Casanova seorang gadis cantik. Namun sayang sekali dengan parasnya yang cantik ia memiliki kekurangan. Kedua matanya buta. Meski ia buta ia merupakan kembang desa. Karena kecantikannya yang luar biasa. Walaupun ia buta ia memiliki kepandaian mengaji. Dan ia pun memiliki cita cita ingin menjadi seorang Ustadzah. Namun sayang...cita cita itu hanya sebatas mimpi dimana malam itu semuanya telah menjadi neraka. Saat hujan turun lebat, Casanova pulang dari masjid dan ditengah perjalanan ia dihadang beberapa pemuda. Dan hujan menjadi saksi. Ia diperkosa secara bergantian setelah itu ia dicampakan layaknya binatang. Karena Casanova buta para pemuda ini berfikir ia tidak akan bisa mengenali maka mereka membiarkan ia hidup. Namun disinilah awal dendam itu dimulai. Karena sifat bejad mereka, mereka telah membangkitkan sesuatu yang telah lama hilang didesa itu.
"Mata dibayar mata. Nyawa dibayar nyawa. Karena kalian keluarga ku mati. Maka keluarga kalian juga harus mati.
Yuk...ikuti kisahnya!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wida_Ast Jcy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 7 CASSANOVA PULANG
"Pasti Mbak-mu ketakutan, No… Kalau kamu tidak bilang, ibu berfikir mungkin dia masih bersama teman-temannya di surau sedang mengaji. " ucap sang ibu dengan suara lirih, nyaris tenggelam dalam kepedihan yang ia sembunyikan di balik senyumnya yang sendu.
Perlahan, ia menarik gorden kembali menutup jendela, lalu melangkah tertatih menuju pintu. Tangan tuanya meraih sebuah payung tua di sudut ruangan. Besinya sudah karatan, beberapa ruasnya copot, dan kainnya berlubang kecil. Tapi bagi Bu Rahmi, payung itu cukup. Setidaknya bisa melindungi kepala Casanova jika nanti ia temukan di luar sana.
“Ibu mau ke mana?” tanya Kayano, khawatir.
“Ibu mau menyusul Mbak-mu. Tadi ibu kira benar ada pengajian, karena dia begitu memaksa ingin berangkat kesurau. Ibu pikir, meski hujan deras, kalau sama teman-temannya, kakamu pasti akan aman. Tapi sekarang... "ucap sang ibu dengan terputus.
"Tapi...kalau ternyata tak ada siapa-siapa di sana, bagaimana kalau dia sendirian, No? Ya Allah, Nova… tunggu Ibu, Nak…” lirih Bu Rahmi, suaranya bergetar menahan air mata yang hendak jatuh.
Dalam dadanya, rasa bersalah mulai menekan begitu kuat. Ia tidak hanya khawatir, tapi juga kecewa pada orang-orang di sekelilingnya yang memilih diam.
Ia menggigit bibir. Anak-anak tetangga yang biasa ikut pengajian bersama Casanova, bukankah mereka juga tak berangkat malam ini? Mereka punya ponsel, mereka tahu tidak ada pengajian.
Tapi kenapa tidak ada satu pun yang sudi memberi tahu? Bahkan Tika yang jelas sudah menerima pesan langsung dari Kayano pun tidak datang menyampaikan apa pun. Padahal rumah mereka hanya selemparan batu jauhnya.
Lebih menyakitkan lagi, Bu Rahmi masih ingat jelas saat Casanova pamit setelah shalat Isya. Tika sedang duduk-duduk santai di teras rumah, tapi tak mengatakan sepatah kata pun. Tak menahan nya, tak menjelaskan, tak bertanya. Dia hanya diam saja melihat Casanova pergi kesurau.
"Ya... Allah... anakku, Nova. " gumam sang ibu dalam hati.
Bu Rahmi menatap langit yang mulai gelap pekat dari balik pintu kayu yang terbuka. Angin malam menyeruak masuk, membawa aroma tanah basah yang makin menyengat. Gerimis yang tadi hanya setetes-dua tetes, kini mulai turun dengan ritme lebih rapat. Rintik-rintiknya menghantam genteng dan dedaunan seperti suara detak jantung yang gelisah.
Ia melangkah keluar, menggenggam payung tua yang berderit saat dibuka. Angin berembus kencang, membuat kain payung itu terangkat sebagian, goyah tak stabil. Tapi Bu Rahmi tak peduli. Matanya menyapu setiap sudut jalan kampung yang hanya diterangi temaram lampu jalan yang kelap-kelip nyaris mati.
“Ya Allah, lindungi anak hamba…” bisiknya, melangkah cepat meski lututnya sudah gemetar.
Langkahnya menyusuri jalan setapak yang kini becek dan licin. Sesekali, kilatan petir menyambar di kejauhan, memperlihatkan bayang-bayang pepohonan yang menari liar ditiup angin. Bunyi gemuruh menyusul, menggetarkan tanah dan menambah rasa cemas yang semakin mencengkeram dada.
Bu Rahmi menarik shawlnya lebih erat ke tubuh. Pakaiannya sudah basah di bagian bawah, namun ia tetap melangkah. Ia berhenti sejenak di dekat tikungan menuju surau. Tidak ada cahaya. Tidak ada suara. Hening. Hanya hujan dan desir angin yang kini makin menjadi-jadi.
Ia berdiri di sana, terdiam, mendadak merasa kecil di tengah gelap malam yang seolah menelannya bulat-bulat. Tapi pikirannya tetap tertuju pada satu nama. Yaitu Cassanova puteri nya.
Sungguh malang nasib menjadi orang tak punya. Kejadian seperti ini bukan kali pertama dialami. Para tetangga sering kali memperlakukan keluarganya dengan ejekan dan pandangan sinis. Terlebih bagi gadis-gadis di kampung itu, seakan Casanova adalah ancaman. Tak satu pun dari mereka yang benar-benar ingin berteman dengannya.
Mereka tidak menyukai Casanova bukan karena kekurangan, tapi justru karena pesonanya. Wajahnya cantik dan mencolok. Meski hidup dalam keterbatasan, tak sedikit pria yang diam-diam mengaguminya. Hal inilah yang membakar iri hati dan dengki para gadis di sekitar desa mereka.
"Tunggu, Bu. Kayano ikut jemput Mbak Nova" ujar Kayano dengan kecemasan.
"Kamu baru saja pulang, No. Badanmu pun masih menggigil. Tidak usah ikut. Lebih baik kamu pulang saja. Biar Ibu saja. " jawab Bu Rahmi, dengan terus berjalan tanpa memperdulikan Kayano puteranya.
Dengan napas pelan, ia terus membaca bismillah sebelum memohon keselamatan, menyongsong hujan yang kini turun dengan deras disertai angin yang menggila. Langit makin kelam, petir sesekali menyambar, menggetarkan tanah tempat mereka berdiri.
Kayano memperhatikan ibunya dari belakang, matanya mengikuti langkah tertatih wanita tua itu di tengah guyuran hujan. Namun belum jauh melangkah, Bu Rahmi tiba-tiba terhenti. Kilatan petir menyambar di kejauhan, dan sesosok bayangan muncul di tepi jalan, tak jauh dari mereka.
Seseorang berdiri kaku, tubuhnya kuyup. Rambut hitam yang basah menutupi sebagian besar wajahnya. Kemeja lusuh yang ia kenakan tampak nya koyak sana-sini. Lengan bajunya sobek, dan hampir semua kancing terlepas dan menyisakan satu yang menggantung di bagian tengah.
Bu Rahmi membelalakkan mata. Napasnya tercekat.
“Cassanova…! anak ku...” serunya nyaris tak percaya, suara parau tenggelam di tengah deru hujan dan gelegar petir.
Kayano tersentak saat menyadari bahwa wanita yang berdiri kaku di bawah guyuran hujan yang deras itu adalah kakaknya Cassanova. Meski tanpa hijab yang biasa membingkai wajah lembutnya, Kayano mengenalinya seketika. Ia langsung terus berlari mendekat, tak peduli tubuhnya kembali disergap dinginnya hujan yang semakin lebat, seakan langit ikut menangis.
“Mbak Nova! Ya Allah… Mbak! Apa yang terjadi?!” teriak Kayano, suaranya hampir tenggelam oleh deru hujan dan angin yang mengamuk seperti kehilangan kendali.
Bu Rahmi juga mendekat dengan langkah gemetar. Ia segera menopang putrinya yang hampir roboh, sebelah tangannya menyibak rambut Cassanova yang menempel di wajah basah dan kusut, tak tertutupi hijab seperti biasanya. Jantungnya berdebar kencang.
"Astaghfirullah...!" serunya lirih, matanya membelalak melihat wajah putrinya yang lebam. Pandangannya kabur oleh air hujan yang tak kunjung reda, namun bayangan luka-luka itu terlalu jelas untuk diabaikan.
"Apa yang terjadi padamu, Nak? Kenapa kamu seperti ini...?" Bu Rahmi menutup mulutnya dengan satu tangan, menahan isak yang nyaris pecah. Matanya memerah, dikuasai rasa takut dan duka yang tak tertahankan.
Ia menatap putrinya penuh iba, wajah yang dulu berseri, kini penuh luka. Leher Cassanova dipenuhi bekas merah seperti jejak kekerasan. Semua itu membuat hatinya mencelos. Apa yang telah terjadi pada anak gadisnya?
"Aku… pulang, Bu… Ca…sa..nova sudah pu..lang…” ucap Cassanova dengan lirih, suaranya parau dan terputus-putus. Bibirnya bergetar, matanya berbinar, seakan seluruh tenaga telah hilang dari tubuhnya. Dan benar saja, beberapa detik kemudian tubuhnya ambruk dan jatuh.
Kayano dengan sigap menangkapnya sebelum tubuh kakaknya jatuh menghantam tanah basah. Ia memeluk tubuh Casanova yang dingin dan basah kuyup itu erat-erat, seakan ingin melindunginya dari dunia yang telah begitu kejam.
“Cassanova!...
"Anak ku...ya Allah!!”
Ibunya pun menjerit, tangisnya pecah bersama gelegar petir yang menyambar langit kelam.
BERSAMBUNG...
mampir juga yuk kak ke karyaku