Mampukah janda muda menahan diri saat godaan datang dari pria yang paling tabu? Setelah kepergian suaminya, Ayana (26) berjuang membesarkan anaknya sendirian. Takdir membawanya bekerja di perusahaan milik keluarga suaminya. Di sana, pesona Arfan (38), paman direktur yang berkarisma, mulai menggoyahkan hatinya. Arfan, duda mapan dengan masa lalu kelam, melihat Ayana bukan hanya sebagai menantu mendiang kakaknya, melainkan wanita memikat yang membangkitkan gairah terpendam. Di antara tatapan curiga dan bisikan sumbang keluarga, mereka terjerat dalam tarik-ulur cinta terlarang. Bagaimana Ayana akan memilih antara kesetiaan pada masa lalu dan gairah yang tak terbendung, di tengah tuntutan etika yang menguji batas?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bangjoe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 7: Dalam Pusaran Terlarang
Ayana masih terpaku, tatapan Arfan mengunci setiap sudut kesadarannya. Sentuhan di punggung tangannya terasa seperti bara, membakar kulit, meresap ke dalam nadi, mengalirkan hawa panas yang aneh. Ia tak pernah merasakan sensasi seintens ini sejak suaminya meninggal.
“Sendirian…” bisik Ayana, suaranya tercekat. Ia nyaris tidak mengenali suaranya sendiri. “Di tengah keramaian… ya, saya merasakannya, Pak.”
Arfan tersenyum tipis, senyum yang tak sampai ke matanya. Ada luka tersembunyi di sana, sesuatu yang Ayana rasa familiar, seperti pantulan cermin dari jiwanya sendiri. Pria itu menggeser tubuhnya lebih dekat, masih memegang tangan Ayana yang kini terasa memanas.
“Kita sama,” kata Arfan, suaranya rendah, nyaris berbisik, namun terdengar begitu jelas di keheningan suite ini. “Sendiri dalam riuh, Ayana. Sendiri dalam tuntutan, dalam harapan orang-orang.”
Kepala Ayana sedikit menunduk. Tangan Arfan kini bergerak naik, dari punggung tangannya, menyentuh pergelangan, lalu naik perlahan ke lengan. Setiap sentuhan terasa seperti janji terlarang, menggoda untuk dilanggar.
“Saya…” Ayana mencoba bicara, namun kerongkongannya tercekat. Kata-kata tertahan, tak sanggup keluar. Ia hanya bisa menatap Arfan, membiarkan mata mereka berbicara bahasa yang lebih tua dari kata-kata.
Arfan menghela napas, napasnya hangat menerpa wajah Ayana. Jarak di antara mereka kini terasa begitu tipis, nyaris tiada. Aroma parfum Arfan yang maskulin, bercampur aroma mint segar, memabukkan indranya. Ia bisa merasakan detak jantungnya sendiri berpacu gila-gilaan.
“Kamu tahu, Ayana,” Arfan melanjutkan, ibu jarinya mengusap lembut lengan Ayana. “Kadang, kita perlu seseorang yang mengerti kesendirian itu. Seseorang yang tidak menghakimi, hanya… memahami.”
Arfan mencondongkan tubuhnya, sedikit demi sedikit, mendekatkan wajahnya pada Ayana. Mata Ayana melebar. Ia tahu apa yang akan terjadi. Ada alarm berteriak di kepalanya, memperingatkan bahaya, mengingatkan ia akan etika, akan posisi Arfan, akan mendiang suaminya, akan Vina.
Tapi entah mengapa, tubuhnya membeku. Kaki-kakinya seperti tertanam di lantai, tak sanggup mundur. Jantungnya berdebar kencang, bukan karena takut, melainkan karena gejolak aneh yang bercampur antara rasa ingin tahu dan… gairah.
Bibib Arfan kini nyaris menyentuh bibirnya. Ayana bisa merasakan embusan napas pria itu yang hangat. Waktu seolah berhenti. Ia menutup mata, setengah menunggu, setengah berdoa agar ini tidak terjadi. Namun di lubuk hatinya yang paling dalam, ada bisikan lain yang justru mengharapkan sentuhan itu.
Kemudian, bibir Arfan menyentuh bibirnya. Lembut. Sangat lembut pada awalnya, seperti sapuan bulu. Ayana terkesiap. Dosa manis itu terasa begitu memabukkan. Ia tidak membalas, namun juga tidak menolak. Hanya membiarkan, terhanyut dalam sensasi asing yang menyerbu seluruh inderanya.
Arfan memperdalam ciuman itu, tangannya yang semula memegang lengan Ayana, kini bergerak ke pipinya, menangkup wajahnya dengan lembut. Jempolnya mengusap sudut bibir Ayana, seolah ingin menghapus keraguan. Rasa manis itu kian pekat, memabukkan Ayana ke dalam jurang yang tak ia kenali.
Ciuman itu semakin menuntut, namun tetap lembut. Ayana merasakan lidah Arfan bermain-main di bibirnya, meminta akses. Dengan jantung yang bertalu-talu, seolah memiliki pikirannya sendiri, Ayana membuka bibirnya sedikit.
Dan saat itu terjadi, seperti aliran listrik, getaran hebat menjalar dari bibirnya, turun ke seluruh tubuhnya. Sebuah desahan tertahan lolos dari bibirnya ketika Arfan membalas dengan ciuman yang lebih dalam, lebih panas, lebih berani.
Ia memejamkan mata, membiarkan dirinya jatuh, terjebak dalam pusaran Arfan yang berbahaya. Ia membalas ciuman itu, perlahan pada awalnya, kemudian dengan gairah yang tak ia duga dimilikinya. Tangannya terangkat, meraih bahu Arfan, mencengkeram kain jas pria itu erat-erat.
Ciuman itu berlangsung lama, terasa seperti keabadian, membakar habis setiap pikiran rasionalnya. Arfan melepaskan ciumannya perlahan, dahi mereka bersentuhan, napas mereka berburu. Matanya menatap dalam mata Ayana, penuh pertanyaan, penuh gairah yang baru saja mereka bagi.
Ayana membuka mata, dunianya terasa berputar. Bibirnya terasa bengkak, panas, dan ada rasa manis yang tertinggal. Ia baru saja melewati batas yang tak pernah ia duga akan ia lewati. Sebuah sensasi bersalah dan keinginan bergejolak bersamaan di dadanya.
Arfan tersenyum, senyum kali ini sampai ke matanya, penuh kemenangan, namun juga kelembutan. “Terima kasih,” bisiknya, suaranya serak. “Untuk memahami.”
Ayana tidak tahu harus menjawab apa. Tubuhnya masih lemas, kakinya hampir tidak bisa menopang berat badannya sendiri. Ia hanya bisa menatap Arfan, menyadari sepenuhnya bahwa ia baru saja bermain api, dan api itu terasa… manis.
Arfan menjauhkan diri sedikit, namun tangannya masih menggenggam tangan Ayana. Ia berjalan menuju meja kopi di suite itu, mengambil cangkir yang tadi mereka gunakan, dan menuangkan air mineral untuk Ayana.
“Minumlah,” katanya, suaranya kembali normal, profesional, namun ada kilatan nakal di matanya. “Kita masih punya beberapa presentasi yang harus disiapkan.”
Ayana mengambil gelas itu dengan tangan gemetar, menenggak air hingga tandas. Ia berusaha menguasai diri, menyembunyikan kekacauan batinnya. Ini salah. Sangat salah. Namun mengapa rasanya begitu benar?
Ia duduk kembali di sofa, Arfan duduk di seberangnya, seolah tidak terjadi apa-apa. Pria itu membuka laptopnya, mengambil beberapa dokumen. Namun mata Ayana masih bisa melihat jejak lipstick samar di bibir Arfan. Sebuah bukti bisu dari dosa yang baru saja mereka lakukan.
Jantungnya masih berdebar, namun kali ini rasa takut mulai menyusup. Vina. Apa yang akan Vina katakan jika tahu? Perusahaan ini, nama baik keluarga mendiang suaminya. Anak-anaknya. Semua ada dipertaruhkan.
Arfan tiba-tiba mengangkat pandangannya. “Ayana, kamu tidak apa-apa? Wajahmu pucat.”
“Tidak… tidak apa-apa, Pak Arfan,” Ayana tergagap. Ia mencoba tersenyum, tapi rasanya seperti topeng yang akan runtuh. “Hanya… sedikit pusing.”
“Perlu istirahat sebentar?” Arfan menawarkan, suaranya penuh perhatian, seolah ciuman barusan adalah ilusi semata. “Atau kita lanjutkan besok pagi saja?”
Ayana menggeleng cepat. “Tidak, tidak. Kita selesaikan sekarang. Saya… saya sudah jauh lebih baik.” Ia harus bersikap normal. Ia harus melupakan apa yang baru saja terjadi. Atau setidaknya, berpura-pura melupakannya.
Mereka melanjutkan pekerjaan. Arfan menjelaskan detail proyek dengan tenang, profesionalisme yang sempurna. Ayana mencoba fokus, mencatat poin-poin penting, bertanya sesekali. Tapi otaknya terus memutar ulang adegan ciuman itu. Sensasi bibir Arfan, sentuhannya, bisikan gairah itu.
Di sela-sela fokusnya yang rapuh, ponsel Ayana bergetar di dalam tasnya. Ia melirik, sebuah pesan dari Vina. “Ayana, kamu masih di kantor? Aku ingin tahu perkembangan meeting hari ini. Jangan pulang terlalu larut, ya. Ada hal penting yang ingin kubicarakan besok.”
Pesan itu seperti tamparan keras. Vina. Adik mendiang suaminya. Kakak iparnya. Ia seperti penjaga moral dalam keluarga ini. Mata Ayana tanpa sadar melirik Arfan yang sedang serius menatap layar laptopnya.
Sebuah rasa bersalah yang menggerogoti mulai mencengkeramnya. Ia baru saja mengkhianati banyak hal dalam satu ciuman terlarang. Bagaimana ia bisa melihat Vina besok? Bagaimana ia bisa berpura-pura?
Ketika pekerjaan akhirnya selesai, jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Arfan menatap Ayana. “Baiklah, sepertinya sudah cukup untuk malam ini. Kamu harus segera pulang, ini sudah larut.”
Ia berdiri, membereskan laptopnya. Ayana ikut berdiri, merasa tegang. Akankah ada lagi? Akankah Arfan membahas apa yang terjadi?
Namun Arfan hanya tersenyum tipis, senyum yang kali ini terasa ambigu. “Hati-hati di jalan, Ayana.”
Ayana mengangguk kaku. “Terima kasih, Pak Arfan. Selamat malam.”
Ia bergegas keluar dari suite itu, seolah melarikan diri dari api. Koridor hotel yang sepi terasa panjang, setiap langkahnya seperti mendorongnya lebih dalam ke jurang penyesalan. Di lobi, ia memanggil taksi daring.
Saat taksi melaju, melintasi jalanan kota yang remang-remang, Ayana memegang bibirnya. Masih terasa sensasi geli, panas, dan manis dari ciuman Arfan. Ia menatap pantulan dirinya di jendela kaca taksi, melihat seorang wanita yang ia kenal, namun kini terasa asing.
Ia telah menyeberang. Garis batas itu telah terlampaui. Dan ia tahu, jauh di dalam hatinya, ini hanyalah permulaan. Sebuah awal yang manis, penuh dosa, dan sangat berbahaya. Ia baru saja menggenggam tangan Arfan, dan kini rasanya ia tak ingin melepaskannya lagi. Tapi bagaimana jika ada yang melihat mereka?
Sebuah notifikasi di ponselnya berbunyi. Kali ini dari grup pesan keluarga. “Ayana, besok jam 10 pagi kita sarapan bersama di rumah. Ibu ingin membicarakan sesuatu yang penting denganmu. Vina sudah menyiapkan semuanya.”
Jantung Ayana mencelos. Sarapan keluarga. Dengan Ibu Mertua dan Vina. Apa yang ingin mereka bicarakan? Dan bagaimana ia bisa menghadapi mereka setelah apa yang terjadi malam ini? Apakah mereka sudah mencium gelagat aneh?
Benar2 membingungkan & bikin gw jd malas utk membaca novel ini lg
Jgn membingungkan pembaca yg berminat utk membaca novel ini