Tes Tes Tes
Air mata Airin tertahankan lagi ketika mendapatkan tudingan yang begitu menyakitkan dari sang ayah.
Bahkan pipinya memerah, di tampar pria yang begitu dia harapkan menjadi tempat berlindung, hanya karena dia mengatakan ibunya telah dicekik oleh wanita yang sedang menangis sambil merangkulnya itu.
Dugh
"Maafkan aku nona, aku tidak sengaja"
Airin mengangguk paham dan memberikan sedikit senyum pada pria yang meminta maaf padanya barusan. Airin menghela nafas dan kembali menoleh ke arah jendela. Dia akan pulang, kembali ke ayah yang telah mengusirnya tiga tahun yang lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon noerazzura, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8. Sepertinya Sulit
Airin sudah sampai di kantor Samuel, dia melihat kantor itu begitu besar. Benar-benar berkali-kali lebih besar dari perusahaan ayahnya.
Airin melihat ke sekeliling, tapi menurutnya tempat ini cukup menegangkan. Kenapa tidak ada karyawan yang saling sapa satu sama lain. Ketika dia lewat, bahkan tidak ada yang perduli padanya. Awalnya dia mengira karena dia memang orang baru, makanya di acuhkan saja.
Tapi, beberapa karyawan yang tampaknya mengenal betul tempat ini juga tampak tak saling bertegur sapa.
'Perusahaan macam apa ini?' batin Airin.
Langkahnya tertuju pada meja resepsionis yang terlihat agak sibuk. Beberapa orang sepertinya juga banyak bertanya pada ketiga resepsionis yang bertugas di sana.
"Selamat pagi" sapa Airin.
Salah satu resepsionis yang baru selesai bicara dengan seseorang segara menoleh ke arah Airin.
"Selamat pagi nona, selamat datang di perusahaan Soler, ada yang bisa saya bantu?" tanya wanita berseragam itu dengan begitu ramah.
"Saya Airin, paman Samuel memintaku datang" kata Airin dengan santai.
Dia sengaja langsung menyebut Samuel dengan paman, karena Airin ingin resepsionis itu tahu kalau dia memang punya hubungan yang lebih dari sekedar orang yang ingin mencari pekerjaan di perusahaan itu.
Resepsionis wanita itu mengangguk satu kali.
"Kalau begitu tunggu sebentar, saya akan hubungi tuan Billy!" katanya yang langsung meraih gagang telepon.
Airin mengangguk. Dan sambil menunggu resepsionis itu menghubungi Billy. Yang seingat Airin adalah asisten pribadi dari Samuel, dia mendengar dari Vivi tadi pagi. Airin melihat ke arah tiga buah pintu lift yang ada di dekat lobby perusahaan itu.
Ada satu lift yang terlihat lebih bagus, warna berbeda dan tidak ada yang berani berdiri di depan lift itu.
'Hem, paman ini benar-benar sangat dingin. Lift saja dia gunakan pribadi' batin Airin.
"Nona..."
Mendengar suara resepsionis wanita itu, Airin segera berbalik dan kembali menyimak dengan fokus apa yang akan dikatakan oleh resepsionis wanita itu.
"Silahkan ke ruangan CEO, di lantai 17!" ujar resepsionis wanita itu.
Airin mengangguk dan tersenyum.
"Terimakasih" katanya yang segera berbalik dan melangkah menuju ke arah lift.
Bahkan di dalam lift pun, saat dia bersama dengan beberapa orang. Orang-orang itu tetap diam saja. Hanya saling angguk kepala saja, seperti menyapa. Tapi tidak bicara sama sekali.
'Ya ampun, kaku sekali' batin Airin.
Airin keluar dari lift, setelah pintu itu terbuka. Ini lantai paling atas. Ya, perusahaan ini hanya 17 lantai, tapi bangunannya sangat luas. Jadi, tidak tingginya yang membuatnya megah, luasnya area ini yang membuat perusahaan ini menjadi perusahaan sangat besar dan megah.
Airin berjalan ke arah depan. Sepertinya memang tidak ada ruangan lain. Benar-benar hanya sebuah ruangan kosong dengan beberapa pot bunga dan hiasan dinding saja. Tanpa ada sofa bahkan. Entah ada apa dengan pemilik perusahaan ini, pikir Airin.
Dan ada dua pintu setelah dia berjalan kurang lebih 15 meter Daru lift. Yang satu biasa saja, tampak seperti pintu-pintu lain di perusahaan ini. Yang satu lagi tinggi, lebar dan sepertinya di lengkapi dengan tekhnologi canggih. Ada lampu indikator dan sebuah panel.
Airin mencari bel pintu itu, tidak mungkin pintu sebagus itu di ketuk kan? Dan benar saja, ada sebuah bel di samping pintu itu.
Setelah menekannya satu kali, pintu itu terbuka. Benar saja, bahkan cara terbuka pintu itu sama seperti pintu lift.
Saat pintu itu terbuka, seorang pria dengan jas hitam, dan penampilan yang cukup seperti seorang bisnisman, dengan dasi yang sangat rapi juga kacamata yang menunjukkan ciri seseorang genius, menyapa Airin. Pria itu juga yang bertemu dengannya saat di pesawat.
"Selamat pagi nona, silahkan masuk!" katanya mempersilahkan Airin masuk.
Sapaannya itu tidak seperti seseorang yang pernah bertemu sebelumnya. Dan begitu Airin masuk, pria itu malah keluar.
Airin segera melangkah lagi, ruangan ini cukup besar. Tapi benar-benar ada satu meja saja disana. Dan seseorang yang duduk di satu kursi yang tersedia disana.
'Astaga, paman ini benar-benar alergi pada orang lain atau bagaimana sih? bahkan di ruangannya tidak ada kursi untuk duduk tamu. Ya ampun!' batin Airin.
Rasanya dia semakin yakin saja, kalau berusaha mendekati pria semacam ini. Akan sangat sulit.
"Selamat pagi paman" sapa Airin yang mendekati meja kerja Samuel yang sedang membaca sebuah laporan dengan sangat serius.
Samuel masih belum membalas sapaan Airin. Dan itu membuat Airin sebenarnya merasa sedikit meremang.
'Dia tidak tuli kan?' batin Airin.
Airin yang merasa kalau Samuel sama sekali tidak meresponnya, mengira kalau mungkin suaranya terlalu kecil.
"Selamat pagi paman!" sapa Airin dengan suara yang lebih tinggi.
Samuel segera menoleh ke arah Airin dengan tatapan seperti seseorang yang ingin makan orang. Itu cukup mengerikan.
Airin tercengang.
'Oh tidak! apa aku membuatnya marah?' batin Airin yang lumayan kaget juga dengan tatapan Samuel padanya.
"Kenapa berteriak?" tanya Samuel dengan nada yang sepertinya kesal.
"Paman tidak meresponku, aku pikir paman tu..." Airin menjeda ucapannya, dia nyaris melontarkan kata-kata tidak pantas pada seseorang yang akan dia jadikan sandarannya.
Airin langsung tersenyum canggung dan berjalan ke arah Samuel.
"Paman, maaf!" katanya sambil menggoyang-goyangkan lengan Samuel.
Samuel melihat ke arah tangan Airin, jika dia di gandeng atau di rangkul lengannya oleh Vivi yang jelas-jelas tunangannya. Dia merasa sangat tidak nyaman, tidak ingin sama sekali di sentuh oleh Vivi. Tapi dengan Airin, dia merasa itu tidak masalah.
Bahkan biasanya ada yang tidak sengaja menyenggolnya saja, dia akan melotot pada orang itu dan akibatnya akan sangat tidak baik pada orang itu.
"Sepertinya apa yang dikatakan Vivi benar, pergaulan di luar negeri terlalu bebas. Apa menurutmu sopan menyentuh lenganku seperti ini?" tanya pria itu dengan tatapan yang begitu dingin.
Airin sehat menarik tangannya dengan cepat. Dan mundur beberapa langkah dari Samuel.
"Maaf paman, aku hanya tidak ingin paman marah. Aku tidak sengaja bicara keras seperti itu. Paman mau memaafkan aku kan? bagaimana kalau aku traktir makan siang?" tanya Airin berusaha membujuk Samuel dengan berusaha sangat akrab, sebenarnya sok akrab sih.
Tapi tetap saja, meski Airin bicara dengan sangat lembut. Dan wajahnya juga dibuat semanis mungkin terlihat di depan Samuel. Tatapan pria itu padanya tetap saja menyeramkan.
"Apa menurutmu aku kekurangan uang?" tanya Samuel yang langsung membuat senyum manis itu memudar dari wajah Airin.
'Ya ampun, galak sekali!' batinnya mulai agak kesal.
***
Bersambung...