Kelly tak pernah menyangka pertemuannya dengan pria asing bernama Maarten akan membuka kembali hatinya yang lama tertutup. Dari tawa kecil di stasiun hingga percakapan hangat di pagi kota Jakarta, mereka saling menemukan kenyamanan yang tulus.
Namun ketika semuanya mulai terasa benar, Maarten harus kembali ke Belgia untuk pekerjaannya. Tak ada janji, hanya jarak dan kenangan.
Apakah cinta mereka cukup kuat untuk melawan waktu dan jarak?
Atau pertemuan itu hanya ditakdirkan sebagai pelajaran tentang melepaskan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kelly Astriky, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Eps. 8 Hotel
Lampu-lampu klub mulai meredup perlahan, musik pelan menggantikan dentuman keras yang sejak tadi menemani malam kami.
Orang-orang mulai keluar satu per satu, beberapa masih tertawa, beberapa lainnya tampak kehilangan keseimbangan karena terlalu banyak minum.
Aku melirik ponsel. Sudah lewat tengah malam. Bahkan mungkin hampir pukul 1.
“Aku… udah kemaleman,” gumamku pelan sambil mengusap mata.
Maarten menoleh padaku, lalu menatapku serius.
“Kamu nggak mungkin pulang sendiri sekarang. Terlalu larut.”
Aku mengangguk pelan, setuju. Jalanan Jakarta dini hari bukan tempat yang aman untuk perempuan pulang sendirian.
“Kalau kamu nggak keberatan,” lanjut Maarten, “istirahat aja di hotelku. Tempatnya aman. Dekat juga dari sini. Kamu bisa istirahat dengan tenang.”
Aku menatapnya. Sejujurnya, aku ragu. Tapi dari caranya bicara, tidak ada tekanan. Tidak ada niat terselubung.
Hanya tawaran tulus dari seseorang yang tahu batas dan menghargai ruang.
Aku akhirnya mengangguk.
“Boleh. Tapi janji… nggak aneh-aneh ya.”
Maarten tersenyum kecil.
“Janji. Aku lebih suka bicara daripada memaksa.”
Kami naik mobil lagi. Kali ini jalanan jauh lebih lengang. Jakarta terlihat seperti kota yang sedang tidur, hanya menyisakan lampu jalan yang sunyi dan sesekali pengendara yang melintas dengan lampu temaram.
Hotel tempat Maarten menginap ternyata cukup mewah. Tapi suasananya tenang, tidak mencolok.
Begitu masuk, kami menuju lantai atas, dan kamar itu menyambut kami dengan cahaya lembut serta aroma sabun hotel yang khas.
Aku duduk di sisi kasur, melepas sepatu pelan-pelan.
Maarten duduk di sisi lainnya, membuka jaketnya dan menggantungnya di kursi.
Sejenak kami diam, menikmati keheningan.
“Aku belum pernah pergi sejauh ini sama orang yang baru aku kenal,” kataku pelan.
Maarten tersenyum, menoleh padaku.
“Aku juga,” katanya.
“Tapi kadang… hal yang paling bermakna justru datang dari hal-hal yang nggak direncanakan.”
Aku menatapnya.
“Maarten… kamu orangnya selalu tenang ya?”
Dia tertawa kecil.
“Tenang di luar. Tapi kalau kamu bisa lihat pikiranku, isinya kadang penuh kebisingan.”
Aku tersenyum hangat.
“Dan kamu,” katanya lagi, “punya aura yang nggak semua orang punya. Ada sesuatu di kamu, yang bikin aku ingin melindungi.”
Aku terdiam. Tidak tahu harus menjawab apa.
Maarten mendekat sedikit. Tidak terlalu dekat, tapi cukup untuk membuatku mendengar napasnya.
“Aku orang yang romantis,” ucapnya pelan.
“Tapi aku juga tahu batas. Aku nggak mau jadi orang yang cuma datang sebentar dan meninggalkan luka. Selama kamu bersamaku, Kelly… aku ingin kamu tahu, kamu akan selalu baik-baik saja.”
Aku menatap matanya.
Matanya tidak hanya jujur, tapi penuh perhatian.
Dan di momen itu, aku percaya padanya.
“Aku suka caramu bicara,” gumamku.
“Kamu bisa buat aku ngerasa… bukan cuma sebagai perempuan. Tapi sebagai seseorang yang dihargai.”
Dia menunduk sedikit, mendekatkan wajahnya padaku.
“Kamu layak untuk itu. Dan lebih dari itu....”
Aku menutup mata sejenak.
Lalu merasakan bibirnya menyentuh pipiku.
Hangat. Lembut. Tidak menuntut.
Aku membuka mata perlahan. Kami saling tatap, lalu, bibir kami bertemu sebentar dalam satu ciuman singkat, tenang, dan penuh makna.
Tidak lebih.
Ciuman yang tidak terburu-buru.
Ciuman yang seperti berkata: “Aku nggak butuh lebih dari ini. Aku hanya ingin kamu merasa aman.”
Setelah itu, kami saling tersenyum.
Maarten bersandar ke belakang, menarik napas pelan.
“Aku suka malam ini,” katanya.
“Aku juga,” jawabku.
Dan dalam keheningan hotel, di bawah cahaya lampu yang hangat, kami mengobrol lagi.
Tentang masa kecil, tentang negara asal, tentang mimpi, dan hal-hal kecil yang tidak pernah kami bagi ke siapa pun sebelumnya.
Malam itu… kami tidak butuh sentuhan lebih.
Karena yang kami punya… sudah cukup membuat dunia terasa hangat.
Kami duduk berdampingan di tepi kasur. Lampu kamar hotel menyala lembut, memantulkan cahaya kuning hangat di dinding.
Di luar, kota sudah benar-benar sunyi. Hanya samar suara AC dan detak jam digital yang terasa hidup.
Aku masih memegang botol air mineral dari minibar, memainkannya pelan di tangan.
Sesekali, aku melirik Maarten, tapi lebih sering menunduk.
Ia memutar tubuhnya sedikit, menatapku dalam diam beberapa detik sebelum akhirnya berkata.
“Waktu kita di klub tadi… aku lihat matamu kosong.”
Aku menoleh, sedikit terkejut.
“Tapi kamu senyum terus,” lanjutnya, “dan kamu ngobrol seolah semuanya baik-baik aja. Tapi sorot matamu… nggak bisa bohong.”
Aku menunduk lagi, jari-jariku meremas botol di tanganku.
Dia tidak berhenti bicara, tapi juga tidak memaksaku untuk menjawab.
“Aku salah ya ngomong gitu?” tanyanya lembut.
Aku pelan-pelan menggeleng.
“Enggak… kamu nggak salah. Kamu justru… peka banget.”
Maarten tersenyum kecil, lalu mengambil posisi duduk lebih santai.
“Kamu ngerasa insecure?” tanyanya hati-hati.
Aku menarik napas pelan.
“Sedikit,” aku mengaku akhirnya.
“Di klub itu... semua wanita kelihatan sempurna. Langsing, percaya diri, seksi. Dan aku… ya begini. Rasanya kayak... aku nggak cocok di sana.”
Dia menatapku lama. Lalu berkata pelan.
“Kamu tahu apa yang aku lihat waktu pertama masuk bar tadi malam?”
Aku menggeleng.
“Aku lihat kamu,” katanya yakin.
“Dari semua lampu, semua orang, semua suara, cuma kamu yang bikin aku lupa keramaian itu. Kamu nggak berusaha menarik perhatian, tapi justru itu yang bikin kamu beda.”
Aku hanya bisa diam. Kemudian dia melanjutkan.
“Kamu nggak perlu jadi siapa pun selain dirimu sendiri. Karena saat kamu jadi diri kamu yang sederhana, jujur, dan apa adanya… kamu jauh lebih menarik dari siapa pun yang berusaha tampil mencolok.”
Aku mengalihkan pandangan, mencoba menahan rasa hangat yang mulai naik ke pipi.
Aku mendongak pelan, menatapnya.
Wajahnya dekat, tapi tidak menekan. Matanya tenang, seolah ingin memelukku tanpa harus menyentuh.
“Terima kasih,” kataku.
“Udah bikin aku merasa cukup.”
Maarten tersenyum lembut. Lalu, dengan perlahan, dia menyentuh pipiku dengan punggung jarinya.
Bukan menyentuh karena ingin… tapi karena peduli.
“Kamu selalu cukup, Kelly. Bahkan saat kamu berpikir kamu tidak.”
Untuk beberapa saat, kami hanya diam.
Tapi keheningan itu tidak dingin.
Keheningan itu penuh makna.
Seperti dua hati yang saling mengerti tanpa perlu banyak kata.
Suasana di kamar hotel mulai terasa seperti pelukan itu sendiri.
Bukan karena tempatnya hangat, tapi karena kami berdua sudah berhenti berusaha jadi orang lain.
Hanya dua orang asing yang merasa seperti rumah satu sama lain.
Aku duduk bersandar ditempat tidur, kakiku ditekuk pelan.
Martin masih duduk di sisi kasur, diam cukup lama. Lalu perlahan, tanpa bertanya apa-apa, dia merebahkan kepalanya di pahaku.
Aku sempat kaget, bukan karena risih, tapi karena momen itu begitu jujur.
Dia tidak sedang mencoba mendekat sebagai laki-laki.
Dia hanya sedang ingin merasa tenang.
Dan entah kenapa, dia merasa tempat ternyaman malam itu adalah pangkuanku.
“Kamu nggak keberatan kan?” bisiknya pelan, seperti anak kecil yang takut ditolak.
Aku menggeleng dan tersenyum lembut.
“Enggak. Apakah ini nyaman?”
Martin hanya mengangguk pelan.
Kepalanya menempel di pahaku, dan aku bisa merasakan beratnya perlahan semakin tenang.
Tanganku pun reflek mengusap rambutnya perlahan.
Jarinya bermain dengan ujung selimut, matanya terpejam.
“Gini ya rasanya diperhatiin,” gumamnya nyaris tak terdengar.
Aku menunduk menatapnya, sedikit bingung.
“Kamu nggak pernah merasa diperhatiin?”
Dia membuka matanya setengah, lalu mengangguk kecil.
“Ada masanya iya. Tapi itu udah lama… terlalu lama.”
Aku tetap mengusap pelan rambutnya.
Gerakannya lambat, seperti seorang ibu yang menenangkan anaknya. Tapi bukan itu maksudnya.
Ini tentang menemukan rasa aman, yang tidak selalu harus dijelaskan.
Martin menarik napas panjang, lalu berkata dengan suara pelan seperti dia sedang bergumam,
“Kamu tau gak, Kelly… kadang aku cuma pengen jadi kecil. Bukan berarti manja, tapi pengen ngerasa bisa bersandar ke seseorang tanpa harus kuat terus.”
Kata-katanya langsung masuk ke dalam dadaku.
Aku tidak tahu harus menjawab apa, jadi aku hanya mengelus pipinya pelan.
“Kalau kamu capek, gak apa-apa jadi kecil,” ucapku akhirnya.
“Aku juga kadang pengen gitu.”
Dia tersenyum kecil.
Lalu menutup matanya lagi.
“Kelly…” bisiknya lirih, “kalau kamu terus kayak gini, aku takut nyaman banget.”
Aku tersenyum sendiri.
“Kenapa? takut?”
“Karena kalau aku udah nyaman… aku susah lepas.”
Aku terdiam.
Tangan kiriku masih mengusap rambutnya pelan.
Di titik ini… gak ada niat untuk lebih.
Gak ada nafsu, gak ada niat tersembunyi.
Yang ada cuma dua manusia yang saling menemukan tempat teduhnya di satu malam yang sederhana.
Aku bisa merasakan dari tubuhnya, napasnya makin pelan, otot-ototnya rileks.
Seolah seluruh dunia akhirnya diam, dan dia bisa tidur, karena ada seseorang yang menjaganya.
Dan aku tahu, meski kami belum saling mengenal terlalu lama, tapi malam ini… kami saling percaya.