Wanita yang tidak percaya adanya hubungan dalam kata friendzone.
Apa itu friendzone? Apa gak aneh?
"Lo gak hadir sekali, gue bikin masalah."
-Nathan-
Alana tidak pernah menyangka.
diantara semua karakter diriku yang dia ketahui mungkin dia menyelipkan sedikit 'Rasa'.
aku tidak pernah tahu itu. aku cukup populer, tapi kepekaanku kurang.
dimataku, dia hanya sebatas teman kecil yang usil dan menyebalkan. aku tak pernah tahu justru dengan itulah dia mengungkapkan 'Rasa'.
pertemanan kami spesial.
bukan, lebih tepatnya, Friendzone dari sudut pandang 'Dia'.
#dont repost or plagiat this story ❗❗❗
jangan lupa komenn ^^
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Daisyazkzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
•Nathan•
..."gue memang memiliki segalanya di dunia. Dimana gue melihat, banyak keindahan yang bisa gue raih. Tapi itu bukan Lo. Sayangnya itu bukan Lo sama sekali."...
...-Nathan- ...
...*...
...*...
...*...
"Al, aku berangkat ya! Kalo ada apa-apa telpon aja!"
Alana mengangguk balas mengangkat tangannya.
Ola langsung berangkat ke sekolah setelah sarapan roti bakar buatan Alana.
Gadis itu kembali sendirian.
Sekelabat tiba-tiba ia baru teringat soal Eden.
Bagaimana kabar bocah itu?!
Alana buru-buru menelfon nomor hp Nathan, tapi tidak diangkat. Dan daftar panggilan yang tidak dijawab di hp nya ada lima belas. Kedua mata Alana membelalak, ternyata dari semalam Nathan menelfon. Dia bilang di chat, Eden sudah sadar dan menanyakannya.
Sial! Sial! Sial! Gue lupa banget! Aduh, sori ya Eden.
Secepat mungkin, Alana bersiap-siap mengenakan jaket. Ia memacu motornya ke tempat rumah sakit dimana Eden dirawat.
Alana masih teringat dua adiknya. Karena itu juga dia sangat menyayangi Eden. Berharap tidak lagi kehilangan untuk kedua kali.
Ruangan VIP. Alana akhirnya sampai di depan pintu. Kedua tangannya mendadak gemetar. Sebenarnya Alana sangat merasa bersalah pada Nathan dan Eden.
'CKLAK!'
"Kakak!!!" Eden tersenyum lebar menyambut Alana dengan kedua tangan direntangkan dan mata merahnya berbinar.
Bocah itu terduduk di kasur, dan Nathan meletakkan kepala di samping ranjang, ia tertidur kelelahan.
"Eden... maafin kakak ya. Kakak terlambat." Alana memeluk Eden. Melirik tidak tega pada Nathan yang tertidur pulas.
Kantong mata. Astaga Nathan, Lo capek banget ya.
Eden tetap tertawa, "kakak kemana aja?"
"Mm...kakak gak berantem sama kak Nathan kan?"
Alana tersentak. Eden kan menyaksikan mereka adu mulut hari itu.
"Enggak kok. Nathan sehat kan? Dia capek ya?"
Eden mengalihkan pandangan pada sosok Nathan. Ia menatap nanar wajah sang kakak.
"Kak Nathan nunggu kak Alana dari malam. Dia tidak tidur. Dia cuma suruh Eden tidur duluan."
Nathan....dia nunggu gue?
Alana bingung harus bagaimana. Semuanya sudah terlanjur, yang ada dia makin merasa bersalah.
"Maaf ya...kalian..." Hanya itu yang keluar dari mulutnya.
"Al."
Tangan Alana digenggam. Gadis itu menoleh kaget.
"Nat, udah bangun?"
Kedua matanya sayu, Nathan berusaha duduk menegakkan punggung.
"Lo kemana aja? Gue telfon gak angkat." Tanya Nathan pelan.
"Sori ya. Hp nya mode silent semalem. Sori banget, Lo nungguin ya? Mau makan gak? Gue bawain roti bakar nih."
Nathan tersenyum tipis. Mendengar Alana bicara selembut ini ia sudah cukup lega.
Eden dan Nathan mengambil roti yang dibawa Alana. Mereka makan dalam diam, suasana jadi canggung.
"Ehm....Gimana kalo hari Sabtu ini kita jalan-jalan?" Celetuk Alana, agak absurd.
"Anggap aja buat.... pokoknya mau gak?"
"Lo kan latihan." Sela Nathan dingin.
Aduh, dia kenapa coba? Tiba-tiba jadi berubah gitu.
"Ya, bolos sekali aja gak apa-apa lah." Alana mengangkat alis dua kali, menyeringai lebar. Menirukan ucapan Nathan.
Nathan tertawa kecil.
"Oke. Eden ikut ya?"
Eden ragu-ragu mengangguk.
"Eh, iya. Oke."
Sepakat. Alana tersenyum senang, untungnya, gue kira Nathan bakal marah lagi atau Eden ngambek. Ternyata gak seburuk itu.
***
"Ohayo! Kemana aja Nat?"
"Wassap Yo!" Nathan mengangkat tangan.
Kemunculannya membuat kelas berubah terang. Padahal sebelumnya sangat suram.
Nathan mengenakan jaket merah seperti biasa dengan seragam sekenanya. Gelang silver berantai di tangan kiri. Dan tas selempang hitam putih.
"La, Alana sama Bryan mana?" Tanya Nathan setelah duduk di bangku.
Ola mendengus pendek.
"Mereka kena skorsing. Gara-gara kamu bolos waktu pemeriksaan, Alana ikut kena. Pas dia protes ke OSIS, dia malah dihukum dan posisi ketua kelas diganti."
"Ha? Yang bener Lo?"
Ola mengangguk yakin. Menatap pasrah wajah Nathan yang memanas.
"Ah, sial. Kan gue yang bolos, dia udah ngelarang kok. Kenapa malah dia yang dihukum?!"
Nathan bergumam kesal, tanpa ba-bi-bu dia bergegas angkat kaki. Pergi langsung ke ruang guru.
Lagian kenapa dia nggak ngomong? Alana, Lo pinter banget ya nyembunyiin masalah Lo sendirian.
Nathan langsung masuk tanpa mengetok pintu. Cowok itu berani sekali duduk begitu saja di depan guru BK walaupun ditatap tajam oleh guru lain.
Masih pagi, Nathan sudah datang saja. Mungkin itu isi pikiran para guru.
"Pak."
"Ada apa Nathan?" Tanya pak Febi dengan tatapan hormat sekaligus ramah.
Berubah ya? Sebelumnya orang-orang ini kan selalu ngebodohin gue.
"Kenapa Alana kena skorsing pak? Kan saya yang bolos." Tukas Nathan tanpa basa-basi.
Pak Febi menggeleng pelan, "itu perintah kepsek Nathan."
Kepsek?
"Oke pak, saya kesana."
"Eh-hei!"
Telat, Nathan sudah tidak mendengar. Dia berjalan menuju pintu kedua tempat ruangan kepsek.
"Pak, saya Nathan!"
"Nak Nathan? Silahkan masuk."
Nathan melangkah masuk, sekilas melirik seorang wanita cantik yang duduk di hadapan pak kepsek. Entah siapa dia, wajahnya mirip seseorang.
Wanita itu sempat memberinya senyuman kecil.
"Halo. Kamu tampan sekali."
"Ya, halo juga." Hanya itu sarkasme yang keluar dari mulut Nathan, emosinya terlanjur tersulut, dia langsung mengambil kursi lain dan duduk seenaknya di samping meja pak kepsek botak itu.
"Nak Nathan, terima kasih ya atas sumbangannya bulan ini. Perkenalkan ini ibu Agatha Christie. Salah satu rekan bisnis ibumu sekaligus sponsor terbesar kedua kita." Kata pak kepsek.
"Bukan urusan saya. Pak, kenapa Alana diskors? Dia salah apa?" Nathan memotong cuek.
"Hmm, nak Nathan, kebetulan kamu lagi disini. Saya mencalonkan kamu ikut kejuaraan badminton mewakilkan sekolah kita dengan satu murid perempuan lagi." Seolah tidak peduli, pak kepsek malah mengalihkan pembicaraan.
"Ini putra Claudia Rissa? Tampan sekali seperti karakter yang hanya ada di komik. Nathan, aku ini rekan kerja ibumu." Perempuan tadi ikutan memegang pundaknya.
"Permisi, Bu. Pak kepsek." Di tengah suasana menyebalkan ini, mereka kedatangan seseorang.
Entah kenapa Nathan mendadak benci melihat wajahnya, dia berpaling ke arah lain.
"Oh Shireen sudah datang! Nah, ini Nathan yang nantinya akan bertanding dengan kamu."
Shireen menoleh, dia tersenyum persis di depan wajah Nathan.
"Nat? Udah tahu kan? Sekarang gue lho ketua kelas kita!"
Nathan tidak meladeninya. Dia tetap melihat kearah kepsek yang malah asyik lanjut mengobrol dengan Agatha yang katanya rekan kerja ibunya.
Jengkel, Nathan berdiri, ia keluar tanpa permisi bahkan menutup pintu keras-keras.
Meninggalkan Shireen yang masih mengajaknya ngobrol.
Karena kelewat kesal, Nathan akhirnya bolos lagi. Cowok itu mengajak Hajun, satu-satunya anak yang tidak segan setelah mengetahui level Nathan, kuasanya.
Dia pergi ke tempat permainan bowling sambil memikirkan apa yang harus dikatakannya pada Alana nanti.
Lagipula setelah Shireen yang entah tahu darimana soal latar belakangnya mengumumkan terang-terangan tentang itu, rata-rata murid lain mulai menatapnya dengan tatapan berbeda, entah segan atau takut.
Nathan berharap, setidaknya sekarang dia tidak akan bisa dimanfaatkan lagi seperti dulu.
Gue yang sekarang beda.
***
"Alana~ gue pulang! Al, mana Eden?"
Alana menyeringai sebal.
Emang gue pelayannya ya? Seenaknya manggil-manggil.
"Ada di kamar, udah tidur."
Nathan senyum-senyum sendiri sambil duduk di sofa, meluruskan kaki.
"Al, parah Lo gak sekolah. Bolos Mulu." Ledeknya asal.
Alana masih menahan emosi, dengan kesabaran setipis tisu dibelah empat, dia tersenyum paksa.
"Iya pangeran. Gara-gara siapa coba?"
Nathan sengaja. Kalau seperti ini suasananya kan jadi lebih enak, tidak terlalu serius.
"Alana kena skorsing pertama dalam hidupnya, anjay."
"Bacot! Udah, gue pulang dulu ya. Adios."
"Eh Al! Gue udah pesenin tiket buat kita jalan-jalan nanti ke taman hiburan. Sama, ongkos buat Lo ya." Ujar Nathan, ia menyodorkan bungkus roti kopi favorit Alana sebelum dia pulang.
Dia kena skorsing karena gue, tapi gak ngomong ² ke gue. Gak kesel apa dia?
"Hah?! Gila? Sepuluh juta?!" Kedua mata Alana membelalak, begitu mengecek rekening bank di hp, isi saldonya ada sepuluh juta.
"Nat, ngapain sebanyak ini? Kerjaan gue gak banyak kok, udah tarik lagi, sisain sejuta aja!"
Transferan itu sudah pasti dari Nathan. Hari ini Alana dapat gaji pertamanya.
"Chill Al. Ambil aja. Malah kata mama nanti kalo dia pulang ditambahin lagi buat Lo."
Nathan tersenyum mantap.
Alana berhak mendapatkan semua ini. Setelah banyak pengorbanan, tidak ada salahnya dia bahagia. Eden juga menyukainya, dia berubah seratus derajat setelah dididik Alana selama sebulan ini.
Karena Alana memberikan seluruh kasih sayangnya, yang seharusnya untuk Arga dan Aysa.
Itu adalah sebuah kunci, Eden juga merasa dirinya dicintai dengan tulus.
"Halah banyak gaya!"
"Gue kan sultan!"
Mereka tertawa.
Al, gue minta maaf. Anggap aja itu buat menebus kelakuan gue.
***