NovelToon NovelToon
Sengketa Di Balik Digital

Sengketa Di Balik Digital

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintamanis / Balas Dendam / Cinta Seiring Waktu / Kehidupan di Kantor / Wanita Karir / Romansa
Popularitas:380
Nilai: 5
Nama Author: Black _Pen2024

Di tengah duka yang belum usai, tahta digital Sasha mulai retak. Kematian sang kekasih, Bara, yang seharusnya menjadi akhir dari sebuah cerita cinta, justru menjadi awal dari mimpi buruknya. Sebagai CEO tunggal super-aplikasi raksasa Digital Raya, ia tak punya waktu untuk meratap. Dari ruang rapat yang dingin, keluarga yang seharusnya menjadi pelindung kini menjelma menjadi predator, mengincar mahakarya yang mereka bangun bersama.

Namun, ancaman tidak hanya datang dari dalam. Saat serangan siber global mengoyak benteng pertahanan DigiRaya, Sasha terpaksa bersekutu dengan sosok yang paling ia hindari: Zega, seorang peretas jenius yang sinis dan memandang dunianya dengan penuh kebencian. Aliansi penuh percik api ini menyeret mereka ke dalam labirin digital yang gelap.

Di antara barisan kode dan serangan tak kasat mata, Sasha menemukan sesuatu yang lebih mengerikan: serpihan kebenaran yang sengaja ditinggalkan Bara. Sebuah bisikan dari balik kubur yang mengisyaratkan rahasia kematiannya

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black _Pen2024, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 9 Pertahanan Digital di Malam Hari

“Sekarang juga,” kata Sasha, suaranya terdengar asing di telinganya sendiri, lebih tajam, lebih dingin, memotong deru sirene yang memekakkan telinga. “Guruh, putuskan semua koneksi eksternal. Semua! Aku tidak peduli dengan protokol kerugian bisnis.”

Guruh membeku, wajahnya pucat pasi di bawah cahaya merah darurat yang berkedip-kedip. “Tapi, Sasha… itu akan melumpuhkan seluruh operasi kita. Seluruh layanan akan mati.”

“Persetan dengan layanan!” Zega membentak, matanya tidak pernah lepas dari kaskade kode yang mengalir turun di layarnya seperti hujan digital beracun. “Mereka sudah ada di dalam rumah. Kau mau mengunci pintu depan saat perampok sudah ada di kamarmu?”

“Lakukan!” perintah Sasha, menatap lurus ke mata Guruh, tidak menyisakan ruang untuk perdebatan. “Lakukan sekarang atau berikan aksesmu pada Zega.”

Guruh tersentak, lalu mengangguk kaku. Ia berbalik dan meneriakkan perintah kepada timnya yang sama-sama panik. Suara klik papan tik yang panik terdengar di seluruh ruangan, sebuah simfoni ketakutan.

“Itu hanya akan mengulur waktu,” desis Zega, jari-jarinya sendiri sudah menjadi kabur di atas papan tiknya. “Mereka tidak butuh koneksi eksternal lagi. Mereka menanamkan worm yang bekerja otonom. Ini dirancang untuk mencari, menyalin, lalu menghapus dirinya sendiri. Canggih sekali.”

“Apa target mereka?” tanya Sasha, berdiri di sampingnya, berusaha memahami badai data di layar.

“Semuanya,” jawab Zega tanpa menoleh. “Data pengguna, algoritma inti, catatan keuangan, surel internal. Mereka tidak mau mencuri, Victoria. Mereka mau membakar seluruh perpustakaan Aleksandria-mu hingga jadi abu.”

“Hadi,” bisik Sasha.

“Terlalu canggih untuk pamanmu yang serakah itu,” Zega mendengus. “Ini level negara. Ini Express Teknologi.” Ia menunjuk sebaris kode anomali. “Lihat tanda tangan digitalnya? Terenkripsi, tapi polanya sama seperti yang kutemukan di data Bara.”

Suhu di ruangan mulai terasa naik. Dengung server yang biasanya menenangkan kini terdengar seperti jeritan mesin yang dipaksa bekerja hingga batasnya.

“Sistem pendingin mulai kewalahan,” kata Guruh, suaranya bergetar. “Beban prosesor di server core mencapai seratus persen. Kita bisa mengalami kegagalan perangkat keras total dalam satu jam.”

“Kalau begitu kita tidak punya satu jam,” balas Zega. “Sasha, aku butuh kau membuat keputusan. Cepat.”

“Apa itu?”

“Kita tidak bisa menyelamatkan semuanya. Kita harus memilih apa yang akan kita korbankan untuk melindungi intinya.”

“Intinya adalah data pengguna,” jawab Sasha tanpa ragu. “Itu satu-satunya yang tidak bisa dinegosiasikan.”

Sebuah senyum tipis, nyaris tak terlihat, menyentuh bibir Zega. “Jawaban yang benar. Guruh, dengarkan baik-baik. Aku mau kau dan timmu membanjiri jaringan dengan data umpan. Buka akses ke server riset dan pengembangan, arsip pemasaran lama, apa pun yang tidak krusial. Buat mereka sibuk.”

“Itu gila!” sergah Guruh. “Itu sama saja dengan memberi mereka kunci ke brankas yang lebih kecil!”

“Brankas yang isinya hanya kertas bekas!” potong Zega tajam. “Lakukan saja! Sementara itu, aku akan memindahkan data pengguna inti ke server quarantine yang terisolasi. Aku akan membangun benteng di sekelilingnya, bata demi bata.”

“Tidak ada server quarantine yang cukup besar,” bantah Guruh.

“Kalau begitu buatkan aku satu!” geram Zega. “Ambil semua sumber daya dari layanan streaming, dari analisis big data untuk klien korporat, dari semua mainan mahal kalian. Matikan semuanya. Sekarang!”

Sasha menatap Guruh. “Kau dengar dia.”

Guruh menelan ludah, lalu sekali lagi, ia patuh. Ini bukan lagi ruang servernya. Ini adalah medan perang Zega.

Selama tiga jam berikutnya, ruangan itu menjadi pusat neraka digital. Zega dan Sasha bekerja dalam keheningan yang tegang, hanya dipecah oleh perintah-perintah singkat Zega dan deru mesin yang semakin keras. Keringat membasahi dahi Sasha saat ia membantu Zega memantau transfer data, matanya perih menatap layar. Ia melihat visualisasi jaringan DigiRaya, kerajaannya, terkoyak dari dalam. Garis-garis merah—serangan itu—menyebar seperti kanker, sementara garis-garis biru—upaya Zega—berusaha mati-matian membangun dinding penahan.

“Mereka terlalu cepat,” bisik Sasha, melihat sebuah partisi data pelanggan baru saja ditembus.

“Mereka bukan ‘mereka’. Ini adalah algoritma cerdas. Ia belajar dari pertahanan kita dan beradaptasi,” kata Zega, wajahnya diterangi cahaya monitor. “Aku membangun tembok, ia belajar cara memanjatnya. Aku menggali parit, ia belajar cara melompatinya.”

“Lalu apa yang kita lakukan?”

“Kita berhenti bermain bertahan.” Mata Zega berkilat liar. “Jika kau tidak bisa menghentikan penyusup, kau bakar saja rumahnya bersama dia di dalamnya.”

“Apa maksudmu?”

“Aku akan meretas balik.”

Guruh, yang mendengar itu, mendekat dengan ngeri. “Kau tidak bisa! Itu akan membuka seluruh sistem kita. Itu bunuh diri!”

“Aku tidak akan menggunakan sistemmu,” kata Zega. Ia mengeluarkan sebuah laptop usang dari tasnya, menyambungkannya ke satu porta darurat dengan sebuah kabel yang dimodifikasi. “Aku akan menggunakan sistemku. Aku akan memberikan mereka hantu untuk dikejar. Sebuah jejak palsu yang akan membawa mereka langsung ke dalam perangkapku.”

Jari-jarinya mulai menari di atas papan tik laptopnya sendiri. Layar menampilkan antarmuka baris perintah yang mentah dan gelap, sangat kontras dengan dasbor grafis yang canggih milik DigiRaya.

“Aku menciptakan worm tandingan,” Zega menjelaskan, lebih pada Sasha daripada Guruh. “Punyaku tidak mencuri data. Punyaku hanya melakukan satu hal: mencari worm mereka dan menghancurkannya dalam satu siklus prosesor. Pertarungan di level kode. Byte melawan byte.”

“Tapi bagaimana jika worm-mu kalah?” tanya Sasha cemas.

“Maka kita semua kalah,” jawab Zega datar. Ia menekan tombol enter. “Sudah kulepaskan.”

Selama beberapa menit yang terasa seperti selamanya, tidak ada yang terjadi. Garis-garis merah di layar utama masih menyebar dengan ganas.

“Tidak berhasil,” desah Guruh, putus asa.

“Sabar,” desis Zega.

Lalu, itu terjadi. Sebuah garis merah tiba-tiba berkedip, lalu lenyap. Kemudian satu lagi. Dan satu lagi. Di layar utama, titik-titik biru mulai muncul di tengah lautan merah, seperti antibodi yang menyerang virus. Perlahan, tapi pasti, serangan itu mulai melambat.

“Kau berhasil,” bisik Sasha, napasnya tertahan.

“Belum,” kata Zega, matanya masih terpaku pada layar. “Ini bagian paling berbahaya. Saat worm mereka menyadari sedang diserang, ia akan memicu protokol penghancuran diri—mencoba menghapus data sebanyak mungkin sebelum mati.”

Tiba-tiba, alarm suhu meraung lebih keras. Salah satu rak server mengeluarkan percikan api, diikuti kepulan asap tipis.

“Server 7B mati! Basis data pelanggan premium ada di sana!” teriak salah satu teknisi.

“Korbankan!” seru Zega. “Fokuskan semua daya pendingin ke core database! Biarkan yang lain terbakar!”

Sasha menatap ngeri pada rak yang berasap itu, jutaan dolar dan ribuan jam kerja lenyap dalam sekejap. Tapi ia mengangguk pada Zega. “Lakukan.”

Pertarungan berlangsung tujuh jam. Tujuh jam tanpa henti di dalam ruangan yang panas dan menyesakkan, dipenuhi bau ozon dari perangkat keras yang terbakar. Ketika fajar mulai menyingsing di luar jendela antipeluru, keheningan akhirnya turun. Alarm berhenti. Garis-garis merah di layar monitor telah lenyap seluruhnya, digantikan oleh jaringan biru yang stabil, meskipun banyak bagiannya yang kini gelap dan mati.

“Sudah berakhir,” kata Guruh, suaranya serak karena kelelahan. Ia terduduk di lantai, tidak sanggup lagi berdiri.

Sasha bersandar di konsol, kakinya terasa seperti jeli. Ia menatap Zega, yang masih berdiri tegak, wajahnya tanpa ekspresi, meskipun peluh membasahi pelipisnya. “Kita menang?”

“Untuk malam ini,” jawab Zega, matanya masih memindai log aktivitas. “Mereka akan kembali. Tapi… tunggu.”

Ia berhenti. Jari-jarinya membeku di atas papan tik.

“Ada apa?” tanya Sasha, firasat buruk kembali merayapinya.

“Sebelum koneksi mereka terputus total, worm mereka meninggalkan satu paket data terakhir. Bukan virus. Bukan ancaman. Hanya… sebuah berkas.”

“Sebuah pesan?”

“Mungkin,” kata Zega. Ia mengetik beberapa perintah, mengisolasi dan membuka berkas itu dalam lingkungan virtual yang aman.

Sebuah gambar muncul di layar utama, memenuhi monitor raksasa di dinding. Gambarnya agak buram, seperti tangkapan layar dari kamera CCTV berkualitas rendah. Itu adalah sebuah mobil sedan hitam yang familier.

Sasha terkesiap, tangannya menutup mulut. “Itu… itu mobil Bara.”

Gambar itu menunjukkan mobil Bara terparkir, beberapa saat sebelum kecelakaan fatal itu. Tapi ada sesuatu yang lain. Sesuatu yang sengaja ditambahkan.

“Lihat,” bisik Zega, menggerakkan kursor ke roda depan.

Sebuah lingkaran merah tipis, seperti yang dibuat dengan perangkat lunak penyunting gambar, melingkari bagian rem mobil.

“Apa itu?” bisik Sasha, tubuhnya mulai gemetar. “Apa artinya?”

Zega memperbesar gambar itu. Tepat di bawah lingkaran merah, sebuah teks kecil diketik dengan font digital yang dingin dan tanpa emosi. Hanya dua kata.

Bukan Kecelakaan....

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!