Sebuah kecelakaan beruntun merenggut nyawa Erna dan membuat Dimas terbaring lemah di ruang ICU. Di detik-detik terakhir hidupnya, Dimas hanya sempat berpesan: "Tolong jaga putri saya..." Reza Naradipta, yang dihantui rasa bersalah karena terlibat dalam tragedi itu, bertekad menebus dosanya dengan cara yang tak terduga-menjodohkan Tessa, putri semata wayang Dimas, dengan putra sulungnya, Rajata. Namun Rajata menolak. Hatinya sudah dimiliki Liora, perempuan yang ia cintai sepenuh jiwa. Tapi ketika penyakit jantung Reza kambuh akibat penolakannya, Rajata tak punya pilihan selain menyerah pada perjodohan itu. Tessa pun terperangkap dalam pernikahan yang tak pernah ia inginkan. Ia hanya ingin hidup tenang, tanpa harus menjadi beban orang lain. Namun takdir justru menjerat mereka dalam ikatan yang penuh luka. Bisakah Tesha bertahan di antara dinginnya penolakan? Dan mungkinkah kebencian perlahan berubah menjadi cinta?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muffin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Misi Liora
^^^Rajata Kastara ^^^
^^^Tangan lo enteng bener gue liat-liat Bra?^^^
Tibra sanjana
Sorry Ja, kepencet! Reflek! Demi Allah, tangan gue ngaco sendiri!
^^^Rajata Kastara ^^^
^^^Sialan lo! Gara gara lo gue jadi pusing mikir alasan^^^
Tibra sanjana
Ngapain pusing tinggal akuin aja sih. Orang nya juga cakep begitu
^^^Rajata Kastara^^^
^^^Belom saatnya. ^^^
Tibra Sanjana
Kapan? Nunggu ada yang terang-terangan deketin Tessa?
_________________________________________
Pagi itu, Tessa dibuat kesal bukan main oleh Rajata. Bagaimana tidak, sejak selesai sarapan, cowok itu terus saja menyuruhnya pergi keluar rumah.
"Tess, lo beneran nggak ada agenda kemana gitu hari ini? tanya Rajata lagi, untuk kesekian kalinya pagi itu.
"Kenapa sih Ja?
"Lo nanya gitu mulu dari tadi. Lo ngusir gue?" Sahut Tessa cepat nadanya mulai naik satu tingkat.
Tanpa menunggu respon Rajata, Tessa berdiri, lalu melangkah keluar kamar tanpa menoleh lagi.
Dia butuh udara. Butuh minuman dingin.
Setidaknya sesuatu yang bisa menetralkan mood-nya yang mulai rusak sejak pagi.
Rajata terdiam sejenak. Matanya menatap pintu kamar yang baru saja tertutup, lalu menghela napas panjang.
Frustasi.
Hari ini teman-teman Rajata berencana datang, meskipun sejak kemarin dia sudah bilang jangan. Tapi Rajata tahu betul kelakuan mereka—semakin dilarang, justru makin semangat.
Apalagi setelah Tibra bocorin soal status nikahnya ke grup. Teman-temannya masih setengah percaya, makanya mereka ngotot pengen datang sendiri buat minta penjelasan langsung dari Rajata.
Sementara Rajata masih sibuk memutar otak—mencari cara halus agar Tessa mau keluar rumah tanpa merasa diusir—dia tak menyadari bahwa bencana sudah berdiri manis di depan gerbang.
"Siang, Pak Rozak."
Aksa menyapa santai sambil tersenyum pada satpam yang sedang membuka pintu pagar rumah Rajata.
"Siang. Temannya Mas Rajata ya?"
Pak Rozak menyipitkan mata, mulai mengenali wajah-wajah yang cukup sering keluar-masuk.
"Yoi, Pak. Rajata di rumah, kan?" tanya Aksa ramah.
"Oh, ada. Masuk aja. Tadi yang keluar cuma Bapak sama Ibu, sama Mbak Carissa. Mas Rajata-nya di rumah."
Tibra yang sedari tadi diam, langsung nyeletuk dengan gaya sok polos.
"Oh jadi Rajata dirumah sendirian dong, Pak?"
Pak Rozak terkekeh.
"Ya ndak, Mas. Kan ada istri nya."
Seketika, langkah Aksa terhenti.
Kalandra dan Jevan yang baru saja turun dari mobil pun saling pandang, mata mereka membelalak.
Mereka kira Tibra cuma ngelawak di grup.
Tapi sekarang... semua jadi kenyataan.
Mereka menoleh serempak ke arah Tibra.
"Lo udah tau, Bra?" tanya Kala dengan nada setengah kaget.
Tibra hanya mengangkat bahu santai.
"Hmm, baru-baru ini lah."
Lalu dengan wajah datar dan enteng, dia merangkul pundak kala.
"Udah, ayo masuk. Biar jelas semua."
Aksa dan Jevan menyusul di belakang dengan langkah lebih pelan. Wajah mereka masih terlihat sedikit kecewa—terutama setelah mendengar langsung dari Pak Rozak bahwa Tessa memang istri Rajata.
Mereka benar-benar mengira masih punya kesempatan.
Tessa baru saja hendak naik ke lantai atas ketika suara bel rumah berbunyi.
Ia berhenti sejenak, menghela napas, lalu berjalan pelan menuju pintu depan.
Ceklek.
Pintu terbuka, dan seketika mata Tessa membelalak.
Empat orang cowok berdiri di depan rumah. Semuanya tampak familiar—wajah-wajah yang pernah dilihatnya di lapangan kemarin.
Aksa. Jevan. Kala. Tibra.
Dan saat itulah Tessa menyadari sesuatu.
Oh. Jadi ini alasannya.
Alasan kenapa Rajata sejak pagi terus menyuruhnya keluar. Karena... teman-temannya mau datang.
Tessa menatap mereka satu per satu—masih berdiri kaku di depan pintu, sama terkejutnya melihat dia yang membukakan pintu.
Senyumnya tipis, keningnya berkerut.
"Hai....."
"Kalian... cari Rajata?"
Tessa bertanya pelan dari balik pintu.
Mereka berempat—Aksa, Jevan, Tibra, dan Kala—serempak mengangguk. Tapi bukan hanya karena pertanyaan itu. Mereka terpaku. Terpesona. Tessa yang pagi itu membuka pintu tanpa riasan sedikit pun justru terlihat semakin cantik dalam kesederhanaannya.
Aksa merasakan jantungnya berdebar tak karuan. Tangannya refleks menyentuh dada, berusaha menenangkan diri. Tapi sorot matanya berbeda—wajahnya menunjukkan kesedihan yang sulit disembunyikan.
Gimana nggak sedih? Cewek yang sempat jadi incarannya… ternyata istri sahabatnya sendiri.
Sementara itu, Jevan—yang biasanya cerewet dan paling suka usil—hanya bisa berdiri terpaku. Bibirnya sempat terbuka, tapi tak ada suara keluar. Dia melirik Aksa sekilas, lalu buru-buru menunduk sambil menggaruk tengkuknya.
Tibra mengangkat alis, berusaha tetap tenang, tapi matanya tak bisa berbohong. Ia sedikit terbatuk kecil—menyamarkan keterkejutannya.
Kala, si pengamat yang jarang bicara, hanya menyipitkan mata. Ia mencatat semua ekspresi satu per satu, termasuk cara Tessa menyibak rambut dari wajahnya.
"Ayo masuk… aku panggilin Raja," ucap Tessa sambil membuka pintu lebih lebar.
Gerakannya masih terlihat kikuk, mungkin karena gugup dikelilingi empat lelaki sekaligus. Tapi justru itu yang membuatnya tampak semakin manis di mata mereka.
"Kalian... duduk dulu ya, aku ke atas dulu," ucap Tessa sambil tersenyum kecil. Ia segera membalikkan badan dan menaiki tangga dengan langkah cepat.
Begitu sampai di kamar, Tessa langsung membuka pintu dan menatap Rajata tajam. Matanya melotot.
"Lo kenapa nggak bilang kalau temen-temen lo mau dateng?" sergahnya dengan nada setengah berbisik tapi penuh tekanan.
Rajata yang sedang asyik main ponsel langsung kaget.
"Hah? Mereka udah dateng? Bukannya bilangnya sore?"
"Udah di bawah!" sahut Tessa gemas.
Refleks Rajata membelalak, lalu buru-buru bangkit dari tempat tidur. Ia sempat hampir tersandung selimut sendiri.
Aawwssshh…” ringis Rajata, menahan nyeri di kakinya yang masih belum sepenuhnya pulih.
Refleks, Tessa segera mendekat.
“Pelan-pelan dong…” ucapnya lembut sambil memegang lengan Rajata, membantu menstabilkan langkahnya.
Mereka menuruni tangga pelan-pelan, langkah Rajata tertatih tapi tetap mencoba terlihat gagah. Sementara itu, Tessa diam-diam mencuri pandang ke wajah suaminya—yang walau meringis, masih tetap terlihat menyebalkan sekaligus manis di matanya.
Begitu kaki Rajata menjejak lantai ruang tamu, empat pasang mata langsung tertuju padanya.
Setelah membantu Rajata duduk dengan nyaman. Tessa melangkah ke arah dapur dengan pelan. Baju rumah sederhana yang ia kenakan memang tidak mewah, tapi justru membuat pesonanya makin keluar.
Rambutnya dikuncir asal, tapi entah kenapa justru itu yang bikin empat pasang mata di ruang tamu tak berkedip.
Langkah Tessa menghilang di balik tembok dapur, namun tatapan Aksa, Tibra, Kala, dan Jevan masih tertuju ke arah dapur—seolah Tessa membawa semacam magnet yang bikin mereka lupa kedatangan awal mereka ke rumah itu.
Rajata, yang menyadari arah pandang teman-temannya, langsung berdehem keras.
“Ehhm! Biasa aja dong ngelihatinnya,” sahut Rajata kesal.
Suara itu langsung memutus tatapan keempat orang yang sejak tadi nyangkut di dapur. Mereka serempak menoleh ke arah Rajata.
Dan dalam hitungan detik—
“LO KENAPA NGGAK BILANG KALO LO NIKAH MONYET?!” seru Aksa sambil menunjuk wajah Rajata.
Tanpa basa-basi, ia langsung melempar bantal ke arah Rajata.
“Woy!” Rajata reflek menghindar, tapi karena kakinya masih sakit, ia malah meringis sendiri.
“Aaawshh…!” ringisnya, sambil mengelus lututnya.
“Lo anggep kita apa sih, Ja?”
Kali ini giliran Kala yang bersuara, dengan nada sedikit mendramatisir, lengkap dengan ekspresi kecewa yang dibuat-buat. “Tega banget lo bohongin kita.”
“Lo keterlaluan sih, Ja kata gue mah.”sambung Jevan, ikut memasang wajah sok sedih.“Bini secantik itu nggak lo akuin?”
Rajata memutar bola matanya, malas meladeni drama dadakan itu. Setelah dipikir-pikir, nggak ada gunanya juga terus nutup-nutupin
“Belum waktunya aja,” jawab Rajata singkat. Nada suaranya datar, mencoba menghindari bahasan itu terlalu jauh.
“Lo bisa nikah dadakan gitu kenapa? Nggak hamil duluan—kan?” tanya Aksa dengan wajah serius tapi polos.
Jevan, yang duduk di sebelahnya langsung menoleh cepat, lalu meraup wajah Aksa dengan telapak tangan. “Mulut lo tuh nggak ada rem-nya ya. Bisa-bisanya lo ngomong gitu.”
Lalu ia beralih ke Rajata dengan ekspresi waswas, “Tapi… enggak kan, Ja?”
Rajata menghela napas berat.
“Nggaaak lah! Gue bahkan belum nyentuh dia.”
Kalimat itu sukses bikin semua orang di ruangan itu melotot. Mata membulat, mulut menganga lebar.
Kecuali Aksa. Dia justru tersenyum... senang.
“Syukurlah. Berarti gue masih punya kesempatan.”
Dia menatap langit-langit dengan gaya dramatis seolah berdoa diam-diam.
“Gue bahkan siap nunggu Tessa jadi janda lo, Ja.”
Kalimat itu sukses membuat ruangan hening selama tiga detik... sebelum sebuah bantal melayang dan mendarat tepat di wajah Aksa.
“Sialan lo,” umpat Rajata sambil memasang wajah sebal.
Tapi matanya tidak benar-benar marah—lebih ke 'ni orang nggak ada otaknya emang'.
Aksa tertawa sambil menangkis bantal.
“Lah, lo yang bilang belum nyentuh dia. Berarti peluang gue masih terbuka lebar dong.”
“Peluang dari Hong Kong,” sahut Rajata, malas.
Tibra ngakak sambil menepuk paha.
“Gue suka nih semangat kompetitif lo, Sa. Tapi sorry, Sa… kalo lawannya Rajata, lo udah kalah sebelum perang.”
“Sialan lo!” umpat Aksa sambil melempar bantal ke arah Tibra.
Umpatan itu akhirnya membuat semuanya tertawa lepas, termasuk Rajata yang tadinya malas menanggapi. Suasana yang awalnya canggung berubah jadi lebih cair.
**
Di sisi lain, suasana terasa jauh lebih tegang.
Sisil melirik gelisah ke arah sahabatnya, lalu berbisik, “Lo yakin mau ngelakuin ini, Li?”
Liora tidak langsung menjawab. Ia menatap layar ponselnya dalam-dalam, lalu mengangkat wajahnya perlahan.
Senyum tipis tapi penuh tekad muncul di sudut bibirnya.
“Yakin banget,” jawabnya pelan namun mantap. “Gue nggak akan biarin mereka hidup tenang.”
Sisil terdiam. Ada getar takut di matanya. Bukan karena tidak percaya pada Liora—tapi karena ia tahu, sekali Liora memutuskan sesuatu, nggak ada jalan mundur.
“Lo bisa kena masalah kalo sampe Rajata tau, Li,” ucap Gladis, menimpali dengan nada khawatir.
Liora hanya melirik sekilas, santai tapi penuh ancaman. “Ya makanya jangan sampe dia tau.”
Ia lalu berdiri, merapikan tas selempangnya, lalu menatap Sisil dan Gladis bergantian.
“Kalau sampai Rajata tau, berarti salah satu dari kalian yang bocorin.”
Hening sesaat. Tatapan Liora tajam, membuat keduanya saling pandang tanpa kata.
Sisil menelan ludah. Gladis memalingkan wajah. Dan di balik sikap keras kepala Liora, ada luka yang belum sembuh—dan sekarang mulai berubah jadi dendam.
“Siap-siap aja lo, Tessa... Setelah ini, lo bahkan nggak akan bisa senyum lagi.”
Waduhhh... Liora bakal ngelakuin apa ya? 🔥
Udah ada yang bisa nebak belum nih?
Stay tune terus ya!
Jangan lupa like, komen, dan ajak temen-temen kamu buat ikutin cerita ini...
Karena drama ini belum ada separuhnya! 😈💥