Dalam dunia korporasi yang berputar terlalu cepat, Ethan Solomon Montgomery, Presiden Direktur Montgomery Group, hidup dengan ketenangan yang dirancang oleh keluarga yang membentuknya. Ia tumbuh untuk memimpin, bukan untuk diperintah. Sejak kecil Celine Mattea selalu berdiri di sisinya, perempuan yang mampu masuk ke semua pintu keluarga Montgomery. Celine mencintai Ethan dengan keyakinan yang tidak pernah goyah, bahkan ketika Ethan sendiri tidak pernah memberikan kepastian. Hubungan mereka bukan hubungan lembut yang manis, melainkan keterikatan panjang yang sulit dilepaskan. Persahabatan, warisan masa kecil, ketergantungan, dan cinta yang Celine perjuangkan sendirian. Ketika Cantika, staf keuangan sederhana memasuki orbit Ethan, sesuatu di dalam diri Ethan bergeser. Sebuah celah kecil yang Celine rasakan lebih tajam daripada pengkhianatan apa pun. Ethan dan Celine bergerak dalam tarian berbahaya: antara memilih kenyamanan masa lalu atau menantang dirinya sendiri untuk merasakan sesuatu yang tidak pernah ia izinkan. Ini adalah kisah dua orang yang seharusnya ditakdirkan bersama, tetapi cinta yang bertahan terlalu lama tidak selalu berarti cinta yang benar. Disclaimer: Novel ini adalah season 2 dari karya Author, “Falling in Love Again After Divorce.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Demar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Serena & Celine
Pintu kayu mahoni itu berderit halus saat didorong. Serena masuk perlahan, melangkah hampir tanpa suara, namun insting pria di balik meja itu merasakan kehadirannya sebelum ia mengangkat kepala.
Sean Montgomery, tampan, berwibawa, dan masih mematikan meski usia telah mencuri sebagian kelembutan tekstur kulitnya. Pria itu sedang menatap layar laptop dengan wajah tegang di ruang yang penuh buku, lukisan lama, dan aroma bourbon. Ia tampak seperti raja yang tengah merencanakan langkah besar untuk generasi Montgomery berikutnya.
Namun semua perencanaan itu buyar dalam sekejap ketika suara lembut terdengar dari pintu.
“Papa…”
Sejenak Sean berhenti bernafas, lalu menoleh cepat ke sumber suara.
“Serena…” bisiknya, hampir tidak percaya sebelum tubuhnya bergerak lebih cepat dari pikirannya. Ia melepas kacamatanya, bangkit, dan berjalan dengan langkah lebar menghampiri putrinya. Putri termanis yang pernah ia miliki selama hidupnya.
Belum sempat Serena melangkah lebih dekat, tubuhnya sudah terhimpit dalam pelukan Sean.
“My princess…” suara Sean yang biasanya penuh kuasa pecah, ia mengecup puncak kepala Serena. “Papa merindukanmu.”
Serena memejamkan mata, membalas pelukan itu dengan lembut.
“Aku juga merindukan Papa.”
Sean menariknya ke sofa kulit hitam di samping ruang kerja. Ia duduk namun tidak melepaskan tangan Serena dari genggamannya seakan takut putrinya pergi lagi.
“Bagaimana kabarmu di sana?” tanyanya sembari membolak-balikkan tangan Serena, memperhatikan dengan teliti jemarinya berulang kali.
Sean membeku. Kulit halus yang dulu ia elus setiap malam, kini penuh goresan dan kasar. Matanya seketika memerah.
“Sial…” desisnya rendah, napasnya tersendat oleh amarah. “Aku akan menghancurkan universitasmu. Berani-beraninya mereka membuat putriku melakukan pekerjaan seberat ini.”
Ia buru-buru mengambil ponsel dari kantong celananya. Namun belum sempat layar itu terang, Serena sudah lebih dulu menarik ponsel itu dari tangannya.
“Papa…” tegurnya lembut.
Sean mendongak, matanya menggelap. “Tanganmu… bagaimana Papa bisa membiarkanmu terluka begini?”
“Papa…” Serena menatapnya dengan kelembutan yang bisa menundukkan darah Montgomery terkuat sekalipun. “Aku baik-baik saja.”
“Tidak,” Sean menggeleng keras. “Tidak ada wanita yang ‘baik-baik saja’ tangannya seperti ini.”
Serena menggenggam tangannya, lalu mengangkat kedua telapaknya di hadapan Sean. Ia tersenyum, begitu jernih, tulus, dan menenangkan layaknya air suci di chapel kecil.
“Tangan ini,” katanya pelan, “membawa kehidupan bagi banyak orang. Luka-luka kecil ini adalah bukti bahwa Tuhan menempatkan hidup orang lain di tanganku. Bagaimana mungkin aku tidak bahagia, Papa?”
Kata-kata itu menembus dinding hati terdalam Sean sebagai seorang ayah. Ia menarik Serena ke pelukannya lagi, mengelus punggung putrinya dengan perasaan bergemuruh.
“My princess…” bisiknya parau. Entah kebaikan apa yang pernah ia lakukan di masa lalu hingga diberi putri sebaik ini.
Serena mengusap punggung ayahnya lembut, menenangkan seperti seorang malaikat yang turun ke dunia.
“Jangan khawatir, Papa,” katanya halus. “Aku akan selalu baik-baik saja karena ada Papa yang menjagaku.”
“Dengan nyawaku,” bisik Sean, suara bak sumpah yang akan ia tepati tanpa keraguan.
Suara pintu kembali berderit. Ariana berdiri di sana dengan mata berkaca, penuh keharuan.
“Makan malam sudah siap,” katanya lembut.
Sean dan Serena mengangguk bersamaan. Ariana tersenyum lembut melihat ayah dan anak itu, Serena tampak seperti Ariana muda di pelukan Sean.
Sean tidak melepaskan rangkulannya pada Serena hingga mereka keluar dari ruang kerja. Lengan kekarnya bertengger di bahu putrinya seolah dunia di luar pintu berbahaya.
Ariana bertolak pinggang dengan ekspresi pura-pura merajuk. “Begitu Serena pulang, kau langsung melupakanku,” katanya dengan nada yang dibuat seketus mungkin.
Sean menghentikan langkahnya. Ia melepaskan rangkulan di bahu Serena perlahan, lalu berdiri tegak menghadap istrinya. Sorot matanya berubah intens, mengunci pandangan Ariana tanpa kedip.
“Tidak ada yang bisa menggantikanmu, Sayang.” katanya rendah dan dalam.
Ariana memerah seketika, bibirnya terangkat malu.
“Sean…” protesnya lirih, tapi wajahnya sudah kalah oleh tatapan suaminya.
Tanpa menunggu persetujuan siapa pun, Sean memeluk pinggang Ariana dan mengangkatnya sedikit dari lantai dengan mudah. Ariana terkesiap, kedua tangannya memukul dada Sean ringan.
“Sean, lepaskan… ada Serena.”
Sean hanya tersenyum miring. “Sayangnya aku tidak peduli.”
Nada itu belum berubah, masih penuh klaim kepemilikan seperti dulu.
Serena berdiri di belakang mereka dengan bibir terbuka. Ia memutar bola matanya, menatap kedua orang tuanya dengan campuran geli dan pasrah. Pemandangan yang sudah terlalu sering ia lihat sejak kecil.
“Mereka tidak pernah berubah…” gumamnya pelan.
Masih tidak peduli waktu, tempat, atau siapa pun yang menonton. Sean dan Ariana selalu menemukan peluang untuk mencintai satu sama lain seperti sepasang muda-mudi yang baru jatuh cinta.
Ruang makan Montgomery dipenuhi cahaya lampu kristal yang memantulkan kilau keemasan di sepanjang meja makan panjang yang penuh dengan berbagai jenis makanan. Sean duduk di ujung meja, Ariana di samping kanannya, sementara Serena duduk di sebelah kirinya.
Suara dering bel dari foyer terdengar halus. Beberapa detik kemudian, langkah ringan mendekat membawa aroma lembut yang elegan. Celine muncul dengan gaun elegan yang jatuh sempurna mengikuti garis tubuhnya,
“Malam, Tante, Om,” sapanya anggun. Saat sorotnya menangkap sosok di sebelah Ariana, matanya seketika membesar.
“Serena kau pulang…”
Serena bangkit dari kursinya. “Kak Celine!”
Dalam hitungan detik, kedua gadis itu sudah saling berlari, berpelukan, dan meloncat kecil seperti dua sahabat kecil yang lama tak bertemu. Tawa ceria mereka memenuhi ruangan, tanpa beban meski perilaku ini tidak sesuai standar formal makan malam keluarga Montgomery.
Ariana hanya menggeleng, tersenyum kecil. Sedangkan Sean tetap tenang, seolah tidak melihat apa-apa. Untung saja Florence tidak berada di rumah malam itu. Jika wanita tua itu menyaksikannya, “etika keturunan Montgomery” pasti akan menjadi topik hangat sepanjang malam.
Serena akhirnya melepaskan pelukan itu dengan napas terengah, lalu menoleh ke belakang Celine.
“Kau tidak bersama Kak Ethan?” tanyanya sambil menoleh ke pintu.
Celine tampak bingung. “Tidak, Serena. Ethan tidak membalas pesanku sejak pagi. Aku pikir dia sudah pulang.”
Ariana dan Sean saling bertukar pandang dalam diam, keduanya mengerti watak putra mereka.
Ariana memberi senyum lembut. “Duduklah, Sayang… kita makan malam dulu. Mungkin Ethan sedang sibuk.”
Celine mengangguk pelan, menerima penjelasan itu dengan kepercayaan penuh. Ia menarik Serena duduk bersamanya, menggenggam tangan calon adik iparnya itu akrab.
Begitu Serena duduk, ia langsung menelusuri wajahnya. “Astaga, sebenarnya apa yang kau kerjakan di sana? Lihat ini…” Jemarinya menyentuh bintik halus di pipi Serena. “Beraninya jerawat itu menempati pipi adik kesayanganku.”
Serena terbahak, kecerewetan Celine adalah salah satu hal yang ia rindukan satu tahun ini.
Celine mengembuskan napas dramatis. “Besok kita pergi perawatan. Aku yang traktir.”
"Baiklah, Kakak... kuserahkan penyelesaian jerawat ini padamu." Serena mengangguk pasrah. Ia tahu meski menolak, pada akhirnya hasilnya akan tetap sama.
Ariana melihat interaksi itu dengan mata lembut seorang ibu yang diberi dua putri meski tidak dilahirkan dari rahim yang sama.
Kedua gadis itu…
Menghidupkan kehangatan dalam kesibukan dan dinginnya garis darah Montgomery.
pengorbanan celine terlalu besar hy untuk se ekor ethan...
cepatlah bangkit dan move on celine dan jauh jauh celine jangan terlibat apapun dgn amox apalagi yg didalamnya ada ethan² nya...
mungkin si SEthan merasa bersslah dan ingin bertanggung jawab atas kematian ayahnya Cantika, karna mungkin salah sasaran dan itupun sudah di jekaskan Raga & Rega.
tapi dadar si SEthan emang sengaja cari perkara, segala alasan Cantika punya adik, preettt...🤮🤮🤮
Balas dendam kah?
Siapa Barlex?
Berhubungan dengan ortunya Cantika kah?
Haiisz.. makin penisiriin iihh.. 😅😅🤣🤣
Thanks kk Demar 🤌🏻🤌🏻