Sebuah kumpulan cerpen yang lahir dari batas antara mimpi dan kenyataan. Dari kisah romantis, misteri yang menggantung, hingga fantasi yang melayang, setiap cerita adalah langkah di dunia di mana imajinasi menjadi nyata dan kata-kata menari di antara tidur dan sadar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sunny Rush, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cerita Kita
Bastian terus mencoba mengganggu Nina. Setiap hari, selalu saja ada cara baru. Kadang dengan pura-pura minta pinjam pulpen, kadang sengaja membuat ribut dengan gengnya di kelas. Entah karena iseng atau memang ingin menarik perhatian Nina yang jelas, kelas mereka jarang benar-benar tenang kalau Bastian sudah mulai berulah.
Nina melirik sekilas dari bukunya.
"Awalnya kita gak kenal dan gak akrab, jadi seharusnya gak apa-apa menjauh juga," batin Nina sambil tetap pura-pura fokus membaca.
Di sisi lain, Doni dan Aldo sudah terbiasa dengan kelakuan Bastian. Mereka hanya saling pandang, seolah tahu bahwa sebenarnya Bastian tidak sekadar iseng kali ini.
Saat pelajaran kosong, Aldo datang membawa kantong plastik besar.
"Ini makanannya!" ucap Aldo sambil menaruh empat bungkus nasi di meja belakang.
"Banyak sekali," ucap Doni heran.
"Buat Nina kan satu?" tanya Aldo sambil mengangkat alis ke arah Bastian.
Nina melirik sejenak, pura-pura tak peduli. Bastian menggeser satu bungkus makanan ke arah meja Nina tanpa bicara, hanya menunduk.
Aldo mengetik cepat di ponselnya, mengirim pesan ke grup kecil mereka.
"Seharusnya ini tidak terjadi kan? Dia beneran jatuh cinta? Dia galau gak telponan lagi?"
Doni membalas cepat.
"Kayanya galau." Ia menaruh ponselnya sambil mengunyah.
"Nin, makan!" titah Aldo sambil mendorong bungkus makanan ke arah Nina.
"Thank," jawab Nina singkat, membuka bungkusnya dan mulai makan dengan tenang.
Bastian hanya menatapnya sekilas, senyum tipis muncul di wajahnya — senyum yang disembunyikan di balik gaya santainya.
Beberapa menit berlalu, suasana cukup tenang. Hingga Doni membuka mulutnya, menatap Nina dengan nada iseng,
"Nina, kamu sudah jadian sama Andre?"
Nina langsung terbatuk, tersedak nasi yang belum tertelan. Bastian refleks meraih botol air mineral dan menyodorkannya.
"Minum," ucapnya cepat.
Nina meneguk air itu dengan pelan, masih batuk kecil.
"Kapan?" tanya Nina dengan mata sedikit melebar, masih kaget.
"Berarti gak jadian?" tanya Bastian, kali ini wajahnya terlihat lega nyaris seperti senyum bahagia yang gagal disembunyikan.
"Bukan urusanmu," jawab Nina ketus, menaruh botol air dan kembali menatap ke arah makanannya.
"Aku denger dari yang lain kalian semakin dekat, bahkan sampai peluk-pelukan," ucap Doni sengaja dengan nada menggoda, matanya melirik ke arah Bastian yang mulai berubah ekspresinya.
"Kita memang dekat," jawab Nina santai sambil melanjutkan makan.
"Kapan jadiannya?" tanya Aldo lagi, ikut menambah bensin ke suasana yang mulai panas.
Nina menaruh sendoknya, menatap mereka satu per satu.
"Kalian cowok gak usah kepo. Urus saja urusan kalian, gak usah jadikan cewek jadi bahan taruhan. Sok kegantengan, sok keren," ucap Nina dingin, nadanya menekan, jelas sedang menyindir.
Suasana mendadak hening. Doni dan Aldo saling pandang. Bastian menunduk, wajahnya berubah tidak lagi sombong seperti biasanya.
"Kamu tau kita taruhan?" tanya Doni pelan, suaranya nyaris tak terdengar.
Nina menghela napas pelan, matanya tajam tapi penuh kecewa.
"Aku gak akan terjebak dengan cowok kadal buntung kayak dia. Walau aku jelek, tetap harga diri harus dijaga," jawab Nina santai, tapi setiap katanya seperti pisau yang menembus hati Bastian.
Bastian mengangkat wajahnya pelan, matanya terlihat menyesal.
"Nin, sorry. Aku..."
Nina langsung menatapnya tajam dan mengangkat tangan, memberi isyarat agar dia diam.
"Minta maaflah sama yang lain. Buat video, putar di sekolah, sekalian tuh di sosial media. Biar gak karma gak kena sama anak-anak kamu nanti," ucap Nina sinis, tapi nada suaranya mantap.
Bastian menggigit bibirnya, menatap Nina dalam diam.
"Tapi, kamu akan buka blokir nomor aku kalau aku melakukan itu?" tanya Bastian, ada sedikit harapan di suaranya.
"Bukan urusanku. Lagian lo aneh, ganggu cewek yang kadar cantiknya minus. Tuh, cewek bohay, bahenol, semok, montok masih banyak. Gak usah ganggu gue," ucap Nina tajam.
Bastian justru tersenyum kecil, menatap Nina yang kini menunduk sambil membereskan makanannya.
"Pokoknya aku akan lakukan apa yang kamu suruh," ucap Bastian, nada suaranya lembut tapi penuh tekad.
Nina hanya melirik sekilas, lalu berdiri dan berjalan ke depan kelas tanpa berkata apa-apa lagi.
Sementara itu, Bastian menatap punggungnya yang menjauh dengan ekspresi campuran antara menyesal, kagum, dan takut kehilangan.
Satu minggu berlalu.
Dan benar, Bastian menepati ucapannya.
Di halaman belakang sekolah, bersama Doni dan Aldo, dia menyiapkan ponsel untuk merekam. Matahari sore menyorot wajahnya yang tampak lelah tapi serius tidak ada senyum sombong seperti biasanya.
“Udah siap?” tanya Doni sambil menahan tawa gugup.
Bastian menarik napas panjang.
“Ya, mulai aja. Sekarang atau gak sama sekali.”
Rekaman dimulai.
“Nama gue Bastian .” Suaranya terdengar berat tapi tenang. “Selama ini gue banyak salah, banyak bikin orang sakit hati, terutama cewek-cewek yang pernah gue permainkan.”
Dia menunduk sejenak, kedua tangannya mengepal.
“Gue pikir taruhan itu cuma buat seru-seruan. Tapi ternyata... nyakitin. Gue minta maaf.”
Aldo dan Doni saling pandang, kaget mendengar nada tulus dari suara yang biasanya penuh percaya diri itu.
Bastian melanjutkan, menatap langsung ke kamera.
“Kalau kalian yang pernah gue sakitin nonton ini, gue gak minta dimaafin. Gue cuma pengen kalian tahu, gue nyesel.”
Dia menutup video itu dengan ucapan pendek,
“Mulai sekarang, gak ada taruhan lagi ."
Video itu diunggah ke sosial media sekolah oleh Doni malam itu juga.
Dan pagi harinya... sekolah geger.
Beberapa cewek yang pernah jadi “korban” datang menghampiri Bastian di lapangan. Ada yang marah, ada yang menampar pelan, ada juga yang hanya diam dengan air mata menetes.
Tamparan demi tamparan mendarat di pipinya bukan keras, tapi cukup untuk membuat satu sisi wajahnya memerah.
Namun, Bastian tidak menghindar. Tidak satu pun.
Dia hanya berdiri di sana, menerima semuanya dengan kepala tegak dan tatapan kosong.
Doni yang berdiri di sampingnya hanya bisa menepuk bahu sahabatnya pelan.
“Lo serius ya kali ini, Bas?”
Bastian hanya mengangguk. “Gue harus. Gue janji sama dia.”
Hari itu, semua orang membicarakan keberanian Bastian. Ada yang bilang dia cari perhatian, ada yang bilang dia berubah. Tapi hanya satu orang yang tahu alasan sebenarnya Nina.
Di kelas, Nina duduk di bangkunya sambil mendengarkan bisik-bisik teman-teman sekelas tentang video itu.
Tangannya berhenti menulis, matanya menatap kosong ke arah papan tulis.
Bastian masuk ke kelas beberapa menit kemudian. Wajahnya masih tampak bengkak di pipi kiri.
Semua mata langsung tertuju padanya. Beberapa cewek yang dulu benci padanya kini malah berbisik lirih, merasa iba.
Dia melangkah pelan ke bangkunya — tepat di samping Nina.
Hening.
Nina tetap pura-pura sibuk membuka buku catatan, tapi matanya sempat melirik sekilas ke wajah Bastian.
Wajah itu penuh luka... tapi bukan luka fisik yang paling terlihat.
Bastian menatap ke depan, lalu berbisik pelan, suaranya serak.
“Aku udah lakuin semua, Nin.”
Nina menelan ludah. Suaranya pelan tapi dingin.
“Dan apa yang kamu dapetin dari semua itu?”
Bastian tersenyum kecil, tapi matanya menunduk.
“Tenang. Entah kenapa... rasanya kayak lebih ringan.”
Nina tidak menjawab. Dia hanya menghela napas pelan, lalu menutup bukunya.
“Ya, setidaknya kamu tahu rasanya minta maaf itu gak semudah ngomongnya.”
Bastian menatap Nina lama, dalam.
“Aku gak peduli orang lain percaya atau enggak, tapi aku beneran minta maaf sama kamu juga.”
Nina menatapnya sekilas, matanya redup tapi tetap tajam.
“Gue bukan korban lo, Bastian. Gue cuma orang yang kesal saja lihat kelakuanmu itu."
Hening kembali menyelimuti antara mereka.
Sampai akhirnya bel masuk berbunyi, dan Bastian hanya bisa tersenyum samar.
“kesel ya ?! berarti kalau gue berubah, apa lo akan nerima gue jadi pacar lo ?"
Nina hampir tersenyum, tapi buru-buru menunduk, menahan ekspresi itu agar tidak terlihat.
Dia tahu, mungkin Bastian benar-benar menyesal. Tapi rasa percaya itu yang belum bisa dia kasih kembali.
Namun sore itu, saat Nina pulang, ponselnya bergetar.
Nomor tak dikenal.
Pesan masuk.
“Gue gak ganggu lagi. Cuma mau bilang, makasih udah bicara lagi sama aku ." Bastian.
Nina menatap layar ponselnya lama, lalu menutupnya pelan.
Senyum kecil muncul di sudut bibirnya, bukan karena cinta, tapi karena lega.
Setidaknya, satu orang berubah — bukan karena taruhan, tapi karena luka.