Ritual yang dilakukan untuk menjadi penari yang sukses justru membuat hidup Ratri terancam, bagaimana nasib Ratri selanjutnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Its Zahra CHAN Gacha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rahasia Sugondo
Setelah kejadian mengerikan di malam itu, suasana rumah keluarga Sugondo semakin suram. Sugondo menjadi lebih banyak diam, dan bahkan tidak ikut ke ladang seperti biasa. Ia hanya duduk di beranda, memandangi halaman yang penuh ilalang, seakan sedang menunggu sesuatu. Atau mungkin... sedang menghindari sesuatu.
Ratri mulai memperhatikan perubahan sikap ayahnya. Bukan hanya karena duka atas kematian Herman, tapi ada sesuatu yang lebih dalam, lebih tua dari luka, yang tampak mulai membusuk di balik mata Sugondo. Ratri merasa, ayahnya menyembunyikan sesuatu. Sesuatu besar.
Dan pagi itu, Ratri memutuskan untuk menanyakannya.
---
“Ayah...” ucap Ratri perlahan, duduk di kursi rotan sebelah Sugondo.
Sugondo menoleh sekilas, lalu kembali menatap kosong ke depan.
“Kita harus bicara.”
Sugondo tidak menjawab.
“Kamar itu... bukan cuma kamarku. Ada sesuatu di sana. Dan aku rasa... Ayah tahu itu.”
Suara Ratri kini lebih tegas. Sugondo menghela napas dalam. Lalu, akhirnya, ia bicara.
“Ayah tidak pernah berniat mencelakakan kamu, Ratri.”
“Aku tahu. Tapi Ayah juga tidak pernah jujur.”
Sunyi sejenak. Hanya suara daun pisang digoyang angin yang terdengar. Hingga akhirnya Sugondo membuka mulut perlahan, suaranya berat dan parau.
“Dulu... waktu kamu kecil, kamu sakit keras. Demam tinggi berhari-hari. Ustadz, mantri, dukun... semua kami panggil. Tidak ada yang berhasil.”
Ratri menoleh. Wajah ayahnya terlihat semakin tua dari sebelumnya.
“Ayah panik. Lalu salah satu sesepuh desa... Pak Rajiman... bilang hanya ada satu cara untuk menyelamatkanmu. Menjadikanmu calon penari. Tapi bukan sekadar tari. Kamu harus di-jaga. Dilindungi.”
Ratri terdiam, menyimak dengan hati berdebar.
“Untuk itu... mereka mengikat perjanjian. Dengan ‘penunggu’ lama dari barongan desa kita. Sosok yang disebut Nyai Rengganis. Dia bukan jin sembarangan, Rat. Dia dulu dipuja oleh leluhur kita sebagai pelindung para penari. Tapi dia juga haus pengabdian... dan darah.”
Sugondo menatap anaknya dalam-dalam.
“Sejak malam itu, kamu bukan anak biasa. Kamu disucikan dengan kembang tujuh rupa, darah ayam cemani, dan diikatkan sesajen ke tubuhmu. Saat kamu demam, tubuhmu jadi wadah. Sejak saat itu, kamu mulai bisa menari... tanpa belajar.”
Ratri merasa perutnya mual.
“Jadi... semua ini bukan bakat? Tapi karena perjanjian itu?”
Sugondo mengangguk, perlahan.
“Setiap gerakan tubuhmu adalah bentuk pengabdian pada Nyai Rengganis. Dan selama kamu menjaga ritual itu, kamu akan terus dilindungi. Tapi jika tidak... dia akan mengambil apa yang dia mau.”
“Termasuk Herman?”
Sugondo menutup wajahnya. Ia tidak menjawab, tapi tubuhnya bergetar.
Air mata Ratri menetes. Dadanya sesak. Jadi selama ini... hidupnya bukan miliknya.
“Kenapa Ayah tidak pernah bilang?”
“Karena itu satu-satunya cara menyelamatkan kamu. Ayah tidak tahu... kalau harga yang harus dibayar sebesar ini.”
---
Hari itu, Ratri kembali menemui Ustadz Subhan. Di tangannya, ia membawa sebuah benda yang ia temukan di laci rahasia ayahnya—sebuah kotak kayu hitam, penuh ukiran kuno yang jika dibuka, mengeluarkan bau menyengat seperti bunga melati bercampur darah.
Kotak itu berisi jimat, potongan rambut, sehelai kain merah bertuliskan aksara Jawa kuno, dan sebuah foto dirinya... dengan wajah dicoret-coret darah.
“Ini... warisan perjanjian itu,” ucap Ratri.
Ustadz Subhan menatap kotak itu serius.
“Kita harus mulai bersih-bersih. Tapi bersiaplah, Rat. Mereka akan marah.”
---
Malam itu, angin bertiup tidak wajar di Desa P.
Di pekarangan rumah Ratri, pohon pisang tumbang tanpa angin. Dinding rumah bergetar, dan di kejauhan, terdengar suara tabuhan reog tanpa pemain.
Di kamar Ratri, cermin pecah sendiri. Darah mengalir dari retakannya.
Dan dari kegelapan malam, suara lembut terdengar…
"Ratri… kamu mengingkari janji,"