Ketika Olivia, gadis kota yang glamor dan jauh dari agama, dipaksa menikah dengan Maalik—kepala desa yang taat, dunia mereka berbenturan. Tapi di balik tradisi, ladang, dan perbedaan, cinta mulai tumbuh… pelan-pelan, namun tak terbendung.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon komurolaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
[ BAB 8 ] Sah: Olivia & Maalik
“Maalik... kamu sudah benar-benar serius mau menikah dengan Olivia?” tanya Sulis dengan suara pelan namun penuh makna, duduk di bangku penumpang belakang. Perjalanan pulang dari acara lamaran yang begitu khidmat tadi sore terasa lebih sunyi kini, meski lampu-lampu kota terus berlalu di balik jendela.
Maalik yang duduk di balik kemudi, hanya melirik ke arah ibunya melalui kaca spion tengah. Pandangannya tenang, bibirnya mengulas senyum tipis.
“Apakah Maalik pernah main-main dengan tujuan Maalik, Bu?” jawabnya dengan nada lembut, namun menyimpan keteguhan.
Sulis tak langsung menjawab. Matanya menerawang ke luar jendela, mengamati bayang-bayang pepohonan yang berkelebat cepat, lalu ia menarik napas panjang seolah berusaha menurunkan beban yang menggumpal dalam dada.
“Tapi, Nak... kamu bisa dapatkan yang lebih baik dari Olivia,” gumamnya akhirnya. “Yang bisa mengurus kamu dengan baik, yang tahu batas, tahu sopan santun...”
“Aku menikah untuk punya teman hidup, Bu,” ucap Maalik perlahan namun tegas. “Bukan untuk mencari pembantu.”
Sulis memutar tubuhnya sedikit, menatap profil wajah anaknya yang diterangi cahaya dashboard. Ada raut kecewa di wajahnya yang mulai menua, namun juga kekhawatiran yang tulus.
“Tapi Olivia tidak tahu agama, Maalik. Dia juga terlihat sangat bebas... lihat saja pakaiannya. Iya, dia memang cantik... sangat cantik. Tapi sopan santunnya, sama sekali tidak ada.”
Maalik menarik napas dalam-dalam, berusaha tidak terpancing oleh kata-kata ibunya yang, meski menyakitkan, ia tahu berasal dari kecemasan seorang ibu.
“Maalik siap membimbing Olivia, Bu,” ucapnya tegas.
“Tapi...”
“Sulis,” potong Ibrahim pelan namun berwibawa dari bangku paling belakang. Suaranya cukup untuk membuat ruang dalam mobil hening sejenak. “Kamu tidak bisa menilai seseorang hanya dari penampilan dan kebiasaan yang terlihat. Kamu belum mengenal Olivia dengan baik. Dia masih butuh waktu untuk menerima semua ini. Jangan buat dia merasa asing dan tak diinginkan. Jaga sikapmu.”
Sulis menunduk pelan, bibirnya mengerucut dalam ketidakterimaan yang tertahan.
“Semua butuh proses,” tambah Ilham dengan suara kalem dari samping Ibrahim. “Dan Maalik sudah cukup dewasa untuk tahu mana yang terbaik untuk hidupnya. Kita sebagai orang tua hanya bisa mendampingi, bukan memilihkan segalanya.”
Suasana kembali hening. Hanya suara lembut dari radio mobil yang mengalun, dan gemerisik hujan tipis yang mulai turun di luar kaca.
Sulis mengalihkan pandangannya, kali ini menatap lurus ke depan. Di hatinya, ada rasa kesal, getir, namun juga kekhawatiran yang belum bisa ia jelaskan. Ia tidak membenci Olivia. Tidak sepenuhnya. Ia hanya tidak menyukai sikap gadis itu yang terkesan seenaknya, begitu bebas, tanpa rambu yang biasa dijaga dalam keluarganya.
Baginya, Olivia terlalu keras. Terlalu jujur. Terlalu... berbeda.
Namun entah kenapa, wajah putranya yang tenang setiap kali menyebut nama Olivia, seolah memberi isyarat lain. Bahwa mungkin... perbedaan itu adalah sesuatu yang memang dibutuhkan Maalik. Sesuatu yang tak pernah ia pikirkan sebelumnya.
Dan malam itu, mobil keluarga kecil itu terus melaju menembus hujan. Meninggalkan keraguan yang masih mengambang di udara, namun juga membawa harapan kecil yang mulai tumbuh, perlahan.
----
Semua pesta pernikahan telah dipersiapkan dengan matang. Olivia Yvaine Hadikusuma akan menikah dengan Maalik Faruq Alfarizi di Hotel Dharmawangsa, tempat yang dipilih langsung oleh Hadikusuma, sang kakek, yang juga seorang tokoh terkemuka di kalangan elite Jakarta. Olivia sebenarnya sempat meminta agar pernikahan mereka digelar secara intimate, hanya dihadiri orang-orang terdekat saja.
Namun, permintaan itu langsung ditolak mentah-mentah oleh Hadikusuma.
“Pernikahan cucu Hadikusuma bukan sekadar momen pribadi, tapi juga martabat keluarga,” ucap lelaki tua itu suatu malam, suaranya mantap, penuh wibawa.
Apalagi Bayu Hadikusuma, ayah Olivia, adalah salah satu tokoh ekonomi nasional. Maka sudah tentu pernikahan ini menjadi sorotan publik dan kalangan sosialita. Olivia adalah cucu satu-satunya, permata dalam keluarga besar Hadikusuma. Tidak mungkin mereka membiarkannya menikah dalam diam. Semua harus semarak, elegan, dan berkelas.
Meski berasal dari desa, Maalik Faruq Alfarizi tidak kalah terpandang. Lelaki itu memiliki koneksi luas yang bahkan menyentuh jajaran pemerintahan dan akademisi. Ia lulus S2 dari Universitas ternama dan dikenal sebagai pribadi yang santun dan berprinsip. Wajahnya tenang, matanya teduh, dan langkahnya selalu mantap.
Hari itu pun tiba.
Ruang utama Hotel Dharmawangsa dipenuhi para tamu penting dan keluarga besar kedua belah pihak. Nuansa putih gading dan emas menghiasi seluruh ruangan. Lampu gantung kristal memantulkan cahaya lembut ke seluruh penjuru, sementara alunan lantunan ayat suci terdengar syahdu menenangkan hati.
Maalik duduk di hadapan penghulu dengan wajah bersih dan sikap tenang. Mengenakan beskap putih gading dengan kancing berukir emas, ia tampak gagah dan berwibawa. Di sebelahnya, Bayu Hadikusuma, dengan suara bergetar namun penuh khidmat, menjadi wali nikah untuk putrinya tercinta.
“Ijab kabul dimulai,” ujar penghulu. Semua hening, hanya tersisa suara detak jantung dan lantunan zikir perlahan dari beberapa orang tua yang hadir.
Dengan suara mantap, Maalik mengucapkan:
"Saya, Maalik Faruq Alfarizi, bin Hasan Alfarizi, menerima nikah dan kawinnya Olivia Yvaine Hadikusuma binti Bayu Hadikusuma, dengan maskawin seperangkat alat salat, emas seberat lima puluh gram, dan hafalan Surah Ar-Rahman, dibayar tunai."
Saksi langsung mengangguk serempak. “Sah,” ucap mereka bersamaan. Seruan takbir pun membahana pelan, menyusup lembut ke relung hati semua yang hadir.
Olivia yang duduk anggun dalam kebaya putih tulang dengan detail bordir tangan dari benang emas, hanya menggigit bibir pelan. Sorot matanya tajam, tapi hati kecilnya seolah tergetar. Ia tak pernah membayangkan akan menikah secepat ini, dan terlebih lagi dengan seseorang seperti Maalik.
Usai ijab kabul, acara berlanjut ke resepsi. Cahaya lampu makin hangat. Tamu-tamu penting berdatangan, membawa ucapan selamat dan doa. Hidangan disajikan dari berbagai penjuru: kuliner tradisional, hidangan Prancis, sampai jamuan khas Timur Tengah. Semua tersaji dengan rapi dan megah.
Di atas pelaminan, Maalik berdiri tenang di sisi Olivia. Wajahnya berseri, tapi bukan karena senyuman yang lebar, melainkan ketenangan dalam sorot mata yang memuja. Tatapannya pada Olivia begitu dalam, seolah ia tengah melihat sesuatu yang sangat ia syukuri dan akan ia lindungi seumur hidup.
“Jangan cemberut terus, sayang” komentar halus Camilla, sang ibu, yang menghampiri sebentar. "Lihat suamimu, dari tadi nggak berhenti menatap kamu.”
“Iya, Sayang” timpal Ratih, sang Eyang Putri, dengan senyum penuh makna. “Menikah itu bukan soal pesta. Tapi tentang bertumbuh bersama. Belajar melembutkan diri, menyesuaikan hati. Jangan kalah sama keteguhan suamimu. Lihat Maalik, ia penuh syukur. Kamu pun harus begitu.”
Olivia mendengus pelan, tapi tak membantah. Di dalam hatinya, nasihat itu mengendap.