Nayla dan Dante berjanji untuk selalu bersama, namun janji itu pudar ketika Nayla mendapatkan pekerjaan impiannya. Sikap Nayla berubah dingin dan akhirnya Dante menemukan Nayla berpegangan tangan dengan pria lain. Hatinya hancur, tetapi sebuah kecelakaan kecil membawanya bertemu dengan Gema, kecerdasan buatan yang menjanjikan Dante kekayaan dan kekuasaan. Dengan bantuan Gema, Dante, yang sebelumnya sering ditolak kerja, kini memiliki kemampuan luar biasa. Ia lalu melamar ke perusahaan tempat Nayla bekerja untuk membuktikan dirinya. Dante melangkah penuh percaya diri, siap menghadapi wawancara dengan segala informasi yang diberikan Gema.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Khusus Game, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Makan malam sederhana
Freya berjalan keluar dari lobi kantornya, tangannya menggenggam tas dengan erat, langkahnya tergesa-gesa. Sudah satu tahun sejak ia melihat Dante, dan telepon yang baru saja ia terima membuat pikirannya kacau. Jantungnya berdebar tidak karuan, antara rasa senang, cemas, dan gugup.
Begitu ia mencapai gerbang, tatapan Freya langsung menangkap sosok yang familiar. Dante berdiri di depan sebuah mobil sport mewah berwarna hitam. Pria itu tampak lebih berwibawa, pakaiannya rapi dan mahal, memancarkan aura kesuksesan yang kuat. Wajahnya yang tenang dan senyum tipis di bibirnya membuat Freya terpaku.
Dante melirik jam tangannya, lalu mengangkat pandangannya. Matanya bertemu dengan mata Freya. Senyumnya semakin lebar.
"Aku pikir kamu akan menolak," sapa Dante dengan suara yang hangat, nadanya menunjukkan kelegaan.
Freya berdiri diam, tidak dapat berkata apa-apa. Ia merasa seperti kembali ke masa lalu, saat pertama kali bertemu Dante.
"Halo!" Dante mengangkat alisnya, menunggu reaksi Freya. "Aku di sini, Freya."
Freya tersentak, rasa malu menjalari wajahnya. "Maaf, aku hanya... terkejut," kata Freya, suaranya pelan dan tidak stabil.
"Terkejut karena aku menunggu di sini?" tanya Dante sambil membuka pintu mobil. "Atau karena aku benar-benar di sini?"
Freya merasa bingung, Dante yang di depannya sangat berbeda dengan yang ia kenal dulu. Tidak ada lagi keraguan dalam nadanya, hanya keyakinan yang kuat.
"Aku hanya... tidak menyangka," jawab Freya, berusaha mengendalikan dirinya.
Dante mengangguk, gestur itu dipenuhi dengan kelembutan. "Begitulah," ujar Dante, matanya yang tajam menatap Freya dengan dalam. "Banyak hal sudah berubah, tapi aku harap kamu tidak berubah."
Freya merasakan pipinya memanas. "Kenapa kamu bisa berpikir begitu?"
Dante tersenyum, senyum itu terlihat sangat tulus. "Karena Freya yang aku kenal adalah orang yang sangat jujur pada perasaannya." Dante mengulurkan tangannya, isyarat mempersilakan Freya masuk ke mobil. "Ayo kita makan malam, aku sangat lapar."
Freya membalas senyumnya, mengangguk, dan dengan hati yang berdebar, ia melangkah masuk ke dalam mobil.
Dante melajukan mobilnya dengan santai, sementara Freya duduk diam, berusaha menenangkan detak jantungnya. Mata Freya mengamati jalanan kota yang ramai.
"Kamu terlihat nyaman di dalam mobilku," komentar Dante, suaranya memecah keheningan. "Terlihat seperti bukan hal baru bagimu."
Freya menggelengkan kepalanya tanpa memandang Dante. "Tidak juga. Aku memang sudah sering naik mobil mewah, tapi aku jarang naik mobil sport."
Dante tersenyum kecil. "Aku tidak sedang membahas itu," ucapnya. "Aku berbicara tentang caramu membawa diri. Santai, tidak kaku."
Freya mengernyitkan dahi. "Apa itu hal yang buruk?"
Dante tertawa pelan. "Tentu saja tidak," jawab Dante. "Hanya aneh melihat seorang CEO tidak bersikap seperti CEO."
Freya mengangkat bahunya. "Aku tidak nyaman dengan hal-hal formal," jawab Freya jujur. "Aku tidak ingin menjadi orang lain hanya karena jabatanku."
Dante mengangguk pelan, matanya tetap fokus pada jalanan. "Itu yang aku suka darimu," kata Dante, suaranya berubah lebih serius. "Kamu pandai dan mampu bekerja sebagai CEO, tapi kamu tidak mau bersikap seperti CEO."
Tiba-tiba, suara dering ponsel memecah keheningan di dalam mobil. Dante melirik layar ponselnya, dan ekspresinya berubah. Nama Nayla muncul di sana. Freya melihatnya dan mengangguk pelan, isyarat menyuruhnya mengangkat telepon.
Dante mengangkat teleponnya dan menempelkannya di telinga.
"Halo..." kata Dante dengan nada dingin.
"Dante, ini Nayla," terdengar suara Nayla yang penuh dengan rasa bersalah. "Aku hanya ingin mengucapkan selamat atas kesuksesanmu. Aku melihat berita itu. Kamu benar-benar berhasil, Dan."
Dante tetap diam, menunggunya melanjutkan.
"Aku tidak bermaksud mengganggu," sambung Nayla, suaranya bergetar. "Aku hanya... aku akan pergi jauh ke luar negeri. Aku tidak ingin berada di sini lagi, aku tidak ingin melihatmu lagi, dan aku tidak ingin mengganggu kebahagiaanmu lagi."
Freya memandang Dante, merasakan ketegangan dalam dirinya. Wajah Dante tetap tenang, tetapi Freya tahu ada sesuatu di matanya.
"Jaga dirimu," kata Nayla lagi. Lalu, panggilan itu berakhir.
Dante menurunkan ponselnya, kembali meletakkan perhatiannya pada Freya. "Maaf," kata Dante, suaranya kembali ke nada normal.
Freya menggelengkan kepalanya. "Tidak apa-apa," jawab Freya dengan lembut.
Dante tersenyum sinis dan kembali berkendara. Setelah beberapa saat, Dante kembali berbicara, "Apa menurutmu aku pantas untukmu?"
Freya terkejut dengan pertanyaan itu. "Apa maksudmu?"
"Kamu CEO. Kamu memiliki segalanya," kata Dante. "Dan sekarang aku juga."
Freya menatapnya tak percaya. "Itu pertanyaan yang konyol," Freya menjawab. "Aku sudah bilang sejak dulu, aku tak peduli dengan perbedaan status."
"Begitukah?" Dante menatap lurus ke depan. "Sejak awal, aku tahu kamu tidak peduli. Tapi semua orang di sekitarmu, mereka semua peduli. Itu yang membuatku harus mengubah diriku," kata Dante dengan nada penuh makna. "Apakah sekarang aku sudah pantas?"
"Kamu selalu pantas," kata Freya, memegang lengan Dante dengan lembut. "Bukan karena kamu sekarang setara denganku. Tapi karena kamu adalah kamu."
Dante mengarahkan mobilnya menuju sebuah restoran mewah di pusat kota. Begitu ia melihat plang restoran, Freya menoleh padanya.
"Kita tidak jadi makan di sana," ucap Freya. "Aku bosan dengan restoran-restoran mewah. Aku tidak nyaman dengan suasananya."
Dante menatapnya. Ia merasa Freya benar-benar berbeda dari orang lain yang pernah ia kenal.
"Kamu ingin makan di mana?" tanya Dante.
"Di mana saja," jawab Freya. "Asal tidak di sana."
Dante mengangguk, lalu memutar kemudinya. Mobil itu berbelok, menjauhi restoran mewah. Beberapa saat kemudian, ia memarkirkan mobilnya di depan sebuah warung makan sederhana. Freya memandangi warung itu, sedikit bingung.
"Ini tempat yang paling tidak formal yang bisa aku temukan di sekitar sini," kata Dante, tersenyum.
Freya tertawa kecil. "Terima kasih," kata Freya.
Mereka berdua masuk. Begitu Dante melangkah, dengan pakaian dan mobil sport di luar, semua mata langsung tertuju padanya. Tentu saja, seorang pria dengan mobil mewah datang ke warung makan sederhana menjadi pemandangan yang aneh. Dante terlihat tak peduli dengan semua perhatian itu, dan tetap berjalan mencari tempat duduk. Freya yang berada di sebelahnya justru merasa tidak nyaman. Ia menarik-narik ujung bajunya, merasa risih dengan tatapan orang-orang.
Dante melihat Freya yang tidak nyaman. Ia menggenggam tangan Freya. "Tidak apa-apa," bisik Dante. "Aku di sini bersamamu."
Mereka berdua duduk di bangku kayu panjang yang sederhana. Dante meraih buku menu, melihat-lihat daftar makanan. "Kamu mau makan apa?" tanyanya.
"Apa saja," jawab Freya. "Kamu saja yang pilih."
"Kalau begitu, aku akan memesan nasi rames untuk kita berdua," kata Dante. "Itu makanan favoritku."
Freya mengangguk, tersenyum. Ia menatap Dante. "Kamu benar-benar tidak peduli dengan tempat ini?"
"Kenapa aku harus peduli?" Dante balik bertanya. "Yang terpenting adalah makanannya enak, dan aku bisa bersamamu."
"Orang-orang melihat kita," bisik Freya, sedikit malu.
Dante melihat sekelilingnya, lalu menoleh pada Freya. "Mereka melihat mobil sportku, bukan aku," ucap Dante, suaranya penuh canda. "Lagipula, aku tidak pernah peduli dengan apa yang orang lain pikirkan tentangku."
Freya tertawa. "Kamu berubah."
"Aku memang berubah," kata Dante. "Tapi sebagian dari diriku masih sama. Aku masih menyukai hal-hal sederhana." Dante mencondongkan tubuhnya ke depan, matanya menatap Freya dengan intens. "Dan aku masih menyukaimu."