknya ke beberapa rumah sakit untuk memperkenalkan sales baru yang akan menggantikannya.
“Tapi, Fir. Kamu yakin mau bekerja seperti ini? Jarak antar rumah sakit yang harus kamu datangi berjauhan. Maksudku, kamu perempuan. Apa nggak kecapekan bawa motor kesana kemari sendirian? Belum lagi membawa produk kita.” Riki menoleh, menatap Safira yang tersenyum.
Safira balas menoleh. “Cari kerja susah, Rik. Lebih capek nglamar kerja kemana-mana tapi nggak hasil daripada capek karena bekerja. Setidaknya capeknya dibayar. Belum lagi, bonusnya besar kalau aku berhasil menjual produk kita ke lebih banyak rumah sakit dan apotek di kota ini.”
Riki mengangguk angguk. “Iya sih.”
Safira menatap wajah Riki lamat lamat. “Kamu udah menikah, Rik?”
Riki menoleh, mengernyitkan dahi. Safira berdehem salah tingkah. “Eh… maaf. Aku cuma… cuma… ya kita kan udah lama nggak ketemu. Dan semenjak kita ketemu, kamu nggak pernah bahas tentang keluargamu. Maaf, kalau pertanyaanku menyinggung.”
Riki tertawa pelan tanpa suara. “Enggak kok. Nggak menyinggung sama sekali. Jadi, dari kemarin kamu nahan semua pertanyaan itu dan baru berani nanya sekarang?”
Safira mengangguk pelan, tak enak. Ia langsung menyedot kembali es kelapa mudanya.
“Udah.”
Safira menoleh, terkejut. “Udah?”
“Iya. Sebentar lagi kami juga akan punya anak. Istriku tengah hamil.”
Safira menunduk. Riki menoleh, melihat Safira terdiam dan menunduk.
“Kamu sendiri gimana, Fir? Udah menikah?”
Safira menggeleng.
“Sedang berpacaran?”
Safira menggeleng lagi.
“Jomblo?”
Safira tak menggeleng. Juga tak menjawab.
“Lagi suka sama seseorang? Mau tutor dariku agar bisa mendapatkan orang yang kamu sukai?” Riki menggoda.
Safira mengangkat wajah. Menatap Riki. “Bagaimana kalau yang aku sukai itu suami orang?”
Riki menoleh terkejut. “Kamu mau jadi pelakor?”
Safira menggeleng.
“Dari sekian banyak para jomblo di luar sana, kenapa kamu sukanya malah sama suami orang?”
“Karena aku baru tahu kalau dia sudah menikah.”
“Maksudnya?” Riki menoleh, menatap penuh tanya juga menerka-nerka.
Safira memiringkan tubuhnya, menghadap Riki sepenuhnya. “Kamu lah suami orang itu, Rik.”
Riki melotot.
“Dari dulu sebenarnya. Tapi, aku nggak punya keberanian. Aku nggak cantik sementara kamu dikelilingi gadis-gadis cantik. Aku ngrasa nggak pantas. Dan setelah sekian tahun berlalu, nggak nyangka kita ketemu lagi disini. Aku senang. Aku mikir mungkin ini kesempatanku untuk deketin kamu lagi.”
Safira menunduk lagi, memainkan ujung sedotan. “Dari kemarin aku nahan diri untuk nggak tanya tentang status kamu. Kamu juga nggak pernah sedikitpun cerita. Dan mengingat kamu bakal berhenti kerja besok, aku beranikan diri aja buat nanya dan jujur sama kamu. Maaf, Rik.”
Riki memandangi wajah Safira, temannya waktu sekolah dulu. Safira cantik. Tapi, entah kenapa dulu dia tak melirik Safira sedikitpun padahal Safira selalu berada di dekatnya.
Dan sekarang, ia juga tak merasakan apapun, walau Safira mengakui perasaannya. Ia tak menaruh perasaan sedikitpun untuk Safira. Karena jujur, dibandingkan Nira, Safira tak ada seujung kuku pun baik dari kecantikan wajah ataupun tubuhnya. Nira lebih dari segalanya.
‘Kalau aja kamu lebih cantik dan seksi dari Nira, mungkin aku bersedia jadiin kamu selingkuhanku, Safira.’
***
Nira baru saja tiba di ruangannya setelah menemani dokter-kunjungan pasien rawat inap.
“Paket siapa ini?” Nira bertanya pada kedua temannya yang ada di sana.
“Punya lo,” jawab Fiza.
Nira mengernyitkan dahi. “Punya gue? Tapi, gue nggak pesen apa-apa.”
“Kata yang nganternya itu buat Nira gitu.” Rini yang menjawab.
Nira melihat-lihat paket yang ada di atas meja. Mencari petunjuk siapa yang mengirimnya, tapi tak ada tulisan apapun. Karena kata kedua temannya itu miliknya, maka Nira membukanya.
Matanya menyipit melihat isi di dalam paket itu. Empat pasang baju bayi berwarna merah muda dan biru. Nira melirik kertas kecil di bawah baju itu dan membacanya.
[Aku nggak tahu anak kamu perempuan atau laki-laki. Jadi, aku belikan saja keduanya. Semoga kamu suka.]
Nira membolak balik kertas itu, mencari nama pengirimnya. Tapi, tak ada petunjuk.
“Lo udah beli baju bayi, Nir?” tanya Rini, melihat Nira memegang baju bayi.
Nira melihat kedua temannya dengan mata menyipit, curiga. “Kalian yakin nggak tahu siapa pengirimnya?”
Rini dan Fiza saling pandang, menggeleng bersamaan.
“Atau ini dari kalian?”
Rini dan Fiza menggeleng lagi.
“Terus dari siapa?”
“Dari suami lo kali,” ucap Fiza, menebak.
“Ya kali dari suaminya dikirim ke sini. Mending dikasih langsung di rumah,” geleng Rini.
Nira lantas mengingat sesuatu. Maka, ia letakkan kembali baju bayi itu ke dalam tempatnya dan berjalan cepat meninggalkan ruangan.
“Mau kemana, Nir?” tanya Fiza.
Nira mengangkat tangannya, terus melangkah. Ia berjalan cepat menuju ruangan seseorang yang ia yakini pengirim paket tersebut.
Langkahnya terhenti setelah tiba disana. Kebetulan. Saat tangannya terangkat-ingin mengetuk pintu, pintu lebih dulu dibuka dari dalam.
Fauzan tersentak, memundurkan tubuhnya, saat melihat Nira berdiri di hadapannya.
“Aku mau bicara denganmu, Zan,” ucap Nira datar.
“Oh… Oke. Tapi, sekarang nggak bisa. Belum jadwalku istirahat,” balas Fauzan.
“Sepulang kerja, aku tunggu di parkiran rumah sakit.” Setelah mengatakan itu, Nira berjalan meninggalkan Fauzan yang terdiam.
Waktu merangkak dengan cepat, terutama bagi orang-orang yang dilanda kesibukan tinggi.
Nira duduk di sebuah kursi, di belakang mobil-mobil yang parkir di samping rumah sakit. Lalu lalang kendaraan dan suara aba-aba tukang parkir jadi pemandangannya.
Dari jauh, ia melihat Fauzan mendekat. Nira berdiri, melambaikan tangan. Fauzan mengangguk, tersenyum, menghampiri Nira.
“Mau ngobrol disini? Nggak di kafe atau tempat lain aja?” tanya Fauzan.
Nira menggeleng. “Cuma sebentar.”
“Oke. Mau ngomong apa?”
“Kamu yang ngirim baju bayi ke ruanganku?” tanya Nira langsung pada intinya. Dia tak punya waktu lagi. Harus segera pulang karena tubuhnya sangat lelah. Tapi, semua ini harus segera diselesaikan agar Fauzan tak mengulanginya lagi. Memberi kado atau apalah yang bisa menimbulkan masalah untuk ke depannya.
“Kamu langsung tahu itu aku? Padahal aku nggak ngasih nama pengirimnya,” jawab Fauzan tersenyum senang. “Kamu suka modelnya?”
“Jangan pernah ngirim apapun lagi padaku, Zan.”
Senyum Fauzan memudar melihat Nira yang wajahnya memerah, menatap tajam ke arahnya.
“Aku udah punya suami. Dan semua orang di ruanganku tahu itu. Kamu jangan membuat gosip di rumah sakit ini dengan mengirimkan kado itu ke aku.”
“Hah? Itu hanya kado. Isinya juga baju bayi. Kenapa kamu bilang aku mau bikin gosip?”
“Kalau ada yang tahu, ada pria yang ngirimin kado ke wanita yang udah punya suami, bagaimana tanggapan mereka? Mereka bisa ngira aku punya selingkuhan di rumah sakit ini. Lantas, berita itu akan nyebar dan lama kelamaan terdengar ke Riki. Bagaimana?”
Fauzan menggeleng, tertawa renyah. “Itu hanya baju bayi, Nira. Bukan bunga atau cokelat. Jangan berlebihan.”
“Sama aja. Aku tahu maksudmu, Fauzan. Dan aku nggak suka. Jadi, aku mohon. Jangan ngasih apapun lagi.”
Fauzan menghela napas. “Baiklah. Kalau itu yang kamu mau. Sejujurnya, aku nggak punya niat buruk, Nira. Tapi, kalau kamu nggak suka, aku terima. Sejak dulu pun, kamu memang nggak pernah menyukaiku.”
Nira terdiam sesaat. Menatap Fauzan cukup lama, sebelum memalingkan wajahnya menatap mobil-mobil di depannya.
“Kamu pria yang baik, Zan. Suatu saat nanti, kamu pasti akan bertemu dengan wanita yang cantik dengan hati dan sifat yang baik. Aku bukan wanita yang baik dan pantas untukmu. Kita bisa berteman asal kamu bisa melihatku sebagai teman. Bukan sebagai wanita yang kamu sukai. Aku nggak bisa berteman dengan pria yang menyukaiku, Zan. Itu akan menyakitkan. Dan aku nggak mau jadi penyebab derita orang lain. Mengertilah. Bukan maksudku nolak kebaikanmu, hanya saja, aku nggak mau kamu mikir bisa berharap padaku lagi. Aku mau kita berteman. Benar-benar teman. Tulus tanpa ada perasaan cinta di dalamnya.”
Fauzan mengangguk. Ia paham betul perkataan Nira. Untuk besok dan seterusnya, ia akan berusaha menghapus perasaannya pada Nira. Mungkin sulit. Tapi harus dilakukan agar ia bisa melanjutkan hidup.
Sejak awal perkenalannya dengan Nira, Tuhan memang tak menakdirkan mereka bersama dalam satu hubungan. Sejak awal, Nira tak memberi harap, hanya ia sendiri yang menanamkan harap. Hingga akhirnya ia terluka sendiri saat Nira memilih pria lain. Menikah dan hamil anak pria lain itu. Fauzan telah kalah di awal. Bukan kalah dari Riki, tapi dari takdir.