NovelToon NovelToon
Pernikahan Penuh Luka

Pernikahan Penuh Luka

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikah Kontrak / Obsesi / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:3.9k
Nilai: 5
Nama Author: Rima Andriyani

Aku tidak pernah percaya bahwa pernikahan bisa jadi sekejam ini. Namaku Nayla. Hidupku berubah dalam semalam saat aku dipaksa menikah dengan Reyhan Alfarezi, seorang pria dingin, keras kepala, dan kejam. Baginya, aku hanya alat balas dendam terhadap keluarga yang menghancurkan masa lalunya. Tapi bagaimana jika perlahan, di antara luka dan kemarahan, ada sesuatu yang tumbuh di antara kami? Sesuatu yang seharusnya tak boleh ada. Apakah cinta bisa muncul dari reruntuhan kebencian? Atau aku hanya sedang menipu diriku sendiri?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rima Andriyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 8

Reyhan segera melangkah cepat begitu melihat Nayla terduduk lemah di lantai. Tanpa berkata apa-apa, ia langsung merunduk dan mengangkat tubuh gadis itu ke dalam gendongannya. Dengan langkah mantap, Reyhan membawanya menuju ruangannya.

Dalam pelukannya, Nayla perlahan membuka mata. Pandangannya masih kabur, tetapi ia mengenali sosok yang memeluknya erat.

Meskipun pria itu membencinya... meskipun tak satu pun kata manis pernah ditujukan untuknya, nyatanya, orang yang selalu datang di saat ia terjatuh tetaplah Reyhan.

Beberapa karyawan yang kebetulan melintas di koridor terhenti sejenak ketika melihat Reyhan menggendong Nayla menuju ruangannya. Tatapan mereka dipenuhi rasa heran dan penasaran.

“Apa itu sekretaris baru itu?” bisik salah satu dari mereka pelan.

“Kenapa Tuan Reyhan menggendongnya?” timpal yang lain dengan nada tak kalah terkejut.

Mereka saling berbisik, menahan rasa ingin tahu yang membuncah, namun tak ada yang berani mendekat atau bertanya.

Dari kejauhan, Vita yang baru saja keluar dari ruang rapat mematung sejenak, menyaksikan pemandangan itu dengan sorot mata tajam. Rahangnya mengeras, dan jemarinya mengepal.

Wajahnya tampak kesal, namun ia segera melangkah cepat, berusaha menyembunyikan ekspresinya sebelum siapa pun sempat menyadarinya. Dia tidak ingin ada orang yang tahu jika dirinya yang mengunci Nayla di toilet.

***

Reyhan membuka pintu ruang istirahat di belakang ruang kerjanya. Dengan hati-hati, ia meletakkan Nayla di atas tempat tidur yang biasa ia gunakan untuk beristirahat. Wajah gadis itu masih pucat, matanya terpejam rapat, namun tubuhnya tampak gelisah, seperti sedang melawan ketakutan yang menghantuinya.

“Nayla...” ucap Reyhan pelan.

Ia berlutut di sisi ranjang, mengamati wajah gadis itu yang tampak begitu rapuh. Nafas Nayla terengah pelan, keningnya berkerut seperti sedang bermimpi buruk.

Tanpa ragu, Reyhan meraih tangan Nayla dan menggenggamnya erat. Sentuhan itu hangat dan lembut, berbeda dari sikap dinginnya selama ini.

"Tenang..." bisiknya nyaris tak terdengar.

Gerakan itu bukan sekadar refleks, tapi kenangan yang terpatri dalam dirinya. Bertahun-tahun lalu, saat Nayla kecil pernah terkunci di gudang sekolah dan menangis ketakutan, Reyhan-lah yang datang pertama. Saat itu pun, ia menggenggam tangan Nayla seperti ini, untuk menenangkan, untuk meyakinkan bahwa ia tidak sendiri.

Kini, jemari mereka kembali bertaut dengan cara yang sama.

Reyhan menghela napas dalam. “Kau selalu seperti ini... membuatku harus datang setiap kali kau terjatuh,” gumamnya pelan, meski Nayla mungkin tidak mendengarnya.

Namun di balik genggamannya, ada perasaan lain yang perlahan tumbuh. Rasa yang selama ini ia tekan dalam-dalam, yang tak pernah ingin ia akui bahwa sebesar apa pun kemarahan dan jarak yang pernah ia ciptakan, ada bagian dari dirinya yang tidak pernah benar-benar bisa membiarkan Nayla terluka.

Perlahan, kelopak mata Nayla mulai terbuka. Pandangannya masih buram, tapi ia bisa merasakan hangatnya sesuatu di tangannya. Saat kesadarannya kembali sepenuhnya, ia mendapati Reyhan tengah duduk di sampingnya, dan menggenggam tangannya erat.

Nayla menatapnya lekat-lekat. Ada keterkejutan dalam matanya, seperti tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Pria yang selama ini bersikap dingin dan kasar… kini ada di sini, menggenggam tangannya.

“Reyhan…?” gumam Nayla pelan, suaranya nyaris tak terdengar.

Namun detik berikutnya, Reyhan segera menarik tangannya dan berdiri dengan cepat. Ekspresi lembut yang sempat muncul sekejap, kini tergantikan oleh tatapan tajam dan datar khasnya.

“Jangan salah paham,” ucap Reyhan dingin, menyilangkan tangan di depan dada. “Aku hanya tidak ingin kau mati terlalu cepat.”

Nayla terdiam. Kalimat itu terdengar menusuk, tapi entah mengapa… ada bagian dari hatinya yang tidak mempercayai kekejaman dalam ucapan Reyhan. Tatapan mata pria itu barusan, terlalu dalam untuk disebut acuh, terlalu peduli untuk disebut benci.

Namun seperti biasa, Reyhan kembali mengenakan topeng dinginnya. Rasa bencinya lebih besar untuk Nayla.

“Beristirahatlah. Dan kalau bisa, jangan buat masalah lagi,” tambahnya sebelum berbalik hendak meninggalkan ruangan.

Nayla hanya bisa menatap punggung Reyhan yang semakin menjauh. Ucapan dinginnya barusan masih terngiang jelas di telinganya.

"Aku hanya tidak ingin kau mati terlalu cepat."

Kalimat itu begitu menyakitkan, seperti menampar perasaannya yang rapuh. Ia menunduk, menahan air mata yang mulai menggenang. Dada Nayla terasa sesak, seakan ada sesuatu yang menekan begitu kuat di dalamnya.

“Meskipun kau membenciku, setidaknya jangan katakan itu…” bisiknya lirih, hampir tak terdengar.

Sementara itu, di luar ruangan, Reyhan yang baru saja menutup pintu, langsung mengeluarkan ponsel dari saku jasnya. Wajahnya kembali serius.

“Edo,” ucapnya tegas saat panggilannya tersambung. “Aku ingin kau cek sesuatu.”

“Periksa CCTV koridor dekat toilet lantai dua. Cari tahu kenapa pintu toilet bisa terkunci dari luar, dan siapa yang terakhir keluar dari sana sebelum Nayla ditemukan.”

Suara di seberang menjawab sigap, “Baik, Tuan. Akan saya laporkan segera setelah saya dapatkan datanya.”

Reyhan menutup teleponnya. Tatapannya mengarah ke lantai, rahangnya mengeras. Ada sesuatu yang terasa ganjil sejak awal. Nayla memang ceroboh, tapi dia bukan tipe orang yang mengunci dirinya sendiri di tempat sempit. Dan ketika mengingat ketakutan Nayla saat tadi tak sadarkan diri…

Ia menarik napas panjang, lalu melangkah pergi.

Di ruang keamanan, Edo berdiri di depan layar monitor besar bersama salah satu staf IT. Mereka memutar ulang rekaman CCTV yang mengarah ke koridor dekat toilet wanita lantai dua.

"Stop di situ," ucap Edo sambil menunjuk layar.

Tampak seorang wanita berkemeja putih dan rok span gelap berjalan tergesa dari arah toilet. Wajahnya terlihat samar, tapi postur tubuh dan gaya berjalannya cukup dikenali.

Staf IT memperbesar cuplikan tersebut. Edo memicingkan mata, lalu mendesah pelan. “Vita…”

Ia segera menghubungi Reyhan.

“Tuan, saya sudah dapat rekamannya. Lima menit setelah Nona Nayla masuk ke dalam toilet, ada seseorang keluar dari area toilet. Sepertinya itu karyawan Anda, Vita.”

Suara Reyhan terdengar tenang tapi dingin. “Kirim semua rekamannya padaku sekarang.”

“Baik, Tuan.”

---

Sementara itu, di ruang kerjanya, Reyhan berdiri memandangi layar laptop. Rekaman yang dikirimkan Edo telah selesai diputar. Hatinya mengeras saat mengenali sosok Vita dengan jelas.

Tak butuh waktu lama, Reyhan menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi. Rahangnya mengeras.

"Vita..."

---

Di sisi lain kantor, Vita sedang duduk di ruangannya, berusaha bersikap normal. Namun jemarinya tak henti mengetuk-ngetuk meja. Ada rasa tak nyaman yang terus menghantuinya sejak Reyhan membawa Nayla keluar dari toilet.

“Kenapa dia bisa ditemukan secepat itu?” gumamnya gelisah.

Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Nama Reyhan tertera di layar.

Vita menatap layar itu beberapa detik sebelum akhirnya mengangkat. “Halo, Tuan Reyhan?”

“Saya ingin bicara. Sekarang. Di ruangan saya.”

Nada suara Reyhan terdengar datar, tapi Vita bisa merasakan tekanan tajam di balik kalimat itu. Jantungnya mulai berdetak lebih cepat.

“B—baik. Saya segera ke sana.”

Setelah menutup panggilan, Vita berdiri dengan gugup. Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba menyusun ekspresi tenang sebelum melangkah keluar.

Vita melangkah menuju ruang Reyhan dengan langkah hati-hati. Sepanjang perjalanan, berbagai kemungkinan berkecamuk di kepalanya. Apakah Reyhan sudah tahu? Apakah ada yang melihatnya? Tapi dia yakin, saat itu tak ada siapa pun di sekitar toilet.

Sesampainya di depan ruangan Reyhan, ia mengetuk pelan sebelum mendengar suara dari dalam.

“Masuk.”

Pintu dibuka, dan Reyhan sedang berdiri membelakangi pintu, menatap keluar jendela besar yang mengarah ke jalan utama. Hanya ada keheningan di ruangan itu, namun atmosfernya sangat menekan.

Vita berdiri beberapa langkah di belakang Reyhan, menunduk sedikit.

“Ada yang bisa saya bantu, Tuan?” tanyanya, berusaha terdengar setenang mungkin.

Reyhan tak langsung menjawab. Ia masih diam, kedua tangannya bersedekap. Hingga akhirnya ia berbalik perlahan dan menatap Vita tajam. Tatapan yang membuat udara di ruangan seolah membeku.

“Kau tahu kenapa aku memanggilmu ke sini?” tanyanya datar.

Vita berusaha menahan ekspresinya agar tetap tenang. “Saya… tidak tahu, Tuan. Apa ada pekerjaan saya yang kurang beres?”

Reyhan berjalan pelan mengitari meja kerjanya, lalu duduk sambil membuka laptopnya. Ia menekan sesuatu, dan layar monitor besar di belakangnya menyala, menampilkan cuplikan CCTV. Gambar yang sangat jelas menunjukkan sosok Vita keluar dari area toilet.

Warna wajah Vita langsung memudar.

“Kau bilang tidak tahu?” tanya Reyhan, suaranya lebih rendah tapi jauh lebih menakutkan.

“Saya… itu bukan seperti yang Tuan pikirkan—” Vita berusaha bicara, tapi suaranya bergetar.

“Kau kunci sekretarisku di dalam toilet.”

Reyhan memotong dengan nada penuh penekanan.

Tubuh Vita kaku. Untuk pertama kalinya, ia benar-benar merasa terpojok.

“Aku tidak percaya kau bisa serendah ini, Vita.” Reyhan berdiri lagi, berjalan perlahan ke arahnya. “Kau tahu apa yang terjadi kalau Nayla tidak ditemukan lebih cepat?”

Vita menggigit bibirnya. “Saya hanya… saya kesal, Tuan. Dia membuat Laras di pecat. Saya hanya… saya hanya ingin dia pergi…”

“Dengan mengurungnya dan membiarkannya pingsan sendirian?”

“Dia baik-baik saja sekarang, kan? Tidak ada yang benar-benar—”

“Cukup.”

Satu kata, tapi terdengar seperti ledakan bagi Vita. Ia langsung terdiam.

Reyhan mendekat, berdiri tepat di hadapannya. “Kau dipecat, Vita. Dan kau akan mendapatkan surat resmi hari ini juga. Jangan pernah muncul lagi di perusahaan ini.”

Wajah Vita pucat pasi. “Tuan, tolong beri saya kesempatan. Saya sudah bekerja di sini bertahun-tahun. Saya—”

“Dan semua kerja kerasmu hancur hanya karena kebencian yang bodoh.” Reyhan memotong dingin. “Keluar sebelum aku benar-benar hilang kesabaran.”

Vita berdiri dengan lutut gemetar. Dengan wajah tertekuk, ia berjalan keluar tanpa berkata apa-apa lagi. Saat pintu menutup, Reyhan menghela napas berat, lalu mengusap wajahnya sendiri.

---

Di ruang istirahat, Nayla perlahan duduk sambil memegang keningnya. Tubuhnya masih lemas, tapi setidaknya ia mulai merasa lebih baik.

Ketukan pelan di pintu membuatnya menoleh. Tak lama, pintu terbuka dan seorang perempuan paruh baya masuk membawa nampan berisi segelas susu hangat dan beberapa biskuit.

“Nona Nayla, Tuan Reyhan menyuruh saya membawa ini,” ujar perempuan itu ramah. “Beliau bilang Anda harus menghabiskan makanan ini.”

Nayla menatap perempuan itu sejenak sebelum akhirnya tersenyum kecil. “Terima kasih.”

“Sama-sama. Kalau butuh apa-apa, tinggal tekan bel ini ya.”

Perempuan itu lalu pergi, meninggalkan Nayla sendiri lagi.

Nayla menatap segelas susu dan makanan itu, lalu menatap sekeliling ruangan yang asing tapi terasa nyaman. Ia mengingat kembali genggaman Reyhan, ucapan dinginnya, dan bagaimana pria itu selalu muncul saat ia dalam keadaan terlemah.

“Mungkin dia memang membenciku…” gumamnya pelan. “Tapi dia juga satu-satunya orang yang selalu datang saat aku butuh.”

---

Sementara itu, Reyhan kembali duduk di kursinya. Pandangannya mengarah pada pintu ruang istirahat di mana Nayla masih berada.

Dalam diam, ia menyadari sesuatu yang sudah lama ia abaikan. Rasa yang selalu ia sangkal, kini mulai muncul ke permukaan.

Mungkin dia membenci Nayla...

Mungkin dia marah karena masa lalu yang tak pernah selesai...

Tapi lebih dari semua itu, satu hal yang tidak bisa dia bohongi. Dia tidak bisa melihat Nayla terluka. Dan itu membuatnya begitu kesal.

"Tidak! Papanya penyebab kematian Papa. Dia harus membayar apa yang telah Papanya perbuat." Reyhan mengepalkan tangannya. Dia terus menyangkal hatinya. Dendam itu lebih kuat dari segalanya.

1
Hendri Yani
Luar biasa
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!