Karena sering dibuli teman kampus hanya karena kutu buku dan berkaca mata tebal, Shindy memilih menyendiri dan menjalin cinta Online dengan seorang pria yang bernama Ivan di Facebook.
Karena sudah saling cinta, Ivan mengajak Shindy menikah. Tentu saja Shindy menerima lamaran Ivan. Namun, tidak Shindy sangka bahwa Ivan adalah Arkana Ivander teman satu kelas yang paling sering membuli. Pria tampan teman Shindy itu putra pengusaha kaya raya yang ditakuti di kampus swasta ternama itu.
"Jadi pria itu kamu?!"
"Iya, karena orang tua saya sudah terlanjur setuju, kamu harus tetap menjadi istri saya!"
Padahal tanpa Shindy tahu, dosen yang merangkap sebagai Ceo di salah satu perusahaan terkenal yang bernama Arya Wiguna pun mencintainya.
"Apakah Shindy akan membatalkan pernikahannya dengan Ivan? Atau memilih Arya sang dosen? Kita ikuti kisahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Buna Seta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
"Sial! Kenapa tuh si cupu makan bareng sama dosen? Dasar wanita tidak bisa menjaga kehormatan. Sudah punya suami tapi senyum-senyum gitu sama pria lain!" Arkan menyembulkan kepala di pintu, hatinya bergemuruh melihat tingkah istrinya.
Puk!
Arkan menoleh cepat ketika pundaknya ada yang menepuk dari belakang. Ternyata Marsel orangnya. Marsel penasaran lalu ikut melihat ke dalam kelas.
"Hahaha... Loe cemburu kan? Hahaha..." Marsel tertawa lebar hingga menahan pipis. Sahabatnya itu sok angkuh kepada Shindy, tapi ternyata cemburu.
"Diam loe!" Arkan tidak mau tawa Marsel di dengar dari dalam lalu menariknya ke kantin.
"Tapi beneran kan, loe cemburu sama Shindy?" Cecar Marsel.
"Dih, mana mungkin gua cemburu sama Dia. Lagian kan gue sudah punya bini" Arkan menoyor kepala Marsel.
"Terus kenapa loe nggak kenalin bini loe ke gue?" Marsel merasa curiga. Selama ini Arkan selalu blak-blakan kepadanya tentang apapun. Bahkan masalah yang sangat pribadi, tapi tentang siapa istri Arkan, mengapa temanya itu sengaja merahasiakan.
"Nanti kalau sudah waktunya gue kenalin" Arkan mencari kursi kosong lalu melambaikan tangan ke penjual. Siang ini ia memesan nasi rames, karena sejak pagi belum sarapan.
"Jangan-jangan bini loe itu Shindy" tebak Marsel.
Pletak!
Arkan menyentil dahi Marsel, untuk menutupi rasa kagetnya. Ia tidak menyangka jika Marsel bisa menebak.
"Sakit kampret" Marsel mengusap dahinya.
Perdebatan pun berhenti ketika dua wanita menghampiri mereka.
"Hai Ar?" Dua wanita berdiri di depan Arkan dan Marsel.
"Hai" Marsel yang menjawab.
Sementara Arkan memang selalu cuek bila disapa wanita. Apa lagi seperti dua wanita yang sudah di hadapannya. Salah satu dari mereka yang bernama Soraya bintang kampus dan banyak disukai pria. Namun, Soraya selalu mengejar-ngejar Arkan dan pak Gun. Dandananya sangat mencolok, pakaian glamor, rambut dicat pirang dan dibiarkan terurai. Tangannya sibuk menyibak rambutnya ke belakang, cantik memang, begitu juga dengan sahabat Soraya yang bernama Claudia.
"Beleh kami bergabung?" Tanya Soraya tersenyum manis.
Arkan tidak menjawab, pandanganya tertuju ke arah Shindy bersama Dila yang berjalan ke kantin.
"Ayo Soraya... segera duduk" Tiba-tiba saja Arkan mengait pergelangan tangan Soraya agar duduk di sebelahnya. Tentu saja Soraya tersenyum lebar. Selama tiga tahun harus bersaing dengan teman-teman untuk mendekati Arkan, tapi baru kali ini Arkan menyambutnya.
"Kamu mau pesan apa Aya? Pesan yang banyak, nanti aku traktir" ucap Arkan, suaranya sengaja dibuat agak kencang agar Shindy yang melintas di depannya mendengar.
Marsel yang duduk di sebelah Arkan mengangkat alis, kaget dan bingung dengan sikap sahabatnya. Marsel rupanya tidak paham bahwa Arkan sengaja memanas-manasi Shindy.
Tetapi Shindy cuek saja lalu meletakkan bokongnya di kursi sebelah Dila.
Plok plok plok.
Soraya dan Claudia tidak mau menyia-nyiakan kesempatan itu, lalu memesan makanan yang paling mahal dan enak.
"Hai Cupu, kamu duduknya sanaan gih, ganggu kita-kita saja!" usir Soraya sembari menggerakkan telapak tangan seperti orang jijik.
"Siapapun yang duduk di kantin ini bebas memilih kursi Dek, karena tidak ada perbedaan kelas" Dila yang menjawab sopan tetapi menyinggung.
Soraya berpaling ke arah Dila, seketika diam. Dia sampai lupa jika Shindy bersama istri pemilik kampus. Semua tahu, jika sampai ketahuan ada siswa yang membuli teman-teman tidak segan-segan Tristan mengeluarkan pelaku dari kampus nya tidak pandang bulu.
"Biar saja Kak Dila, kita pindah ke sebelah sana saja, yuk" Shindy menunjuk kursi kosong. Bukannya takut kepada Soraya, tapi Shindy lebih baik menjauh dari Arkan dan tiga orang lainnya. Shindy ingin Dila makan dengan tenang. Sebab, saat ini tengah hamil muda. Sebenarnya tujuan Shindy ke kantin hanya karena Dila minta ditemani.
Sementara Arkan semakin kesal, niatnya untuk membuat Shindy cemburu, tapi justru ia yang rugi. Pasalnya harus membayar pesanan dua orang wanita yang sedang makan dengan rakus. Ngaku orang kaya tapi seperti wanita kelaparan. Padahal saldo rekening Arkan sudah menipis dan kena ultimatum oleh sang papa pula.
Arkan menarik dompet dari saku lalu menarik uang berwarna merah, kemudian meletakkan di atas meja depan Soraya dan Claudia. "Habiskan makanan ini, terus kamu bayar" ucap Arkan lalu beranjak.
"Arkan, jangan pergi" Soraya hendak mencegah Arkan tapi sudah menjauh.
Jam kuliah terakhir pun masuk, diisi oleh ibu Fitri, dosen senior di kampus tersebut dan usianya sudah 50 tahun. Selesai mengajar, kemudian pulang diikuti siswa.
"Sampai jumpa besok Kak Dila..." ucap Shindy ketika Dila sudah masuk ke dalam mobil. Di dalam, Tristan yang menjemput sudah menunggu.
"Sampai besok Shy..."
Shindy tersenyum ketika menatap Dila yang melambaikan tangan ke arahnya, dari jendela kaca yang masih terbuka. Mobil Tristan pun menjauh hingga menghilang di pandangan Shindy.
Shindy berjalan santai menuju stasiun yang berada di seberang jalan. Naik kereta pilihan yang paling tepat bagi Shindy. Selain ekonomis juga tidak terlalu lama menunggu. Tidak seperti angkutan yang saat ini sudah mulai ditinggalkan oleh para supir kebanyakan. Shindy cuek saja ketika mobil dan motor mewah mendahuluinya meninggalkan kampus.
Ketika tiba di seberang jalan, klakson motor dibunyikan dengan kencang oleh pengendara yang melintas.
Shindy menoleh si pengendara, walaupun tidak membuka helm tapi postur tubuhnya sangat Shindy kenal.
"Ngapain?" Tanya Shindy ketika pria itu mengangkat helm bagian depan.
"Naik!" Perintahnya satu kata tapi memaksa.
"Tidak mau" Shindy menolak tegas, lalu melanjutkan perjalanan.
Klakson terdengar lebih kencang dan cepat, mau tak mau Shindy menoleh.
"Mau naik tidak, atau kamu sengaja janjian dengan dosen?" Tanya Arkan menuduh.
Shindy yang sudah menjauh beberapa langkah pun balik lagi. "Saya mau naik kereta saja, sebaiknya kamu ke kantor. Memang tidak ingat pesan Papa" Shindy ingin Arkan menuruti kata-kata papa.
"Kamu tidak usah ikut ngatur" Arkan tidak terima dinasehati. Suami istri itu pun akhirnya cekcok mulut, keduanya sama-sama mempertahankan ego. Wajar saja usia mereka masih sama-sama muda yakni 21 tahun.
Hingga motor yang dikendarai pria lain pun ikut berhenti. Pria 30 tahun itu membuka helm menatap Shindy dan Arkan. "Kalian ini tidak mencerminkan seorang mahasiswa. Masa... bertengkar di pinggir jalan" Pak Wiguna berhak menegur karena masih di lingkungan kampus.
"Saya mengerti Pak" Shindy menyadari kesalahannya, apa lagi saat ini ia istri Arkan, walaupun Arkan memang menyebalkan.
"Kamu Arkan, coba sekali saja tidak memancing kemarahan Shindy" Lanjut pak Gun karena sering melihat dua siswa itu bertengkar.
Arkan sama sekali tidak menjawab.
"Shindy... sebaiknya kamu saya antar pulang" titah pak Wiguna, lalu menarik pantatnya maju agar Shindy segera membonceng.
Mendengar ajakan pak Gun, mata Arkan melebar.
...~Bersambung~...
mengerti kaan yaaaaa?
laah dia nekaad, kenapa nda di kasih KOid ajaa siiih