Kata sah terdengar lantang dari dalam ruangan minimalis itu. Pertanda ijab kabul telah selesai dilaksanakan seiring dengan air matanya yang terus menerus menetes membasahi pipinya.
Apa jadinya jika, karena kesalahpahaman membuat seorang wanita berusia 25 tahun harus menjadi seorang istri secara mendadak tanpa pernah direncanakan ataupun dibayangkan olehnya.
Kenyataan yang paling menyakitkan jika pernikahan itu hanyalah pernikahan kontrak yang akan dijalaninya selama enam bulan lamanya dan terpaksa menjadi istri kedua dari suami wanita lain.
Mampukah Alfathunisa Husna menerima takdir pernikahannya??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 7
“Astaghfirullah aladzim, ya Allah… jauhkanlah sifat cemburu buta ini dari hati dan pikiranku. Jangan biarkan rasa ini menguasaiku, apalagi membuatku jadi istri yang kufur nikmat. Aku salah besar kalau iri pada kebahagiaan mereka…” batin Nisa, berusaha mati-matian menekan rasa perih di dadanya.
Dian tersenyum sambil menoleh sekilas ke arah Azhar. “Jadi, selama dua minggu ke depan Mbak Nisa yang akan mengantar makanan buatku, anak-anak, dan juga untuk suamiku. Karena selama dua minggu ini aku akan tinggal di sini, menemani Mas Azhar,” ucapnya sembari menyodorkan beberapa lembar uang merah.
Nisa tertegun sejenak. Tangannya sedikit bergetar saat menerima uang itu, meski wajahnya tetap menampilkan senyum sopan.
“Makasih banyak, Mbak Dian. Pak Azhar kalau begitu saya pamit dulu, soalnya harus belanja ke pasar buat persiapan besok pagi.”
Suaranya terdengar normal, tapi di balik kata-kata itu ada rasa sesak yang tak bisa ia ungkapkan.
Azhar menatap sendu kepergian istrinya yang melangkah tergesa. Ia ingin sekali menghampiri, memeluk, lalu berbisik betapa ia merindukan senyum lembut itu. Tapi, langkahnya hanya membeku di ruang tamu.
Maafkan suamimu ini, Nisa. Aku tak mungkin bisa memilih di antara kalian. Aku pun tak mengerti kenapa takdir mempertemukan kita bertiga dalam hubungan serumit ini, batin Azhar, menahan gejolak dalam dadanya.
Dua minggu tanpa bertemu, tanpa bisa berbincang seperti biasanya, tanpa sekadar meneguk teh hangat buatan Nisa, terasa seperti siksaan. Rindunya menumpuk, tapi tak bisa tersalurkan.
Sementara itu, Nisa berjalan cepat keluar. Begitu sampai di motornya, ia berjongkok, menunduk, menahan air mata yang hampir tumpah. Nafasnya memburu.
“Ya Allah, kuatkanlah aku ini sangat menguji kesabaranku. Tapi aku nggak mau egois. Aku yang salah hadir di kehidupan Mas Azhar, jadi orang ketiga pelakor di rumah tangga orang.”
Bayangan ciuman mesra Azhar dengan Dian barusan terus menari di kepalanya, menghantam jiwanya.
Bagaimana rasanya melihat langsung suami yang kau cintai, lelaki yang kau sayangi, berciuman mesra dengan wanita lain? Lebih menyakitkan lagi, wanita itu adalah istri sah sekaligus istri pertama dari pria yang dicintainya.
Perasaan sakit, marah, cemburu, kecewa, bercampur jadi satu. Tapi Nisa memaksa dirinya menunduk, menenangkan hati.
“Aku nggak boleh cemburu. Aku harus sabar, harus ikhlas. Mereka pasangan sah. Aku… aku cuma bayangan,” bisiknya lirih.
POV Nisa
“Astaghfirullah aladzim…” aku menarik nafas panjang, berusaha menenangkan dada yang bergemuruh. Melihat Mas Azhar begitu mesra dengan Mbak Dian barusan membuatku seperti tertikam. Rasanya sakit… sangat sakit.
Ya Allah, ini salahku. Aku yang datang, aku yang hadir, aku yang menjadi orang ketiga dalam rumah tangga mereka. Aku nggak boleh egois. Aku nggak boleh cemburu.
Aku tersenyum saat Mbak Dian memberiku uang untuk belanja. Senyum yang dipaksakan. Padahal, dalam hati aku ingin sekali kabur, pergi jauh, agar tak perlu lagi melihat kebersamaan mereka.
Di depan motor, aku sempat berjongkok, menahan tangis. “Kuatlah, Nis… jangan kalah dengan rasa ini. Kamu bukan siapa-siapa. Kamu cuma istri kedua… istri bayangan.”
Dan tiba-tiba… hadir seorang pria berseragam, Faris namanya. Ramah, sopan, suaranya tenang. Dia memintaku membuatkan makanan juga. Aku kaget, tapi tak bisa menolak. Uang tambahan itu bisa aku simpan.
Saat tanganku sempat berjabat dengan tangannya, aku buru-buru menarik diri. Aku sadar posisiku, aku sadar siapa aku. Tapi senyum sopan tetap terlukis di wajahku.
Entah kenapa, setelah itu, hatiku jadi makin resah. Aku merasa ada tatapan tajam yang mengawasi dari kejauhan. Tatapan Mas Azhar…
Setelah cukup tenang, Nisa mengenakan masker kain dan helm. Ia menyemangati dirinya sendiri, “Hati kamu harus kuat, Nis. Jangan gampang rapuh.”
Baru saja hendak menaiki motor, sebuah suara menghentikan langkahnya.
“Permisi… apa Anda yang mengantar katering ke rumahnya Pak Mayor Azhar?”
Nisa menoleh. Seorang pria berseragam TNI berdiri tegap, menatapnya dengan ramah. Ia tersenyum kecil.
“Iye, betul. Saya Nisa, yang masakkan makanan buat Pak Mayor. Ada yang bisa saya bantu, Pak?” tanyanya hati-hati.
Pria itu mengulurkan tangan. “Faris Khalid Aditama. Saya ingin memesan makanan juga, tiga kali sehari, seperti pesanan Pak Mayor. Boleh, kan?”
Nisa sempat ragu, lalu menyambut uluran tangannya. Tapi cepat-cepat menarik kembali begitu sadar.
“Insha Allah bisa, Pak. Tapi kalau hari ini sudah terlambat. Kalau besok pagi insya Allah bisa saya antar.”
Faris tersenyum lega. “Syukur Alhamdulillah. Terima kasih banyak, Mbak Nisa.”
Nisa menunduk sopan. “Nggak apa-apa, hitung-hitung nambah pemasukan.”
“Kalau boleh tahu, berapa biayanya?” tanya Faris.
Nisa menjelaskan dengan tenang, menyamakan harga dengan Dian agar tidak ada kesalahpahaman.
“Oke. Samakan saja menunya dengan Pak Mayor. Setiap Sabtu saya transfer sesuai nominalnya,” balas Faris mantap.
Diam-diam, Azhar yang hendak berangkat ke kantor melihat semuanya dari kejauhan. Dadanya panas. Tangannya terkepal.
Kenapa Nisa harus senyum begitu? Kenapa tangannya sempat berjabat dengan Faris? Harusnya dia menunduk, wajahnya ditekuk, supaya nggak ada yang tertarik…
Sementara itu, Faris menambahkan, “Oh iya, boleh saya minta nomor HP Mbak Nisa? Supaya gampang koordinasi.”
Dengan terpaksa, Nisa menyebutkan nomornya. Faris mencatat cepat di ponselnya. Mereka pun berpisah dengan senyum ramah.
Azhar yang menyaksikan dari jauh semakin geram. Dadanya sesak, pikirannya kacau.
Tak lama, Faris menghampiri Azhar yang masih berdiri. “Pak Azhar, gimana pengalaman dengan masakan Mbak Nisa? Enak, kan?”
Azhar menautkan alis. “Maksud Anda?”
Faris tersenyum santai. “Soalnya mulai besok saya juga langganan. Tadi saya sudah deal enam bulan. Katanya, masakannya enak banget.”
Azhar menarik nafas dalam. “Alhamdulillah, empat bulan ini rasanya selalu enak. Besok Anda bisa nilai sendiri.”
Faris terkekeh. “Syukurlah. Selain pintar masak, Mbak Nisa juga wanita cantik, baik hati, sholehah. Idaman banget, ya. Jujur, saya langsung kagum.”
Deg! Jantung Azhar serasa terhenti. Kepalan tangannya makin keras.
“Jangan-jangan Pak Letnan Faris Aditama ini tertarik sama Nisa?” tekan Azhar, suaranya berat.
Faris balas dengan senyum tenang. “Laki-laki mana yang nggak terpesona dengan wanita seperti dia? Kalau dia mau, andaikan dia nggak keberatan menikah dengan duda beranak satu seperti saya mungkin saya akan melamarnya.”
Kata-kata itu menghantam keras. Azhar nyaris meledak.
POV Azhar
Aku hanya berdiri di depan rumah, menatap langkah tergesa Nisa yang menjauh. Rasanya ingin berlari, memeluknya, menahannya agar jangan pergi. Tapi ada Dian di belakangku, menatapku. Aku hanya bisa diam.
Maafkan aku, Nisa… aku nggak bisa memilih. Aku ingin membahagiakan kalian berdua, tapi pada akhirnya aku malah menyakiti hati kalian.
Mataku kemudian menangkap sesuatu yang membuat darahku mendidih. Nisa… istriku, yang biasanya selalu menunduk, kali ini tersenyum kepada seorang pria berseragam. Aku melihat tangan mereka sempat berjabat.
Kenapa harus senyum? Kenapa harus ramah begitu? Tidakkah dia tahu, aku cemburu setengah mati?
Tanganku terkepal. Ingin rasanya aku menghampiri, menarik Nisa menjauh dari lelaki itu. Tapi aku hanya bisa menahan.
Ketika lelaki itu Faris mendekatiku, memuji masakan Nisa, bahkan terang-terangan bilang Nisa wanita idaman jantungku seakan mau pecah.
Jangan pernah, Faris. Jangan pernah mendekati dia. Nisa itu milikku. Istriku. Meski aku tak bisa menunjukkannya di depan orang lain, dia tetap bagian dari hidupku.
Tapi bibirku hanya bisa mengatup rapat. Aku menahan kata-kata, menyimpan semua amarah di dada.
Sementara dari kejauhan, seorang prajurit lain bergumam pelan sambil cekikikan, “Nggak kepanasan tuh Pak Mayor? Makanya jangan cuma dijadiin istri bayangan kalau cewek speknya bidadari surga.” gumamnya Ikram.
Azhar memilih diam. Ia melangkah cepat ke kantornya, menahan bara cemburu yang hampir membakar kewarasannya.
---
Keesokan harinya, Pak Daud melihat beberapa rantang baru di meja makan.
“Nak, kenapa banyak sekali rantang ini?” tanyanya sambil menyeruput kopi dan menggigit singkong goreng.
Nisa tersenyum simpul. “Alhamdulillah, ada temannya Mas Azhar yang juga pesan catering sama saya, Pak. Lumayan nambah pemasukan.”
Pak Daud mengangguk. “Baguslah. Tapi, kamu sudah izin ke suamimu?”
Nisa terdiam sejenak, lalu menggeleng kecil. “Belum sempat, Pak. Mbak Dian juga lagi di sini, jadi saya nggak berani ganggu mereka. Lagian ini urusan kecil saja.”
Pak Daud menarik nafas panjang. Matanya menatap putrinya dengan perasaan campur aduk.
“Kamu harus sabar, Nak. Ini konsekuensi dari jalan yang kamu pilih. Bapak yakin kamu kuat. Jangan sampai hatimu kalah sama rasa cemburu.”
Nisa tersenyum pahit, menunduk. “Insha Allah, Pak. Saya akan belajar berdamai dengan keadaan. Saya yang salah telah hadir di rumah tangga Mas Azhar. Aku nggak mau kebahagiaan mereka terenggut gara-gara kebodohanku.”
Pak Daud mengelus kepala putrinya. Dalam hati, ia berdoa agar anak satu-satunya itu diberi kekuatan dan ketabahan luar biasa.
---
POV Faris
Pertama kali melihat perempuan itu… entah kenapa hatiku langsung bergetar. Ada teduh di wajahnya, ada kelembutan di senyumnya. Tidak seperti wanita kebanyakan. Ramah, sopan, anggun.
Alfathunisa Husna. Nama yang indah, sama indahnya dengan wajah pemiliknya.
Aku awalnya hanya ingin memesan makanan, sekadar katering untuk mengisi hari-hariku yang sering sibuk. Tapi setelah bertemu dengannya, hatiku jadi tak tenang. Aku ingin bertemu lagi.
Dan saat aku tahu dia ternyata istri keduanya Mayor Azhar Rifqi? Hatiku makin kacau.
Seorang mayor yang disegani, tampan, punya keluarga besar dan wanita itu, Nisa, hanyalah istri keduanya.
Bagaimana mungkin wanita sebaik itu hanya dijadikan istri bayangan?
Aku berani jujur pada diriku sendiri: aku tertarik padanya. Bahkan kalau bisa, aku ingin menjadikannya milikku. Aku tak peduli bila aku seorang duda, beranak satu.
“Kalau dia mau, aku tak ragu melamarnya…” batinku.
Aku tahu ucapan itu menyalakan bara di mata Mayor Azhar. Tapi aku juga seorang prajurit. Aku tak gentar.
Ada sesuatu dalam diri Nisa yang membuatku yakin yaitu aku harus berjuang.
aku agak binggung bacanya 🙏🙏🙏
Nisa lebih baik menikah dengan duda dari pada jadi plakor