Anya bermimpi untuk memiliki kehidupan yang sederhana dan damai. Namun, yang ada hanyalah kesengsaraan dalam hidupnya. Gadis cantik ini harus bekerja keras setiap hari untuk menghidupi ibu dan dirinya sendiri. Hingga suatu malam, Anya secara tidak sengaja menghabiskan malam di kamar hotel mewah, dengan seorang pria tampan yang tidak dikenalnya! Malam itu mengubah seluruh hidupnya... Aiden menawarkan Anya sebuah pernikahan, untuk alasan yang tidak diketahui oleh gadis itu. Namun Aiden juga berjanji untuk mewujudkan impian Anya: kekayaan dan kehidupan yang damai. Akankah Anya hidup tenang dan bahagia seperti mimpinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ahmad Tyger, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16 - Pertengkaran Hebat
Ia terus melangkah ke arah Anya. Wajahnya menampilkan ekspresi sedih, marah, dan kecewa sekaligus. Deny dan Anya masih sibuk bertengkar, tidak sadar akan kedatangan Natali. Natali pun mengambil gelas kopi di depan Anya, lalu tanpa peringatan, menyiramkan seluruh isinya ke baju Anya. Anya terkejut dan refleks berdiri karena tidak menyangka ada orang yang mendekat.
Pakaian cerah Anya langsung ternoda. Tas edisi terbatas yang sejak lama diincar Natali basah kuyup dan kotor oleh kopi. Dalam hati, Natali puas melihat tampilan Anya yang berantakan. Tapi wajahnya tetap ia pasang sebagai korban. Korban dari perselingkuhan Anya dan Aiden.
Dengan kemampuan aktingnya yang luar biasa, Natali mempermalukan Anya di depan umum dengan sangat mudah. Tak butuh waktu lama untuk membuat air mata jatuh. Dalam hitungan detik, butiran air mata mulai menetes dari wajah cantiknya, membuat semua orang di kafe merasa iba padanya.
"Kenapa kamu merebut tunanganku? Apa salahku padamu?" ucap Natali dengan suara gemetar, seolah-olah hatinya benar-benar remuk. Ia menatap Anya dengan pandangan tak percaya, seolah tak bisa menerima kenyataan bahwa seseorang bisa sejahat itu, merebut pria yang ia cintai. Skenarionya sungguh sempurna.
Tempat duduknya cukup jauh dari Anya, dan pendengaran Abdi sudah mulai menurun karena usia. Ia tidak bisa mendengar jelas percakapan antara Anya dan ayahnya. Tapi ia bisa menebak isi pembicaraan mereka dari nada suara Deny yang makin lama makin tinggi.
Dari apa yang bisa ia tangkap, Deny sedang meminta bantuan pada Anya, tapi Anya menolak. Hanya itu yang bisa ia simpulkan.
Namun lama-kelamaan, suara Deny semakin keras, menarik perhatian semua orang di kafe. Saat itulah Abdi merasa ia harus melaporkan kejadian ini kepada Aiden.
"Tuan, Nyonya sedang dalam masalah," kata Abdi begitu sambungan teleponnya terhubung.
"Ada apa?" tanya Aiden cepat.
"Sepertinya Tuan Deny sedang memarahi Nyonya," jawab Abdi.
Lewat sambungan telepon, Aiden samar-samar bisa mendengar keributan di latar belakang. Suara teriakan Deny juga sempat terdengar meski tidak begitu jelas.
Aiden mendengar suasana ramai itu tiba-tiba berubah hening. Keheningan itu menimbulkan firasat buruk di hatinya. Ia pun langsung meninggalkan pekerjaannya dan menuju ke basement kantor bersama Harris. Untungnya, ia memang selalu menyimpan salah satu mobilnya di kantor untuk keadaan darurat seperti ini.
"Aku segera ke sana," ujarnya singkat sebelum menutup telepon.
Setelah panggilan berakhir, Abdi merasa bingung. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Ia hanya seorang sopir. Ia tidak punya wewenang ikut campur dalam urusan pribadi Nyonya Anya, majikannya saat ini. Lagi pula, Aiden hanya memintanya untuk mengawasi Anya dari jauh. Bahkan saat tadi ia melapor pun, Aiden tidak memberikan perintah apa pun selain mengatakan bahwa ia akan segera datang.
Lalu, apa yang harus ia lakukan sekarang?
Sepertinya satu-satunya hal yang bisa ia lakukan hanyalah menunggu tuannya datang. Ia hanya bisa berharap, Aiden akan tiba secepatnya.
Kopi itu tidak hanya membasahi tubuh Anya, tapi juga rambut panjang dan wajahnya. Ia terlalu terkejut karena Natali tiba-tiba menyiramkan kopi hingga dirinya tak mampu berkata apa-apa. Tubuhnya terasa kaku, tak bisa bergerak.
Kejutan, amarah, dan kesedihan bercampur jadi satu di hatinya. 'Apa salahku sampai harus diperlakukan seperti ini?'
Ia bisa mendengar orang-orang di sekitarnya mulai berbisik-bisik menghina. Bahkan, beberapa dari mereka berbicara cukup keras agar ia bisa mendengarnya.
Perempuan murahan, wanita penggoda, perebut tunangan orang...
Kata-kata itu keluar dari mulut mereka, berusaha mempermalukan dan menyudutkan Anya. Mereka menghakimi hanya berdasarkan kabar burung dan pengakuan sepihak. Ia bahkan tak diberi kesempatan untuk membela diri.
Anya menunduk, melihat kondisi bajunya saat ini. Baju yang dipilihkan oleh Bu Hana pagi tadi. Baju yang membuatnya semangat saat meninggalkan rumah. Baju indah itu kini kotor, terkena noda kopi.
Ia mendongak, menatap wajah ayahnya. Deny hanya menatapnya dingin. Ia tidak melakukan apa-apa. Ia hanya diam saat melihat Natali menyiram putrinya sendiri di depan umum.
Bahkan, Anya bisa melihat sedikit senyuman sinis di ujung bibir Deny, seolah berkata bahwa semua ini pantas ia terima.
'Benarkah dia ayahku? Apa dia benar-benar ayah kandungku?'
Ayah seperti apa yang tega melihat putrinya diperlakukan seperti ini?
Ia melihat orang-orang di sekelilingnya. Sekelompok perempuan tertawa kecil saat melihatnya basah kuyup. Beberapa dari mereka mengangkat ponsel, merekam pertengkaran itu seolah ini hiburan yang layak ditonton.
Beberapa pelayan terlihat panik. Mereka ingin membantu tapi juga takut, hingga akhirnya hanya berbisik-bisik dan gelisah menunggu manajer mereka.
Tak ada satu pun orang di tempat itu yang bisa ia andalkan. Saat ini, ia benar-benar sendirian dan harus menghadapi semuanya sendiri.
"Kenapa kamu merebut tunanganku? Apa salahku padamu?" ucap Natali dengan suara lirih sambil tersedu.
Anya ingin tertawa mendengar perkataan itu. Ia melihat Natali datang dengan pakaian mewah dan tas bermerek. Rambut cokelatnya ditata dengan indah, lengkap dengan riasan tebal.
Mengapa selama ini ia tak menyadari bahwa perempuan yang ia anggap saudara itu ternyata penuh tipu daya?
"Aktrismu luar biasa." ucap Anya dingin, menatap Natali dengan berani.
Ia mengatakan itu untuk membela diri. Tapi di mata orang lain, ia justru tampak seperti pelaku yang tak mau mengaku dan malah menyalahkan orang lain.
Perkataan Anya membuat tangisan Natali terdengar makin nyaring. Kemampuannya berakting memang patut diacungi jempol. Ia bisa menarik simpati orang dengan mudah.
"Kenapa kamu melakukan ini padaku?" tangis Natali.
Namun, Deny hanya mendengus dan memalingkan wajah, seolah malu melihat putrinya sendiri.
Anya tak tahu lagi harus berkata apa. Apa pun yang ia lakukan tak ada gunanya. Ayah kandungnya sendiri tak percaya padanya, apalagi orang lain.
"Aku bahkan berniat meminjamkan tabunganku untuk pengobatan ibumu. Tapi saat kamu tahu tunanganku orang kaya, kamu malah mendekatinya dan tidur dengannya."
Natali terisak. "Kamu melukai hatiku. Kalau kamu ingin menyangkal semuanya, tak perlu menyalahkanku. Akulah korbannya!"
Anya lelah menghadapi semua kebohongan itu. "Kamu memang sudah menjebakku. Tapi kamu kira Aiden tidak tahu?" ucapnya pelan.
Perkataan itu membuat Natali sedikit terkejut. Topeng di wajah cantiknya seakan retak sesaat.
'Bagaimana Aiden bisa tahu?' Semua bukti sudah dihapus. CCTV dimusnahkan, saksi dibungkam. Lagi pula, Aiden buta. Mana mungkin dia tahu siapa yang mengirim Anya ke kamarnya?
Anya melihat keraguan di mata Natali dan terus menekannya. Ia harus membuat Natali mengaku.
"Aku dengar sendiri dari asistennya Aiden, Harris, bahwa kamu yang mengatur semuanya. Kamu yang mengirimku ke kamar hotel Aiden agar pertunangan kalian batal."
"Omong kosong!" Natali berteriak, suaranya terdengar mulai panik.
"Kalau ibuku sakit, apakah keluargamu membantu? Ayah bahkan tak peduli. Lalu kenapa sekarang aku harus membantu kalian?"
Semua emosi yang ia tahan selama ini akhirnya meledak.
"Kurang ajar! Berani sekali kamu menuduhku seperti itu!" Deny tak bisa menahan diri lagi. Ia berdiri dan menampar Anya keras.
Mata Anya membelalak tak percaya. Tangannya langsung memegang pipinya. Air mata mengalir dari sudut matanya. Pipinya memang perih, tapi rasa sakit di hatinya jauh lebih menyiksa.