Evelyn, penulis webtoon yang tertutup dan kesepian, tiba-tiba terjebak dalam dunia ciptaannya sendiri yang berjudul Kesatria Cinta. Tapi alih-alih menjadi tokoh utama yang memesona, ia justru bangun sebagai Olivia, karakter pendukung yang dilupakan: gadis gemuk berbobot 90kg, berkacamata bulat, dan wajah penuh bintik.
Saat membuka mata, Olivia berdiri di atas atap sekolah dengan wajah berantakan, baju basah oleh susu, dan tatapan penuh ejekan dari siswa di bawah. Evelyn kini harus bertahan dalam naskahnya sendiri, menghindari tragedi yang ia tulis, dan mungkin… menemukan cinta yang bahkan tak pernah ia harapkan.
Apakah ia bisa mengubah akhir cerita sebagai Olivia? Atau justru terjebak dalam kisah yang ia ciptakan sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anastasia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 22.Tinggal di rumah Oliv.
Begitu Owen melangkah masuk, ia langsung mendapati kenyataan pahit yaitu dalam apartemen Oliv jauh dari kata mewah. Ruangan itu sempit,ada tiga kamar dan kamar Owen berada di sebelah kamar Oliv.
Sambil tersenyum Oliv membukakan pintu kamar yang akan menjadi kamarnya. "Ini adalah kamar barumu! " Seru Lisa.
Owen lalu melihat sekeliling kamarnya, ia terkejut yang ada didalam kamarnya itu.
"Apa ini tempat tinggal manusia?, bukan kandang sapi! "
"Maaf tuan muda, ini adalah tempat tinggal mu sekarang. Anggap saja ukuran kamarmu mengecil.. !, seperti ini. "
"Siapa yang tinggal disini?" Tanya Owen yang berjalan masuk.
"Kakak ku Mark, sekarang ia sedang tinggal diasrama untuk irit ongkos pulang pergi. "
Oliv lalu menarik tangan Owen, dan memasukkan kopernya kedalam kamarnya.
"Sekarang aku ajak berkeliling rumah mungilku. "
Oliv lalu menjelaskan tempat tinggal mereka, dalam satu rumah ada satu kamar mandi untuk semua keluarga Oliv.
Di ruang tamu kecilnya hanya ada sofa yang terlihat sudah dipakai bertahun-tahun, meja kayu kecil dengan goresan-goresan, dan kipas angin yang berdecit setiap kali berputar.
Owen mendengus pelan, lalu menunjuk kipas angin yang berisik.
“Serius? Aku akan tidur ditemani suara cik cik cik itu? Apa ini semacam penjara terselubung?”
Oliv meliriknya malas. “Kalau kamu nggak suka, silakan kipas sendiri pakai tangan. Gratis.”
Ia menaruh kantong belanja di meja dan mulai mengeluarkan beberapa makanan ringan.
Owen menyipitkan mata. “Jadi, aku diusir dari rumah, semua fasilitasku dicabut, dan sekarang… aku cuma bisa makan keripik dua ribuan buat bertahan hidup?”
Oliv menahan tawa. “Kalau kamu bisa masak, aku bisa belikan bahan segar di pasar. Tapi kalau cuma bisa mengeluh, ya… silakan makan keripik.”
Lanjut Oliv, "yang biasa masak mamaku, tapi jam sekarang mama sedang kerja begitu juga kak Erik. Jadi terima yang ada saja!. "
Owen mendecak, lalu tiba-tiba mengambil keripik dan duduk di sofa. “Baiklah. Tapi ini penyiksaan!.”
Oliv menatapnya geli. “Silakan, kamu lapor ayahmu,selama kamu disini ikut peraturan kami.Di kurangi mengeluh, dan terima yang ada!.”
Mereka berdua saling diam sejenak, suasana menjadi agak canggung. Lalu Oliv bangkit untuk mengambil air minum, tapi karena ruangannya sempit, ia tak sengaja menyenggol meja kecil itu. Gelas di atasnya oleng, hampir jatuh.
Refleks, Owen meraih gelas itu dengan cepat, tapi tangannya juga menyenggol tangan Oliv.
Sekilas, mata mereka bertemu.
Owen menahan napas, mendadak canggung. “Eh… ini… gelasnya hampir jatuh.”
“Ya, aku tahu.” Oliv cepat-cepat menarik tangannya, pipinya sedikit memanas tapi ia berusaha tetap santai.
Untuk menutupi rasa kikuk, Owen pura-pura batuk. “Sebaiknya..,aku kembali ke kamarku. Mau menata pakaian ku.”
Oliv mengangguk kepala nya saja,tanpa menjawab Owen.
Karena terlalu gugup akibat kejadian tadi, Owen saat beranjak, tapi baru satu langkah, kakinya tersandung karpet yang ujungnya terlipat. Ia hampir jatuh tapi berhasil menahan diri dengan memegang bahu Oliv.
Kali ini, jarak mereka benar-benar dekat.
Begitu dekat, Owen bisa merasakan aroma sabun lembut dari rambut Oliv, sementara Oliv bisa mendengar napas Owen yang sedikit tercekat.
Oliv menatapnya dengan ekspresi setengah panik. “Bisa… tolong berdiri normal, sebelum aku benar-benar jatuh bareng kamu?”
Owen terkekeh pelan, mundur satu langkah. “Maaf, karpetnya memang berbahaya. Harusnya kamu kasih peringatan seperti Hati-hati, jebakan apartemen kelas menengah.”
Oliv mendecak sambil menahan senyum. “Kamu banyak protes, ya? Apa di rumahmu semua jalan dilapisi emas biar nggak tersandung?”
Owen menyandarkan diri ke dinding, menatapnya sambil tersenyum miring. “Bukan, tapi setidaknya di rumahku nggak ada jebakan mematikan setiap tiga langkah.”
Oliv tertawa kecil, akhirnya suasana mencair. “Kalau kamu nggak mau mati karena karpet, bantu aku masak. Aku nggak mau denger kamu kelaparan malam-malam dan ganggu tetangga.”
Owen terbelalak. “Aku? Masak? Aku bahkan nggak tahu cara nyalain kompor gas tanpa bikin ledakan.”
“Tenang,” sahut Oliv sambil berjalan ke dapur. “Kalau meledak, kamu yang tanggung.”
Setelah Owen menata pakaiannya dalam lemari kosong Mark, hari sudah malam Owen memakai pakaian santainya. Lalu Oliv menyuruh Owen membantunya memasak, dengan sedikit mengomel Owen menginjakkan kakinya di dapur.
Malam itu, suara tawa dan sedikit kekacauan terdengar dari dapur kecil apartemen itu,panci yang jatuh, Owen yang panik saat api kompor membesar, dan Oliv yang berusaha menahan tawa sambil mengajari cara menggoreng telur tanpa menghancurkannya.
Di tengah semua kekacauan itu, keduanya saling melirik sesekali,bukan lagi sebagai teman sekelas biasa, tapi dua orang yang mulai merasa… nyaman dengan kehadiran satu sama lain.
Owen berdiri di dapur kecil itu sambil memegang spatula seperti pedang, wajahnya serius seolah sedang melakukan misi berbahaya. “Kalau telur ini gosong lagi, Oliv, seumur hidupku kamu panggil aku Omelet aku gak akan marah.”
Oliv menahan tawa sambil memotong sayur. “Benar ya!,masa masak kawan sendiri tidak bisa.”
Owen mengibaskan tangannya, pura-pura dramatis. “Ini bukan keringat. Ini… bukti perjuangan. Di rumahku dulu, aku bahkan nggak pernah lihat spatula. Sekarang? Aku bisa jadi chef terkenal.”
Oliv melirik ke arahnya sambil tersenyum miring. “Chef terkenal yang bikin telur gosong?”
“Bukan gosong. Itu… seni kuliner. Telur panggang gaya Owen,” Owen menyeringai, mencoba terlihat percaya diri meski bau hangus mulai tercium.
"Iya, sudah tiga telur yang sudah kamu buat hitam seperti rambut ku. "
"Jangan khawatir nanti, akan aku penuhi rumahmu dengan telur setelah ayahku mengambilkan kartu kredit ku. "
Oliv tak kuasa menahan tawa, bahunya bergetar. Saat ia berusaha memindahkan panci, tangannya tanpa sengaja menyentuh tangan Owen. Keduanya spontan berhenti.
Mata mereka bertemu sebentar. Suasana tiba-tiba berubah, keheningan tipis terasa. Owen tersenyum kecil, sedikit canggung. “Sepertinya… kamu sedang menggodaku. "
Oliv cepat-cepat menarik tangannya, pipinya memanas. “Dasar ge-er!,aku tadi gak sengaja.lihat tuh, telur mu mau gosong!”
Owen terkekeh, tapi sebelum sempat membalas, suara pintu depan berderit. Terdengar langkah kaki dua orang sekaligus.
“Mama pulang!” seru suara perempuan dewasa, diikuti suara berat seorang pria.
Oliv dan Owen langsung menoleh bersamaan, masih berdiri cukup dekat sehingga membuat situasinya terlihat… mencurigakan.
Pintu depan apartemen berderit pelan, menandakan seseorang baru saja masuk. Suara langkah kaki berat terdengar di lorong sempit, diikuti aroma wangi minyak kayu putih khas Mama Oliv.
Owen, yang sedang memegang spatula dengan ekspresi panik karena telurnya hampir gosong, tidak menyadari apa yang terjadi. Sementara Oliv, yang berdiri di sampingnya sambil menahan tawa, justru terkejut melihat dua sosok di ambang pintu dapur.
“Ini… apa-apaan di sini?” suara berat Erik, kakak Oliv, menggema. Wajahnya tampak lelah setelah pulang kerja, namun matanya menyipit curiga melihat Owen pria asing bersama dengan adiknya.
Mama Oliv menyusul masuk, membawa tas belanja dan langsung berhenti di ambang pintu. “Oliv… siapa anak laki-laki ini? Dan kenapa dia ada di dapur kita?”
Owen langsung menoleh, hampir menjatuhkan spatula. “Eh… aku… cuma… membantu Oliv.” Suaranya terdengar ragu, seperti anak kecil yang ketahuan mencuri kue.
Oliv buru-buru menutup panci dan berbalik. “Mama, Kak Erik, ini… Owen. Dia..temanku!,nanti aku ceritakan.jadi tunggu sebentar ya.”
Erik menyilangkan tangan di dada. “Kami butuh penjelasan tentang pria ini, kenapa berada dirumah kita?,dan aap hubungan kalian?.” Tatapannya tajam, penuh ketidakpercayaan.
Mama Oliv mengangguk, lalu Oliv mematikan kompornya dan berjalan kearah keluarganya dan menarik tangan kakak dan mamanya sambil tersenyum.
Lalu Oliv membawa mereka berdua ke kamarnya, sedangkan Owen di tinggal sendirian sambil melihat mereka bertiga masuk kedalam kamar Oliv.