Asila Angelica, merutuki kebodohannya setelah berurusan dengan pemuda asing yang ditemuinya malam itu. Siapa sangka, niatnya ingin menolong malah membuatnya terjebak dalam cinta satu malam hingga membuatnya mengandung bayi kembar.
Akankah Asila mencari pemuda itu dan meminta pertanggungjawabannya? Atau sebaliknya, dia putuskan untuk merawat bayinya secara diam-diam tanpa status?
Penasaran dengan kisahnya? Yuk, simak kisahnya hanya tersedia di Noveltoon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ika Dw, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29. Tersulut Emosi
"Ayo sayang, kita masuk. Kamu pilih sendiri mana yang kamu suka ya? Daddy kan nggak tahu selera kamu," celetuk Edgar sesampainya di toko elektronik.
Mereka berdua masuk ke dalam toko dengan Edgar meminta Dylan untuk memilih apa saja yang diinginkannya. Dia sudah berjanji akan memenuhi apapun yang diinginkan, dan kini dia bebaskan anak laki-lakinya itu untuk berbelanja.
"Wah, banyak banget," gumamnya kagum.
Bocah itu nampak begitu kegirangan. Baru sekali ini masuk ke toko elektronik, dan ternyata banyak hal yang didapatinya. Ia bingung, hendak memilih tapi ia takut uang yang dimiliki oleh Edgar tak cukup untuk membelikannya sebuah Playstation.
"Kurasa barang-barang di sini sangat mahal. Aku hanya takut uangmu tak cukup untuk membelinya," jawabnya sengaja menyinggung sang ayah. Dia masih belum sepenuhnya menerima Edgar sebagai ayah plus temannya. Selama Edgar belum memenuhi semua syaratnya ia tak mudah untuk memberinya maaf.
"Apa maksudmu bicara seperti itu? Seolah-olah kau tengah meremehkanku hum?"
"Ya bisa dibilang begitu. Bagaimana aku bisa mempercayaimu begitu saja, orang kita masih baru kenal. Bahkan masa lalumu terlalu buruk untuk dikenang. Di sini aku hanya memastikan kalau uangmu cukup untuk membelikanku sebuah mainan. Kalau nggak cukup memangnya kau mau menghutang?"
Bola mata Edgar terbelalak mendengar celotehan yang keluar dari mulut anak laki-lakinya, yang dihadapinya kali ini bukan sekedar bocah kecil berusia lima tahun. Dia akui ternyata otaknya sangat cerdas. Awalnya ia tak percaya bocah sekecil itu bisa mengendalikan sistem kerja hingga membuatnya mengalami kerugian yang lumayan besar, tapi dilihat dari cara bicaranya yang songong membuatnya percaya bahwa bocah itu memang tidak bisa diremehkan.
"Udah tenang aja! ayo pilih saja mana yang kamu suka. Uang Daddy gak akan habis untuk membeli sepaket PS untukmu."
"Oh..., begitu ya? Yaudah deh, kalau gitu aku mau pilih sendiri."
Dengan sangat antusiasnya Dylan mulai memilih mana barang yang sesuai dengan keinginannya. Di situ Edgar hanya mengikutinya di belakang, takut bocah itu tiba-tiba kabur saat ia lengah.
Mendadak seorang laki-laki tiba-tiba menepuk pundaknya dan membuatnya terkejut. Edgar menoleh dan mendapati sahabat lamanya berada di tempat yang sama.
"Edgar! Kamu ada di sini juga rupanya? Kok bisa kebetulan sekali kita ketemu di sini."
"Oh, kamu rupanya. Aku pikir siapa? Mengagetkan saja! Sedang apa kau di sini?"
"Em..., ini aku mau beli televisi baru. Televisi lamaku sudah tak layak pakai. Kalau kamu sendiri lagi borong apa?"
Danu, pria yang dikenalnya beberapa tahun yang lalu kini menjadi sangat akrab setelah menjalin hubungan kerja sama dengannya. Edgar sendiri juga sering datang ke rumah pria itu kala ada waktu senggang, bahkan dia juga beberapa kali menginap di rumahnya.
"Ini aku lagi nganterin anakku beli Playstation. Aku suruh dia pilih sendiri, nanti kalau aku yang milih takutnya nggak cocok."
Kening Danu mengkerut terkejut. "Anak? Memangnya kamu sudah memiliki anak? Kapan nikahnya? Kok aku nggak tahu kalau kamu sudah nikah? Bukannya kamu itu masih lajang? Nikah sama siapa emangnya?"
Pria itu nampak begitu kecewa karena dia berkeinginan ingin menjodohkan Edgar dengan adik perempuannya. Ia butuh waktu yang tepat untuk memberikan penjelasan mengenai adik perempuannya yang diam-diam telah menyukainya, tapi kini ia dibuat terkejut dengan pengakuan bahwa temannya itu sudah berumah tangga. Bagaimana ia bisa meyakinkan adik perempuannya itu agar tidak lagi berharap terlalu banyak untuk bisa bersanding dengan pria yang disukainya?
"Em..., sorry, aku memang tidak pernah bilang ke kamu kalau sebenarnya aku udah nikah. Maaf aku tidak mengundangmu ke acara nikahanku. Istriku tak mau pernikahan yang mewah, cukup ijab qobul saja, nggak ada resepsi kok."
"Terus kenapa kamu nggak pernah cerita kalau udah punya istri dan anak. Lantas kenapa juga kamu sering main ke rumahku sampai menginap. Apa anak dan istrimu tak mencarimu?"
Rasa simpatinya berubah menjadi kekecewaan. Sudah berteman bertahun tahun tapi tak ada kejujuran. Bukan maksudnya terlalu ingin tahu kehidupan Edgar, tapi masalahnya adik perempuannya terlanjur menyukai pria itu, sedangkan adiknya dalam kondisi pemulihan mental setelah mengalami depresi berat.
"Waktu aku datang ke rumahmu aku hanya ingin mencari teman, aku kesepian, anak istriku kan lagi liburan ke luar negeri, jadi aku pikir nggak ada salahnya kalau keluar buat cari teman. Sorry kalau aku nggak pernah cerita mengenai rumah tanggaku, karena aku rasa itu tak terlalu penting."
"Oh...., jadi seperti itu? Aku pikir kamu masih jomblo."
Edgar terkekeh. "Jomblo apaan? Aku udah punya dua anak kok, satunya nggak ikut, dia lagi sakit."
Edgar terpaksa berbohong demi kebaikan anak-anaknya. Dia tidak ingin semua orang menjudgenya buruk, apalagi sampai menyerang mental anak-anaknya, toh tak lama lagi ia juga akan menikahi Asila.
"Sebenarnya aku ada keinginan untuk menjadikanmu iparku. Kamu tahu kan..., Siska adikku itu suka sama kamu, hanya saja dia malu untuk mengungkapkan perasaannya. Dia ingin aku memberitahumu mengenai perasaannya, dia juga ingin kamu datang untuk membesuknya. Kalau ada waktu tolong datanglah ke rumah dan temui dia. Mungkin dengan kedatanganmu rasa rindunya terobati."
Edgar menghela nafas. Haruskah ia datang untuk menemui wanita itu? Lalu bagaimana dengan perasaan Asila.Walaupun Asila belum menyukainya tapi ia memiliki tanggungjawab besar untuk menikahinya. Di sisi lain Siska juga baik padanya. Ia tak pernah tahu gadis itu menyukainya. Ia bahkan menganggapnya sebagai adik sendiri. Tidak mungkin juga ia masa bodoh dengan perasaannya. Jika ia tak datang mungkin gadis itu bakalan kecewa, dan akan berpengaruh terhadap mentalnya.
Diam-diam Dylan mendengar obrolan mereka. Dia memang fokus melihat barang-barang di toko itu, tapi telinganya masih bisa mendengar dengan jelas bagaimana pria itu membujuk ayahnya.
"Gar, kamu nggak keberatan kan, menemui Siska? Kalau aku sendiri yang bilang tentu dia tidak akan percaya bahwa kamu sudah beristri. Bukannya aku ingin membuatmu berpisah dari istrimu, tapi aku hanya kasihan saja melihat adikku. Kamu tahu kondisi adikku seperti apa Gar? Dia butuh suport. Setidaknya kamu temui dia biar hatinya lega. Tapi kalau bisa, usahakan kalau dia tidak kecewa karena akan berdampak buruk pada mentalnya."
Edgar menarik nafas panjang dengan tatapan tertuju pada anak laki-lakinya. Haruskah ia mengecewakannya? Anak-anaknya mulai dekat dengannya, haruskah ia membuat mereka kecewa dan kembali menjauhinya? Di sisi lain ia sudah berjanji untuk segera menikahi Asila. Untuk memberikan alasan yang tepat ia harus bisa meyakinkan sahabatnya bahwa dirinya benar-benar tidak ada waktu untuk menemuinya.
"Danu, untuk sementara ini aku masih nggak ada waktu untuk berkunjung ke tempatmu. Aku terlalu sibuk dengan pekerjaanku. Tentunya kamu tahu sendiri aku selalu disibukkan dengan banyaknya pekerjaan. Selain itu aku punya kewajiban untuk menjaga anak-anakku. Tolong mengertilah."
Danu tahu apa yang ada dipikiran Edgar, tapi posisinya juga serba salah. Jika ia tak menuruti keinginan adik perempuannya, maka akan berdampak buruk pada kesehatannya.
"Oh..., ayolah Edgar! Luangkan waktumu sebentar saja untuk menjenguk Siska. Dia sangat baik padamu, dia sangat tulus mencintaimu. Kenapa kamu tega sekali padanya? Aku tidak memintamu untuk menikahinya, aku hanya ingin kamu datang sebentar saja untuk menjenguknya. Kedatanganmu sangat membantu penyembuhan mentalnya."
"Nggak perlu!!"
Tolakan itu bukan dari Edgar, tapi Dylan. Bocah kecil itu mendekat dan menatap jengkel pada Danu. Dia melayangkan kata-kata yang cukup menohok untuk memberinya pengertian.
"Om, bisa nggak punya perasaan sedikit saja. Kenapa Om memaksa Daddy buat temui cewek lain? Apa adiknya Om itu sudah nggak laku sampai om tawar-tawarkan ke Daddy ku? Om punya otak nggak sih, di sini ada anaknya dan om coba-coba merayunya. Om sudah tua kan? Seharusnya om bisa menjadi contoh yang baik buat anak-anak seusiaku. Lagian Daddy nggak akan menikah dengan wanita manapun! Kalau om masih nekat membujuk Daddy untuk bertemu dengan adiknya om, lihat saja apa yang bakal kulakukan padamu!"
Edgar langsung menjauhkan Dylan yang kini berada tepat di depan Danu. Ia tidak ingin Danu emosi dan bertindak kasar terhadap putranya.
"Dylan, tolong jaga sikapmu!"