Dikhianati oleh suami dan adiknya sendiri, Putri Wei Lian menyaksikan keluarganya dihukum mati demi ambisi kekuasaan. Di saat nyawanya direnggut, ia berdoa pada langit—dan mukjizat terjadi. Ia terbangun sebulan sebelum perjodohan maut itu terjadi. Dengan tekad membara, Wei Lian berjuang membatalkan takdir lamanya dan menghancurkan mereka yang menghancurkannya. Tanpa ia tahu, seorang pria misterius yang menyamar sebagai rakyat biasa tengah mengawasinya—seorang kaisar yang hanya menginginkan satu hati. Saat dendam dan cinta bersilangan, akankah takdir berubah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
Pagi di Luoyang membawa kabut tipis yang menari di antara atap-atap merah istana. Burung-burung pagi berkicau dengan tenang, seakan kota ini bukanlah tempat di mana pengkhianatan dan intrik menjalar seperti akar beringin.
Wei Lian duduk di serambi sambil menulis di atas kertas tipis. Wajahnya serius, namun jarinya sesekali berhenti seolah pikirannya melayang. Malam kemarin masih membekas dalam pikirannya—pertemuan di Taman Seribu Bambu. Mo Yichen. Pria itu terlalu tenang untuk sekadar pedagang, terlalu lihai untuk orang biasa. Ia memang sudah menebak, tapi mendengar pengakuan dari mulutnya sendiri... tetap menggetarkan.
“Kalau terus menulis sambil melamun begitu, nanti hurufnya bisa jadi puisi, bukan laporan,” celetuk Yan’er dari balik tirai.
Wei Lian melirik sekilas. “Kalau aku menulis puisi, pasti tentang pelayan yang suka ikut campur urusan majikannya.”
Ah Rui menyusul masuk sambil membawa semangkuk bubur dan sepiring kecil asinan. “Kalau begitu, aku akan jadi tokoh utama puisi itu! Dan judulnya: Dua Pengganggu dan Satu Nona Kesepian!”
Wei Lian tertawa kecil. Untuk pertama kalinya dalam beberapa hari, ia bisa menghela napas tanpa beban.
Namun ketenangan itu tak bertahan lama. Seorang pelayan muda dari istana dalam datang membawa surat resmi yang disegel oleh stempel pribadi Putra Mahkota. Wajahnya pucat, seolah membawa racun dalam amplop.
Wei Lian menerima surat itu, membuka segelnya perlahan, dan membaca:
Nona Wei, kami menghaturkan undangan untuk makan siang pribadi bersama Putra Mahkota di Paviliun Phoenix. Hormat kami, Eunuch Gao.
Tangan Wei Lian mengepal.
Ah Rui mendekat cemas. “anda akan datang?”
Wei Lian mengangguk pelan. “Aku harus datang. Ini bukan undangan. Ini peringatan.”
---
Paviliun Phoenix tampak indah seperti namanya—dipenuhi ukiran emas dan bunga peony segar. Namun bagi Wei Lian, bangunan itu terasa seperti perut naga: megah di luar, maut di dalam.
Putra Mahkota sudah menunggu. Ia mengenakan jubah biru kehormatan dengan pola naga perak yang membelit. Wajahnya tersenyum, tapi sorot matanya dingin.
“Lian-er,” sapanya lembut. “Sudah lama kita tidak makan bersama.”
Wei Lian menunduk sopan. “Yang Mulia terlalu sibuk mengurus urusan negara.”
Ia duduk, lalu pelayan mulai menyajikan hidangan. Mereka makan dalam diam cukup lama, hingga akhirnya Putra Mahkota berbicara.
“Kudengar kau dekat dengan pedagang teh dari barat laut itu.”
Wei Lian mengangkat alis. “Pedagang teh? Jika maksud Yang Mulia adalah tamu dari Hanbei, dia hanya rekan bisnis biasa.”
“Hanbei, ya...” Putra Mahkota menatap tajam. “Tanah yang jauh. Tapi kadang... yang jauh justru datang membawa bahaya.”
Wei Lian menyuap potongan ayam tanpa gentar. “Kadang yang dekatlah yang paling mematikan.”
Mata Putra Mahkota menyipit. “Lian-er, jangan membuatku salah paham.”
“Salah paham hanya terjadi jika seseorang berusaha menutupi kebenaran.”
Ketegangan menyelimuti meja makan. Tapi sebelum percakapan semakin tajam, Eunuch Gao masuk membawa baki kecil.
“Yang Mulia, ini daftar peserta panitia Festival Musim Gugur.”
Putra Mahkota mengambilnya, membaca sekilas, lalu tersenyum.
“Ah, menarik. Nona Wei, kau akan memimpin bagian dekorasi dan perencanaan jamuan. Tanggung jawab besar. Pastikan tak ada kesalahan.”
Wei Lian menunduk, namun dalam hatinya sudah mulai menyusun langkah. Jika ia memimpin persiapan festival, maka ia bisa menyusun rencana lebih besar. Bahkan, mungkin... menjatuhkan topeng-topeng yang selama ini tersenyum padanya.
-----
Sore harinya, di halaman belakang penginapan tempat Mo Yichen tinggal sementara di Luoyang, sang pria berdiri memandangi kolam teratai yang tenang. Cahaya senja memantul di permukaan air, seolah ikut menyimpan rahasia yang belum terungkap.
“Dia menerima undangan itu,” gumamnya pelan. “Dan ia tidak gentar. Seperti yang kuduga.”
Seorang pria dengan tubuh kekar dan wajah sedikit jenaka pengawal pribadi Mo Yichen—berdiri santai di dekat pintu. Ia mengangguk sambil menyeruput teh.
“Tapi dia juga semakin dalam masuk ke sarang naga. Putra Mahkota bukan lawan yang bisa diremehkan.”
Mo Yichen tersenyum samar. “Mungkin. Tapi burung yang pernah kehilangan sarangnya akan belajar terbang sebelum sangkar ditutup.”
Ia menatap langit yang mulai gelap. Cahaya terakhir matahari membentuk bayangan di wajahnya.
“Mulai sekarang, kita awasi dari lebih dekat. Sebelum badai datang.”
Bibi Zhen
...----------------...
Festival Musim Gugur makin dekat. Kota Luoyang bersolek, seperti gadis muda yang sedang menanti pinangan. Istana sibuk tak terkira, penuh hiruk-pikuk suara perintah, bunyi lonceng, serta harum bunga krisan yang memenuhi udara.
Wei Lian berdiri di tengah aula utama, jubah kerjanya berkibar tertiup angin. Rambutnya disanggul tinggi, ditusuk peniti batu giok. Meski tak berpangkat, semua pelayan tunduk pada suaranya yang tenang dan pasti.
"Tarik tirai kuning itu setengah depa ke kanan. Jangan tutupi motif naga di dinding," ucapnya, berjalan perlahan. "Dan bunga di sudut tenggara, ubah ke peony putih. Peony merah terlalu mencolok."
Yan’er mencatat cepat. "Nona, ini sudah kali ketiga Anda ubah posisi bunga dalam dua hari."
"Bunga bukan sekadar hiasan," sahut Wei Lian datar. "Di istana, bunga bisa mengalihkan pandangan, mengaburkan maksud, atau memberi isyarat yang salah. Kita tidak boleh memberi celah sekecil apa pun."
Yan’er terkekeh pelan. "Benar juga. Bunga bisa manis atau beracun, tergantung siapa yang menanamnya."
Sebelum Wei Lian sempat menjawab, Ah Rui datang dengan wajah merah padam.
“Nona! Ada tamu... eh, tamu yang tidak seharusnya ada di sini,” bisiknya penuh rahasia. “Pedagang teh dari Hanbei... yang itu.”
Wei Lian mendesah pelan, menahan senyum.
“Suruh dia menunggu di taman barat. Jangan biarkan dia mengacak-ngacak dapur seperti terakhir kali.”
---
Taman barat sore itu disinari cahaya emas lembut. Daun mapel jatuh perlahan, membentuk karpet jingga di sekitar paviliun bundar.
Mo Yichen berdiri di sana, bersandar santai pada tiang, mengenakan jubah cokelat tanah yang lebih rapi dari biasanya. Di tangannya secangkir teh, entah dari mana ia mendapatkannya. Senyum tipis menghias wajahnya saat Wei Lian datang.
“Kau terlambat sepuluh langkah,” katanya pelan. “Kupikir kau lebih tepat waktu.”
“Dan kupikir kau tahu aku sibuk menjaga agar istana tidak terbakar oleh tikus berjubah sutra,” balas Wei Lian, duduk di bangku batu di seberangnya.
Mo Yichen tertawa pelan. “Kau selalu punya cara berbicara yang tajam tapi menarik.”
“Kau tidak datang hanya untuk memuji, kan?”
Mo Yichen menyodorkan gulungan kecil. “Daftar tamu dari Hanbei untuk festival. Tapi lihat baik-baik, ada bonus di dalamnya.”
Wei Lian membukanya, matanya menajam saat melihat kertas kecil terselip, tulisan halus:
“Seorang penari dari Paviliun Lotus—nama: Fei Lan—adalah mata-mata kekaisaran selatan. Disusupkan oleh Selir Ning atas perintah Putra Mahkota. Mereka merencanakan kekacauan saat tarian pembuka.”
Wei Lian menatap Mo Yichen lama. “Informasi ini... kau bisa saja menyimpannya sendiri. Kenapa memberikannya padaku?”
Mo Yichen menatapnya balik. “Karena kau tidak bodoh. Dan aku rasa kita menyukai hal yang sama: kebenaran.”
Wei Lian terdiam sejenak, sebelum tersenyum tipis. “Aku tidak menyangka kau cukup peka untuk membaca situasi istana.”
“Orang yang menjual teh harus tahu cara mencium aroma. Dan aroma pengkhianatan sangat kuat di sini.”
Wei Lian menahan tawa, lalu meneguk teh yang disiapkan Mo Yichen. “Panas. Tapi tidak pahit.”
Mo Yichen meliriknya. “Seperti hidup, kan?”
bersambung