Naura Anjani, seorang gadis desa yang menikah dengan pria asal kota. Namun sayang, gadis itu tidak di sukai oleh keluarga suaminya karena dianggap kampungan dan tidak setara dengan menantu lain yang memiliki gelar pendidikan tinggi dan pekerjaan yang memadai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon omen_getih72, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
Pagi harinya, Naura terbangun dan melakukan pekerjaannya seperti biasa. Wanita itu pergi ke dapur untuk memasak.
Kemarin ia memang mengatakan pada ibu mertuanya, bahwa ia akan berhenti memasak.
Namun, hal itu sangatlah mustahil karena ia memiliki seorang suami yang harus ia layani.
Naura pun akhirnya memutuskan untuk tidak lagi masak dalam porsi banyak seperti biasanya.
Ia akan memasak untuk porsi berdua saja demi menghemat tenaga.
"Akan aku tunjukkan pada Mama, kalau aku juga bisa melawan dan bisa melakukan apa pun yang aku inginkan. Menjadi menantu yang baik untuk mertua menyebalkan ternyata memang sangat melelahkan!" gerutu Naura saat ia tengah mengiris bawang.
Sekarang ia akan memasak untuk sarapan, dan beberapa menu bekal untuk suaminya bekerja.
Terserah dengan apa pun komentar mertuanya, ia tidak akan peduli lagi.
Rasanya lelah sekali hati dan raganya jika terus berbakti pada sang mertua, tapi tak pernah dihargai.
"Selamat pagi, Sayang," sapa Azriel yang dibalas senyum manis oleh Naura.
Azriel yang sudah bersiap untuk berangkat kerja duduk lebih dulu di meja makan.
Lelaki itu menggulung lengan kemejanya dan menatap hidangan lezat yang sudah disediakan oleh sang istri.
Pria itu sama sekali tidak bertanya saat menyadari kalau masakan pagi ini terasa lebih sedikit dari biasanya.
"Makan dulu, Mas," ucap Naura seraya melayani sang suami.
Ia mengambilkan nasi dan lauk untuk suaminya, lalu ia duduk di samping Azriel untuk ikut sarapan.
"Mama belum keluar, ya?" tanya Azriel yang tidak melihat kehadiran ibunya di mana pun.
"Sepertinya belum, Mas. Masih tidur mungkin, atau bisa saja masih sibuk dandan. Mama kan kalau mau keluar kamar saja harus tampil cantik paripurna, beda sama aku yang katanya udik dan tidak terawat," sahut Naura yang tiba-tiba kesal saat ditanya mengenai keberadaan Mama Sovi.
Azriel hanya menggelengkan kepalanya, tanpa mengatakan apapun.
Ia tahu bahwa istrinya masih kesal pada sang mama karena sering disindir dan direndahkan tanpa henti.
"Nanti kalau kamu lelah, istirahat saja. Jangan bekerja terus, abaikan semua pekerjaan rumah kalau kamu tidak mau mengerjakannya. Tidak usah dipaksakan," ucap Azriel yang ingin menenangkan hati istrinya yang membuat Naura terdiam selama beberapa saat.
Perlahan rasa sesal menyusup relung hati karena ia sudah menyindir mertuanya, meski secara tidak langsung.
Ia merasa cukup malu karena suaminya justru mengucapkan kalimat-kalimat meneduhkan hati, alih-alih memarahinya karena sudah berkata kurang ajar.
"Aku minta maaf atas semua perlakuan Mama yang tidak pernah bersikap adil sama kamu. Kita doakan saja supaya hati Mama cepat luluh," ucap Azriel lagi yang kali ini dengan senyum.
"Terima kasih, Mas, karena kamu selalu membelaku setiap saat. Maaf, karena aku masih banyak kekurangan sebagai istri dan menantu," ucap Naura lirih.
Azriel mengangguk kepalanya seraya mengusap puncak kepala sang istri.
Ia sudah menyelesaikan sarapannya, dan sekarang ia harus berangkat ke kampus untuk mengajar para mahasiswa.
Dengan sigap Naura kembali memeriksa bekal yang akan dibawa oleh suaminya.
Wanita itu meminta Azriel untuk menunggu sebentar, karena ia ingin memotong buah mangga yang masih tersisa di dalam kulkas.
"Terima kasih, Sayang. Bekalnya pasti aku habiskan. Kamu baik-baik di rumah, ya. Kalau mau sesuatu, segera hubungi aku. Biar nanti aku belikan setelah pekerjaanku di kampus selesai," ucap Azriel dengan senyum hangatnya yang selalu berhasil menenangkan hati Naura.
Naura mengangguk. Ia mengantar Azriel sampai depan ke pintu, dan menunggu hingga suaminya melewati gerbang rumah dengan membawa kendaraannya.
Naura segera kembali ke dapur, berniat untuk mencuci piring bekas makannya dengan Azriel beberapa saat lalu.
Karena perkataan suaminya yang selalu bisa menenangkan, Naura merasa perasaannya sudah jauh lebih baik dari sebelumnya.
Jadi, hari ini ia akan tetap membereskan rumah seperti biasa.
Apa yang ia lakukan kali ini bukan untuk mengambil hati Mama Sovi yang memang tidak pernah menyukainya sedari awal.
Naura hanya ingin menunjukkan pada Azriel kalau ia memang istri yang baik.
"Apa-apaan ini, Naura? Kenapa lauknya hanya sedikit? Kamu ini masak berapa banyak? Apa persediaan di kulkas sudah habis?" cecar Mama Sovi yang melihat meja makan kosong melompong, dan hanya ada beberapa lauk pauk yang tersisa di atas piring.
Perempuan paruh baya itu memeriksa kulkas, lantas berkacak pinggang di samping Naura yang tengah mencuci piring.
"Kenapa kamu tidak masak banyak? Bahan masakan masih cukup untuk kamu masak dengan porsi seperti biasanya, tapi mana makanannya?" tanya Mama Sovi setelah melihat persediaan untuk memasak masih penuh.
Segala persediaan lauk pauk yang bisa dimasak benar-benar melimpah ruah.
Mama Sovi pun berkacak pinggang di hadapan menantunya yang sama sekali tidak menjawab pertanyaannya.
Sangat menyebalkan! Begitu pikirnya.
"Naura!!" sentak Mama Sovi karena kesal tidak digubris sama sekali.
Naura baru menoleh setelah menyelesaikan cuci piringnya.
Ia kini terlihat lebih santai menghadapi tingkah mertuanya.
"Maaf, Ma, mulai sekarang aku hanya akan memasak untukku dan Mas Azriel saja. Aku pikir itu cukup, Mama juga masih bisa ikut makan kalau masih sudi mencicipi masakanku yang tidak enak itu," balas Naura tanpa ragu.
Mama Sovi seketika menganga lebar setelah mendengar perkataan menantunya.
"Kamu ini bagaimana, Naura? Kalau begini caranya, mau makan apa cucu-cucu saya nanti? Setelah pulang dari sekolah mereka pasti ke sini, dan makan siang di sini! Kasihan mereka kalau tidak ada makanan seperti biasa!"
Wanita paruh baya itu terlihat sangat kesal karena menantunya tidak mau memasak seperti biasa.
Ingin sekali rasanya ia mengacak wajah Naura saat ini juga.
"Kamu kan tahu sendiri kalau anak-anaknya Rio dan Rangga suka pulang ke sini kalau siang. Jangan bilang kamu itu amnesia? Kalau kamu masaknya sedikit seperti ini. Mereka mau makan apa nanti?" ucap Mama Sovi yang masih mengucapkan kata-kata yang menyakiti hati Naura.
"Kenapa jadi aku yang harus memikirkan itu? Mereka bukan anak-anakku atau anak Mas Azriel, jadi untuk apa aku memasak untuk mereka? Lagi pula aku ini adalah tamu. Masa iya tamu masak banyak untuk Tuan rumah. Itu mustahil kan?" timpal Naura dengan enteng.
Ia merasa cukup puas bisa mengatakan hal itu di hadapan mertuanya.
Seketika Mama Sovi terdiam mendengar perkataan itu.
Memang benar kalau kemarin-kemarin ia sering mengatakan hal itu pada Naura, tapi wanita itu tidak menyangka kalau menantunya itu akan mengembalikan kata-kata yang menjadi bumerang untuknya.
"Sudah pintar ngomong kamu, ya?!" Mama berdecak kesal.
Naura hanya menggedikan bahu seraya melangkah pergi. Ia sudah sangat muak.
Dulu ia yang memasak untuk semua keponakannya yang akan datang ke sana karena orang tua mereka bekerja.
Bahkan ia yang menjaga mereka dan mengurus semua keperluan mereka selama di rumah itu.
Namun, tak pernah sekali pun ia mendengar ucapan terima kasih dari ibu mertua ataupun para iparnya.
Jadi, wajar saja kalau sekarang Naura merasa sangat muak dan tidak ingin melakukan semuanya seperti biasa.
Mama Sovi yang merasa kalah telak memilih mengambil piring untuk sarapan.
Setelah itu, ia memutuskan untuk masak sendiri, karena ia tahu bahwa mulai detik ini, dirinya tidak akan bisa memperbudak Naura lagi.
Sudut bibir Naura melengkung mengukir senyum saat menyaksikan ibu mertuanya yang akan turun tangan untuk mengurus makan siang ketiga cucunya.
Naura melenggang pergi begitu saja dan masuk ke dalam kamar.
"Kalau begitu kan enak, masak untuk cucu sendiri. Lalu, kenapa selama ini dia terus memintaku memasak, seolah aku ini adalah babu? Enak saja!" gerutu Naura.
Setibanya di kamar, ia iseng membuka lemari pakaiannya, ia melihat pakaiannya yang ternyata sangat sedikit.
Selama ini, Naura berpikir tidak perlu membeli banyak baju, selama baju-baju lamanya masih layak pakai.
Suaminya juga tidak pernah protes karena baju-baju yang ia kenakan di hadapan suaminya masih terlihat cantik.
Naura tidak pernah berniat untuk mengoleksi banyak baju dengan warna yang berbeda-beda.
Wanita itu sangatlah sederhana.
Namun, kesederhanaan yang ia junjung tinggi justru malah menjadi salah satu pemicu dirinya direndahkan dan dianggap tidak mampu.
"Ini semua gara-gara omongan orang!" gerutunya yang tiba-tiba ingin berbelanja untuk memenuhi isi lemarinya.
Naura pun menghubungi suaminya untuk meminta izin pergi berbelanja.
Beruntung Azriel adalah seorang pria yang sangat pengertian dan memperbolehkan Naura melakukan apa pun yang ia mau.
Setelah mengantongi izin dari sang suami, Naura memutuskan untuk bersiap karena hari ini ia akan membahagiakan dirinya sendiri.
Ia akan menunjukan pada semua orang, bahwa ia mampu membeli apa pun yang ia inginkan tanpa kendala.
*************
*************