Isabella bersandar dengan anggun di kursinya, tatapannya kini tak lagi fokus pada steak di atas meja, melainkan sepenuhnya pada pria di hadapannya. Ia menguncinya dengan tatapannya, seolah sedang menguliti lapisan demi lapisan jiwanya.
"Marco," panggil Isabella, suaranya masih tenang namun kini mengandung nada finalitas absolut yang membuat bulu kuduk merinding.
"Ya, Bos?"
Isabella mengibaskan tangannya ke arah piring dengan gerakan meremehkan.
"Lupakan steaknya."
Ia berhenti sejenak, membiarkan perintah itu menggantung, memperpanjang siksaan di ruangan itu. Matanya yang gelap menelusuri wajah Leo, dari rambutnya yang sedikit berantakan hingga garis rahangnya yang tegas.
"Bawa kokinya padaku. Besok pagi."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mr. Nanas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Meracik Balas Dendam
Fajar di Jakarta tidak pernah benar-benar sunyi, tetapi di antara puing-puing The Alchemist's Table, keheningan terasa memekakkan. Cahaya matahari pagi yang pucat menyinari kekacauan, kaca pecah yang berkilauan seperti embun beku yang mematikan, kursi-kursi yang tergeletak seperti prajurit yang gugur, dan aroma samar dari asap dan alkohol mahal yang tumpah. Di tengah kehancuran itu, Leo dan Isabella berdiri, secangkir kopi instan di tangan mereka menjadi satu-satunya sumber kehangatan.
Deklarasi Leo, "kita akan menyajikan kepala Viktor Rostova di atas piring perak", masih menggantung di udara, mengubah atmosfer di antara mereka secara permanen. Itu bukan lagi ancaman seorang pria yang terpojok; itu adalah janji dari seorang predator yang telah dibangunkan.
Isabella menatapnya lama, matanya yang gelap memindai wajah Leo. Ia tidak melihat ketakutan atau keraguan. Ia melihat sesuatu yang baru, sesuatu yang ia kenali di dalam dirinya sendiri: resolusi yang dingin dan tak tergoyahkan. Kelembutan sang chef telah dikupas habis oleh api malam sebelumnya, menampakkan inti baja di dalamnya. Dan Isabella, alih-alih terintimidasi, justru merasakan gelombang kegembiraan yang liar. Pria yang ia pilih, senjata yang ia temukan, ternyata jauh lebih tajam dari yang ia bayangkan. Ia tidak menemukan bawahan. Ia telah menemukan tandingannya.
"Piring perak," ulang Isabella, sebuah senyum tipis dan berbahaya tersungging di bibirnya. "Aku suka presentasi itu. Tapi hidangan utama yang hebat butuh serangkaian hidangan pembuka yang tak kalah mengesankan untuk membangun selera."
Ia meletakkan cangkirnya. "Ayo pergi. Dapur barumu sudah menunggu."
Perjalanan kembali ke Empress Tower terasa seperti perjalanan pulang setelah perang, bukan sebagai korban, tetapi sebagai veteran yang telah ditempa oleh pertempuran. Saat mereka melangkah masuk ke dalam penthouse, suasana telah berubah. Leo tidak lagi merasa seperti seorang tahanan atau tamu. Saat ia melangkah masuk ke ruang perang, Bianca dan Marco yang sudah menunggu di sana menatapnya dengan cara yang berbeda. Marco memberinya anggukan singkat, sebuah tanda hormat yang tulus. Bianca memberinya senyum kecil yang penuh apresiasi. Pertarungan di restoran tadi malam telah menjadi legenda instan di antara lingkaran dalam Isabella.
"Selamat pagi, Chef," sapa Bianca. "Atau haruskah aku memanggilmu Komandan?"
"Panggil aku Leo," jawabnya tenang, berjalan ke meja holografik seolah ia telah melakukannya ribuan kali. Ia meletakkan tangannya di atas permukaan yang dingin itu. "Mulai hari ini, filosofi kita berubah."
Isabella, Marco, dan Bianca menatapnya, menunggunya melanjutkan.
"Kita berhenti bereaksi," kata Leo, matanya menatap satu per satu dari mereka. "Kita berhenti memadamkan api yang ia nyalakan. Mulai sekarang, kita yang akan menyalakan apinya. Kita berhenti bertahan. Kita mulai berburu."
Energi di ruangan itu bergeser. Kata-kata Leo yang tenang memiliki bobot sebuah perintah yang tak terbantahkan.
"Viktor menghancurkan restoranku untuk menyerangku secara pribadi, untuk memancing reaksi emosional darimu," lanjut Leo, menatap Isabella. "Dia mengharapkan kita membalas dengan kekerasan, mengirim orang untuk menyerang salah satu tempatnya. Itu akan menjadi perang geng biasa, sesuatu yang ia kuasai dan ia harapkan. Kita tidak akan memberinya kepuasan itu."
"Lalu apa yang akan kita lakukan?" tanya Marco, rasa ingin tahunya mengalahkan kehati-hatiannya yang biasa.
"Sebuah hidangan disajikan dalam beberapa babak," jawab Leo, kembali ke metaforanya. "Hidangan utama—Viktor—disimpan untuk yang terakhir. Untuk sekarang, kita akan menyajikan hidangan pembuka. Kita akan membongkar kerajaannya, satu per satu, bukan dari luar, tapi dari dalam. Kita tidak akan menyerang ototnya. Kita akan menyerang fondasinya: uangnya."
Isabella tersenyum puas. "Aku suka arah pembicaraan ini."
"Bianca," kata Leo, beralih ke layar. "Aku ingin kau menggali lebih dalam. Bukan hanya rekening bank atau perusahaan cangkang. Itu terlalu mudah dilacak. Aku ingin tahu bagaimana Viktor mengubah uang haramnya menjadi aset yang 'bersih' dan terhormat. Di mana ia mencuci harga dirinya?"
Bianca menyeringai, matanya berkilat penuh tantangan. "Beri aku satu jam dan secangkir kopi paling pekat yang kau punya."
Satu jam itu terasa seperti meditasi yang menegangkan. Leo dan Isabella duduk berdampingan di sofa kulit, menatap layar-layar yang menampilkan barisan data yang tak berarti bagi orang biasa. Tidak ada percakapan. Hanya kebersamaan yang nyaman dari dua predator yang menunggu waktu berburu. Keintiman di antara mereka telah berevolusi. Sentuhan dan gairah semalam telah menempa sebuah ikatan baru, ikatan dua komandan di ruang perang, kepercayaan yang lahir dari api dan kekacauan. Isabella sesekali melirik Leo, mengagumi profilnya yang tenang dan fokus. Pria ini adalah sebuah paradoks yang memikat, seorang pencipta yang ternyata adalah seorang penghancur yang brilian.
"Dapat," kata Bianca tiba-tiba, memecah keheningan. Sebuah jaringan informasi yang rumit muncul di layar utama. "Gila. Pria ini bukan sekadar preman. Dia seorang seniman pencucian uang."
Gambar sebuah galeri seni yang ultra-modern muncul di layar. "Galeri Rostova. Terletak di distrik bisnis paling mahal. Dijalankan oleh seorang wanita bernama Anya Petrova, kurator seni yang terkenal kejam dan sangat setia pada Viktor. Modus operandinya, Viktor membeli karya seni, seringkali dari seniman antah berantah yang sebenarnya adalah perusahaannya sendiri, dengan harga yang digelembungkan secara gila-gilaan. Uang haram masuk, keluar sebagai sebuah lukisan 'sah' yang nilainya puluhan miliar. Asetnya kini bersih, bergengsi, dan bisa dijual kembali di pasar internasional."
"Sempurna," bisik Leo.
"Apanya yang sempurna?" tanya Marco. "Tempat itu dijaga seperti Fort Knox. Dan kita tidak bisa begitu saja mencuri lukisan."
"Tentu saja tidak," kata Leo. "Mencuri itu metode Viktor. Metode kita adalah... dekonstruksi." Ia berdiri dan berjalan ke layar. "Kita tidak akan mencuri uang atau seninya. Kita akan menghancurkan nilai dari keduanya. Kita akan mengubah aset bersihnya kembali menjadi sampah yang tidak bisa dijual, dan kita akan melakukannya di depan mata semua orang."
Rencana itu mulai mengalir darinya dengan kejelasan yang menakutkan.
"Pertama, kita butuh seorang pemalsu," kata Leo. "Bukan pemalsu biasa. Kita butuh seorang maestro."
Isabella berpikir sejenak. "Aku kenal seseorang. Namanya Maestro Budi. Pelukis tua yang brilian, karirnya hancur karena skandal alkohol dan hutang. Ayahku dulu sering membantunya. Dia berutang budi pada keluarga kami."
"Bagus. Hubungi dia. Bianca, kirimkan padanya gambar digital resolusi tertinggi dari lima lukisan termahal di galeri Viktor. Katakan padanya, kita ingin replika yang sempurna. Setiap goresan kuas, setiap retakan cat. Sempurna," perintah Leo.
"Kedua, infiltrasi. Riko dan Maya," lanjutnya. "Bianca, aku ingin tahu kapan acara besar berikutnya di galeri itu."
Bianca mengetik cepat. "Dua minggu lagi. 'Malam Apresiasi Seni dan Filantropi'. Dihadiri oleh seluruh kaum jetset Jakarta, kolektor internasional, dan tentu saja, para 'investor' Viktor yang menyamar."
"Itu panggung kita," kata Leo. "Tugas Si Kembar bukan untuk menukar lukisan. Itu terlalu berisiko. Tugas mereka adalah menyusup saat acara berlangsung, dan menempatkan replika buatan Maestro Budi di samping lukisan aslinya di ruang penyimpanan."
"Menempatkan di sampingnya? Apa gunanya?" tanya Marco bingung.
"Kesabaran, Banteng," kata Isabella, matanya terpaku pada Leo, menikmati setiap detik dari penjelasan ini.
"Saat menempatkan replika," lanjut Leo, "mereka juga akan menanamkan sesuatu di bingkai lukisan asli. Sesuatu yang sangat kecil. Sebuah pemancar mikro."
"Ketiga, pengungkapan. Sehari setelah acara, kita akan membocorkan 'tip anonim' kepada dua orang, seorang kritikus seni paling berpengaruh dan paling jujur di Asia Tenggara, dan kepada unit kejahatan seni Interpol. Tipnya sederhana, Galeri Rostova diduga kuat terlibat dalam penipuan pemalsu berskala besar."
"Saat para ahli itu datang untuk menyelidiki," jelas Leo, matanya berkilat, "Anya Petrova akan dengan sombongnya mempersilakan mereka masuk, yakin bahwa semua lukisannya asli. Tapi saat mereka masuk ke ruang penyimpanan, mereka tidak akan menemukan satu lukisan, tapi dua dari setiap mahakarya. Dua lukisan yang identik secara kasat mata. Mereka tidak akan bisa membuktikan mana yang asli dan mana yang palsu tanpa pengujian laboratorium yang memakan waktu berbulan-bulan."
Keheningan melanda ruangan saat mereka semua mencerna kejeniusan rencana itu.
"Reputasi galeri itu akan hancur dalam sekejap," kata Bianca, matanya terbelalak. "Tidak ada kolektor yang mau menyentuh karya seni yang statusnya diragukan."
"Tepat," kata Leo. "Aset puluhan, bahkan ratusan miliar milik Viktor akan menjadi tidak berharga dalam satu malam. Para investornya akan panik. Dan saat Viktor mencoba memindahkan lukisan-lukisan 'asli' itu secara diam-diam untuk menyelamatkan apa yang tersisa, pemancar mikro yang ditanam Si Kembar akan aktif, dan Bianca akan bisa melacak seluruh jaringan tersembunyinya."
Isabella tertawa. Bukan tawa geli, tapi tawa seorang pemenang. "Leo, Leo... kau benar-benar seorang monster yang puitis."
Dua minggu kemudian. Malam pameran di Galeri Rostova.
Tempat itu berkilauan. Para tamu undangan, para sosialita dalam gaun desainer, para pengusaha dengan jam tangan mewah, para ekspatriat dengan aksen Eropa, berbaur sambil menyesap sampanye dan mengagumi lukisan-lukisan abstrak yang tergantung di dinding putih yang luas. Di tengah keramaian, Anya Petrova, sang direktur galeri, bergerak dengan keanggunan seekor ular kobra, memastikan semuanya berjalan sempurna. Viktor Rostova sendiri hadir, berdiri di sudut, menikmati pemandangan kerajaannya yang sah dan terhormat, wajahnya memancarkan kesombongan.
Di Empress Tower, ruang perang berdengung dengan ketegangan. Leo dan Isabella duduk berdampingan, mata mereka terpaku pada puluhan layar kecil yang menampilkan setiap sudut galeri, hasil retasan Bianca.
"Riko dan Maya sudah di dalam," lapor Bianca. "Menyamar sebagai staf katering. Mereka mengenakan seragam, membawa nampan. Replika lukisan yang sudah digulung dengan hati-hati disembunyikan di kompartemen rahasia di dalam troli makanan mereka."
Misi mereka terdengar mustahil, di tengah ratusan tamu, mereka harus menyelinap ke ruang penyimpanan, menempatkan lima gulungan lukisan besar, dan menanam pemancar tanpa ada yang menyadarinya.
"Waktu terbaik adalah saat pidato pembukaan dari Anya," kata Leo. "Semua perhatian akan tertuju ke panggung utama. Itu akan memberi mereka jendela waktu sekitar sepuluh menit."
Waktu berjalan. Riko dan Maya bergerak di antara para tamu dengan profesional, menawarkan minuman dan canapé. Mereka berkomunikasi hanya dengan lirikan mata. Akhirnya, Anya Petrova naik ke atas panggung kecil. Kerumunan menjadi tenang.
"Sekarang," bisik Leo.
Di layar, ia melihat Riko dan Maya dengan santai mendorong troli mereka ke arah koridor staf. Mereka bergerak dengan tenang, tidak terburu-buru. Saat mereka berada di luar jangkauan pandang kerumunan, kecepatan mereka berubah. Mereka melesat menyusuri koridor, membuka pintu ruang penyimpanan dengan kartu akses yang telah dikloning oleh Bianca, dan masuk ke dalam.
"Lima menit," kata Bianca, memulai hitung mundurnya. "Sensor gerak di dalam dinonaktifkan."
Di dalam, di bawah cahaya lampu keamanan yang redup, mereka bekerja. Mereka dengan cepat mengeluarkan gulungan replika, membukanya dengan hati-hati, dan menyandarkannya di dinding di belakang rak penyimpanan besar, tersembunyi dari pandangan sekilas. Kemudian, bagian yang sulit, menanam pemancar. Maya mengeluarkan alat kecil, mendekati lukisan asli pertama, sebuah karya abstrak senilai 50 miliar, dan dengan tangan yang sangat stabil, ia menempelkan sebuah titik hitam seukuran kepala peniti di bagian belakang bingkai kayunya yang tebal.
Satu selesai. Empat lagi.
"Dua menit," lapor Bianca.
Tiba-tiba, sebuah masalah muncul. Di layar monitor, Leo melihat Anya Petrova menyelesaikan pidatonya lebih cepat dari yang diperkirakan. Para tamu mulai bertepuk tangan dan kembali menyebar.
"Sial! Dia selesai lebih awal!" kata Isabella tegang.
Lebih buruk lagi, Anya terlihat berbicara dengan salah satu penjaga keamanan dan menunjuk ke arah koridor staf.
"Dia curiga pada sesuatu," kata Leo. "Mungkin dia melihat troli itu masuk. Riko, Maya, keluar sekarang! Lupakan lukisan terakhir!"
"Tidak," terdengar suara Maya yang tenang dari komunikator. "Satu lagi. Beri kami tiga puluh detik."
"Terlalu berisiko!" balas Leo.
"Ini yang kami lakukan, Chef," jawab Riko.
Di layar, Leo melihat Anya dan penjaga itu mulai berjalan menyusuri koridor. Mereka hanya berjarak beberapa meter dari pintu ruang penyimpanan. Jantung Leo terasa seperti akan meledak.
"Lima belas detik," bisik Bianca.
Tangan Maya bergerak cepat, menanamkan pemancar terakhir. Mereka tidak punya waktu untuk menggulung kembali selimut pelindung. Mereka hanya mendorong troli kosong itu ke sudut gelap dan bersembunyi di balik rak besi raksasa, tubuh mereka rata dengan bayangan.
Pintu ruang penyimpanan terbuka. Anya Petrova masuk, diikuti oleh penjaga. Ia melihat sekeliling. Ruangan itu tampak normal.
"Kau yakin melihat mereka membawa troli ke sini?" tanya Anya pada penjaga.
"Saya kira begitu, Bu. Tapi sepertinya tidak ada apa-apa."
Anya menyipitkan matanya, indra keenamnya merasakan ada sesuatu yang tidak beres, tapi ia tidak bisa melihatnya. Ia berjalan mengitari ruangan, langkah kakinya menggema. Ia berhenti hanya satu meter dari tempat Si Kembar bersembunyi, punggungnya menghadap mereka. Leo dan Isabella menahan napas. Jika ia berbalik...
Setelah keheningan yang terasa abadi, Anya mengangkat bahu. "Mungkin hanya perasaanku. Ayo kembali ke pesta."
Mereka keluar, menutup pintu di belakang mereka.
Si Kembar menunggu dua menit penuh sebelum akhirnya keluar dari persembunyian mereka, mengambil troli, dan berjalan santai keluar dari koridor seolah tidak ada yang terjadi.
Misi berhasil.
Tiga hari kemudian.
Leo dan Isabella sedang sarapan di balkon penthouse, menikmati keheningan pagi. Di televisi layar datar di ruang tamu, sebuah saluran berita bisnis internasional sedang menyiarkan sebuah berita utama.
"Dunia seni diguncang oleh skandal pemalsuan terbesar dalam dekade terakhir," kata sang pembawa berita. "Galeri Rostova yang prestisius kini berada di bawah investigasi setelah para ahli menemukan duplikat dari lima karya utamanya. Para ahli menyatakan bahwa tanpa pengujian forensik, mustahil untuk membedakan yang asli dari yang palsu, membuat seluruh koleksi galeri tersebut secara efektif tidak berharga..."
Di layar, ditampilkan gambar Anya Petrova yang sedang dikerumuni wartawan, wajahnya pucat dan penuh amarah. Lalu, gambar beralih ke Viktor Rostova yang sedang memasuki mobil, membanting pintunya di depan wajah para reporter. Wajahnya yang biasanya tenang kini adalah topeng kemarahan yang tak terkendali.
Di layar lain, Bianca menampilkan data pelacakan. Titik-titik dari pemancar mikro bergerak ke lima arah yang berbeda, menuju lokasi-lokasi tersembunyi di seluruh kota. Seluruh jaringan penyelamatan aset Viktor kini terekspos.
Kemenangan itu terasa manis. Tenang, cerdas, dan menghancurkan.
Isabella mematikan televisi. Ia berbalik menghadap Leo, matanya berkilauan dalam cahaya pagi. Keheningan di antara mereka nyaman, dipenuhi dengan rasa saling menghormati dan kemenangan bersama.
"Itu hidangan pembuka yang luar biasa, Chef," katanya, suaranya lembut. "Sekarang... untuk pembayaran."
Ia mengulurkan tangannya. Leo menerimanya. Kali ini, tidak ada paksaan, tidak ada dominasi. Hanya sebuah undangan. Ia menuntun Leo masuk ke dalam kamar tidurnya. Semalam, setelah pertarungan, gairah mereka adalah ledakan yang kasar dan putus asa. Pagi ini, suasananya berbeda.
Ia mendorong Leo dengan lembut ke tempat tidur, lalu mulai melepaskan pakaiannya sendiri, matanya tidak pernah meninggalkan mata Leo. Itu bukan lagi penyerahan diri, tapi sebuah persembahan. Sebuah perayaan. Ia berbaring di sampingnya, dan untuk pertama kalinya, ia membiarkan Leo yang memegang kendali.
Cinta mereka pagi itu adalah eksplorasi. Lambat, sensual, dan sangat intim. Setiap sentuhan adalah sebuah penemuan, setiap ciuman adalah sebuah percakapan tanpa kata. Mereka mempelajari tubuh satu sama lain bukan sebagai penakluk, tapi sebagai penyembah. Gairah mereka adalah api yang terkendali, membakar terang dan hangat, memberikan kelegaan dari dunia luar yang dingin dan kejam. Itu adalah momen kedamaian yang mereka curi, sebuah gencatan senjata pribadi di tengah perang mereka.
Setelahnya, mereka berbaring dalam pelukan satu sama lain, terengah-engah, keringat membasahi kulit mereka. Jendela raksasa menampilkan kota yang sibuk di bawah, tetapi di dalam kamar itu, dunia terasa berhenti.
Leo menelusuri tato kecil bergambar mahkota di pinggul Isabella dengan jarinya. "Apa hidangan selanjutnya di menu?" tanyanya pelan, suaranya serak.
Isabella tersenyum, senyum yang lelah namun puas. Ia mengecup bibirnya, sebuah kecupan yang dalam dan penuh perasaan. Saat ia menarik diri, matanya yang tadi hangat kini menggelap, dipenuhi oleh firasat yang tajam dari seorang pemimpin yang tahu sifat asli musuhnya.
"Hidangan selanjutnya, Alkemis," bisiknya, suaranya kini serius, menjadi peringatan yang sunyi di tengah kedamaian mereka. "adalah perang. Perang yang sesungguhnya. Dia tidak akan membalas dengan trik lagi. Dia akan mengirim pasukan."