Ketika perang abadi Alam atas dan Alam bawah merembes ke dunia fana, keseimbangan runtuh. Dari kekacauan itu lahir energi misterius yang mengubah setiap kehidupan mampu melampaui batas dan mencapai trensedensi sejati.
Hao, seseorang manusia biasa tanpa latar belakang, tanpa keistimewaan, tanpa ingatan masa lalu, dan tumbuh dibawah konsep bertahan hidup sebagai prioritas utama.
Namun usahanya untuk bertahan hidup justru membawanya terjerat dalam konflik tanpa akhirnya. Akankah dia bertahan dan menjadi transeden—sebagai sosok yang melampaui batas penciptaan dan kehancuran?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Slycle024, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kehidupan manusia biasa bagian 1
Pagi Hari, di sebuah rumah sederhana, sinar matahari mulai menelan kegelapan, suara ayam jantan menggema di sudut-sudut desa, Hao perlahan membuka mata. Ia mendapati dirinya berbaring di atas sebuah ranjang sederhana namun hangat. Sebuah perasaan asing menyelimutinya—biasanya, di hutan iblis, ia hanya tidur beralaskan jerami.
Matanya menyapu ruangan yang asing namun terasa hangat dan nyaman. Saat itulah pintu kamar berderit terbuka. Seorang wanita dewasa melangkah masuk. Wajahnya lembut, cantik, dan penuh kehangatan. Ia mendekat, lalu duduk di sisi ranjang. Senyum tipis dan hangat menghiasi bibirnya, meski sorot matanya menyimpan sesuatu yang sulit ditebak.
“Ini…dimana?” gumam Hao penuh rasa ingin tahu.
Wanita itu terdiam sejenak. Ia menghela napas panjang, lalu mengulurkan tangan, mengusap kepala anak itu dengan lembut tanpa menjawab, “Mereka ingin kami merawatmu, siapa namamu?”
Hao mengangkat wajahnya menatap wanita itu, setelah tidak merasakan niat tersembunyi, ia menghela nafas, “ Hao, itu namaku”
“Baiklah, mulai sekarang namamu Zhang Hao.” ucapnya lembut, “Kamu bisa memanggil Ibu Fei mulai sekarang.”
Ia berhenti sejenak, seakan memilih kata-kata yang tepat, lalu tersenyum tipis, “Istirahatlah untuk hari ini. Biasakan diri dengan lingkungan baru.”
Tanpa menunggu jawaban, wanita itu perlahan bangkit berdiri, lalu melangkah keluar. Kemudian pintu kamar menutup dengan lembut.
----
Siang hari, di dalam kamarnya, Hao merasa tubuhnya kepanasan. Ia akhirnya membuka pintu dan keluar dari kamar.
“Kakak, kamu akhirnya keluar!” teriak seorang gadis kecil berusia empat tahun sambil berlari menghampirinya.
Hao tertegun melihat perubahan di sekelilingnya. Namun, melihat wajah ceria gadis kecil itu, hatinya perlahan melunak. Ia mengangkat tangannya dan mengusap lembut kepala gadis itu.
“Adik kecil, Siapa namamu?” tanya Hao dengan suara tenang.
“Zhang Mei,” jawab gadis kecil itu polos. Tangannya lalu menyodorkan sebuah kantong penyimpanan. “Ini uang saku dari Ibu. Katanya, terserah Kakak mau dipakai apa.”
Zhang Mei kemudian menunjuk ke arah meja makan. “Kalau Kakak lapar, di sana ada makanan.”
Hao menerima kantung itu dengan lembut, kemudian berjalan keluar menuju teras. Angin segar menyambutnya. Dari sana, ia menatap pemandangan desa yang mirip dengan desa yang pernah ia amati dari kejauhan di masa lalu. Setelah itu, ia mengajak Zhang Mei makan bersama.
Di meja makan, Zhang Mei mulai menyantap makanannya dengan pelan. Hao memperhatikan cara makannya, lalu secara alami menirukan. Keduanya menikmati makanan dengan tenang.
Usai makan, Hao bertanya, “Ibu Fei, pergi ke mana?”
Zhang Mei menjawab riang, “Ayah dan Ibu pergi ke pasar. Katanya mau membeli dan menjual beberapa harta. Mungkin baru pulang sore nanti.”
“Jadi Ayah dan Ibu seorang kultivator?” tanya Hao.
Zhang Mei mengangguk penuh semangat. “Yap! Ibu sangat kuat!” Ucapannya disertai gestur kecil seperti menirukan adegan pemukulan, seolah sedang menggambarkan ibunya yang menghajar ayahnya.
Hao hanya tersenyum tipis. “Kalau begitu… bagaimana kalau kita pergi jalan-jalan?”
“Tidak punya uang,” keluh Zhang Mei dengan wajah kesal.
Hao lalu mengeluarkan koin emas dari kantung yang tadi diberikan padanya. “Apakah ini uang?”
Mata Zhang Mei langsung berbinar. “Benar! Itu koin emas. Satu koin saja bisa membeli banyak sekali cemilan!”
“Kalau hanya untuk membeli cemilan, berapa banyak uang yang harus dibawa?” tanya Hao.
“Lima koin emas sudah cukup, Kak,” jawab Zhang Mei cepat.
“Kalau harga buku-buku? Biasanya berapa?” tanya Hao lagi.
Zhang Mei terdiam sejenak, merenung. “Hmm… kurang tahu, Kak. Tapi biasanya yang paling murah harganya satu koin emas.”
Mendengar itu, Hao mengangguk paham. Ia kemudian mengajak Zhang Mei berkeliling desa.
Sepanjang perjalanan, ia membiarkan adiknya itu membeli apapun yang ia inginkan. Zhang Mei dengan senang hati memilih cemilan dan barang-barang kecil, sementara Hao sendiri lebih banyak membeli buku—sejarah, aturan di dunia fana, juga buku-buku tentang kehidupan manusia fana. Hanya satu hal yang ia hindari: buku romantis ataupun yang berkaitan dengan hubungan lawan jenis, karena menurutnya tidak berguna.
---
Sore itu, Hao berjalan beriringan dengan adiknya melewati halaman desa. Beberapa anak sebaya sedang bermain lompat tali sambil tertawa riang.
Melihat mereka, mata Zhang Mei berbinar. Ia menoleh pada kakaknya. “Kak San, bolehkah aku ikut bermain?”
Hao tersenyum lembut. “Pergilah. Aku akan menunggu di sini.”
Dengan langkah ringan, Zhang Mei menghampiri mereka. “Halo, boleh aku ikut main?” tanyanya dengan senyum polos.
Anak-anak itu saling tatap. Seorang anak perempuan yang memegang tali tersenyum tipis. “Eh… maaf , tapi sudah penuh, mungkin lain kali ya.”
Zhang Mei terdiam, menoleh ke anak-anak lain, tidak ada yang benar-benar mengajaknya.
“Kalau begitu… bagaimana kalau aku yang pegang talinya?” tawar Zhang Mei dengan hati-hati.
Namun anak laki-laki di sampingnya cepat-cepat berkata, “Tidak usah. Kami sudah bergiliran. Kau… coba tunggu saja, ya.”
Permainan berlanjut. Tawa riang mereka memenuhi udara, tapi tak seorang pun menoleh lagi ke arah Zhang Mei. Gadis kecil itu berdiri di pinggir, memeluk lututnya, senyum di bibirnya perlahan memudar.
Dari kejauhan, Hao memperhatikan dengan mata yang tenang, meski ia sama sekali tidak peduli dengan permainan aneh itu. Ia berjalan mendekat, lalu menepuk kepala Zhang Mei dengan lembut. “ Mari pulang, ayah dan Ibu harusnya sudah kembali.”
---
Matahari mulai tenggelam, langit desa dipenuhi warna jingga keemasan. Dari kejauhan, kedua orang tua angkat akhirnya pulang membawa barang kebutuhan.
Zhang Mei segera berlari, memeluk ibunya. “Ibu! Ayah! Hari ini bawa hadiah apa?”
Ibu Fei tersenyum, menepuk lembut kepala putrinya. Pandangannya lalu beralih ke Hao. Tanpa banyak kata, Hao hanya membalas dengan sebuah anggukan tenang. Lalu, mereka masuk kedalam rumah.
---
Siang dan malam terus berganti, tanpa di sadari waktu terus mengalir.
Tahun ini, Zhang Hao genap berusia sepuluh tahun tahun. Selama waktu ini, Ia hanya berusaha memahami cara hidup di pemukiman manusia, satu minggu sekali mengajak adiknya berbelanja, dan setiap bulan mengikuti ayahnya mengenal lingkungan baru.
Ayah angkatnya bernama Zhang Feng, yang merupakan anak dari kepala keluarga sebelumnya. Ia lahir dari seorang wanita yang memiliki status rendah, sehingga keberadaannya hampir tidak dianggap penting di kediaman utama. Setelah terjerat kasus dan beberapa kali pembunuhan, ia memilih meninggalkan rumah utama dan menetap di desa terpencil.
Ibu angkatnya bernama Fei Yin, keluarganya hancur, Ia ditangkap, dan akan di dijual ke rumah bunga. Karena takdir, akhirnya mereka bertemu dan menikah.
Namun, berkat kecerdikan mereka dalam menjalankan bisnis perdagangan dan harta yang diberikan sebagai biaya perjanjian merawat Hao. Mereka tak pernah kekurangan makanan ataupun pakaian.
Hao tumbuh cerdas dan pengertian. Ia lebih banyak membaca buku atau menemani adik perempuannya. Jarang ia berbincang dengan ayah dan ibu angkatnya. Namun , setiap malam, ia sering melihat keduanya diam-diam masuk ke kamarnya, menyelipkan serta merapikan buku-buku yang berserakan.