Perjanjian Nenek Moyang 'Raga'' zaman dahulu telah membawa pemuda ' Koto Tuo ini ke alam dimensi ghaib. Ia ditakdirkan harus menikahi gadis turunan " alam roh, Bunian."
Apakah ia menerima pernikahan yang tidak lazim ini ? ataukah menolak ikatan leluhur yang akan membuat bala di keluarga besarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ddie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tarikan Dimensi Alam Roh
Kabut menutup dunia seperti pintu batu menutup makam, semua suara menghilang.
Semua wujud lenyap tidak ada kiri, tidak ada kanan, tidak ada atas maupun bawah.
Yang tersisa hanya napas Nadira—tercabik, terputus, bergema seolah di dalam rongga raksasa yang hampa.
Sesuatu menyentuh pipinya bukan tangan bukan angin seperti ingatan yang menempel pada kulitnya, dingin dan tidak bisa dilepaskan.
“Nadira…” suara Arumi terdengar serak, seakan muncul dari balik tubuhnya sendiri. “Pilih sekarang.”
Ia membuka mata dan tidak lagi di jalan berbatu Koto Tuo tapi berada di antara dua dunia. Lembah bayangan—tempat tanah menggantung tanpa gravitasi, akar-akar tumbuhan menjuntai dari langit tanpa menyentuh permukaan apa pun, dan kabut bergerak seperti makhluk hidup yang bernafas.
Di sisi kiri sebuah jalan kecil berpendar samar, remang kuning bagaikan nyala lampu minyak yang hampir padam. Di ujungnya, siluet Raga… merosot, hampir jatuh—seolah diseret oleh kekuatan besar, lebih gelap darinya.
Di sisi kanan gelombang kabut hitam membentuk mulut besar menganga. Di dalamnya, ada bayangan tubuhnya sendiri—namun tanpa mata, tanpa suara, tanpa nafas—seolah menunggu pasif untuk menggantikannya.
Dan di tengah-tengah, di sampingnya, bayangan Arumi berdiri lenyap kapan saja.
“Raga akan hilang kalau kamu tidak menariknya kembali,” kata Arumi pecah menahan luka dalam. “Tapi kalau kamu mencoba… alam akan mengambil mu sebagai ganti.”
Nadira menelan ludah, “Aku… aku cuma manusia, Arumi. Aku nggak ngerti dunia kalian. Aku nggak ngerti apa yang terjadi di sini.”
“Kamu mengerti,” ucapnya lembut mengiris setajam pisau. “karena itu kamu dipanggil.”
Gadis itu menggeleng keras, rambutnya bergoyang di atas udara statis. “Bukan aku yang dipanggil. Aku cuma—”
“Salah.” Arumi menatap tajam, matanya menyala amarah yang tertahan. “Bagian jiwa Raga yang hilang… memilih kamu. Bukan aku.” Kata-kata itu menusuk menyala membelah udara sepi.“Karena itu, aku dan kamu berada didua sisi yang sama… tapi bukan sebagai sahabat.”
Kabut di sekitar mereka bergemuruh lautan ditabrak badai, menggema di dalam kepalanya.
Dari jauh, Raga mengerang pelan— napasnya yang tersedak.
“Na…di…ra…”
Suara itu bukan panggilan bukan permintaan tolong tapi tarikan—bagian tubuhnya yang hilang menuntut kembali ke pemiliknya dengan kuat.
Nadira melangkah tanpa sadar satu langkah ke arah jalan kiri.Arumi langsung meraih lengannya mencengkeram dingin batu nisan kering.
“Kamu tidak boleh masuk garis kehidupannya. Dunia kami bisa mengklaimmu, dan kamu tidak akan pernah kembali ke dunia.”
Gadis itu tercekat, " Tapi.. kalau aku nggak ke sana, Raga bisa hilang!”
Arumi tersenyum sedih, parut di pipinya terlihat jelas. “Ya" jawabnya pelan.
Kabut di kanan perlahan membuka, memperlihatkan bayangan tubuh Nadira hampa tanpa tujuan, tanpa masa depan. Pasif… menunggu menjadi pengganti.
Ia benar benar panik, jantungnya menghantam tulang rusuk seperti mau pecah. “Berarti aku harus masuk ke situ menyelamatkan Raga ?!”
Arumi tidak menjawab memalingkan wajah, retakan di pipinya melebar air mata mengalir tapi tidak ada “Raga tidak punya banyak waktu lagi.”
“Arumi… aku takut.”
“Aku tahu, tapi ketakutan manusia terkadang lebih kuat dari kekuatan kami yang abadi.”
Makhluk tanpa wajah muncul kembali berdiri tepat di depan Raga, tangannya panjang seperti duri pelepah enau, hendak meraih kepalanya“Batas waktumu habis,” ucapnya datar menyakitkan telinga. “Pilihannya mati… atau kembali.”
“Jangan sentuh dia!”teriak Nadira panik
Arumi memekik melengking “Nadira, kalau makhluk itu menyentuh Raga…dia bukan lagi manusia seutuhnya. Dia akan—”
Brak ! Tanah pecah, lubang hitam terbuka lebar mulut neraka.
Raga terjatuh berlutut, tubuhnya bergoyang. Makhluk itu menunduk, jarinya hampir menyentuh dahinya berkeringat dingin.
Nadira tidak berpikir panjang lagi berlari
menerobos kabut batas antara dunia, menerobos ketakutannya sendiri
Dan tepat sebelum jari makhluk itu menyentuh kepala Raga…Ia berhasil menarik tubuhnya keras, dan keduanya jatuh bersama ke tanah
Bum !
Cahaya putih menyilaukan, mengaburkan semuanya. Suara Arumi terdengar sayup, seperti ditelan lautan kegelapan.“Nadira… kamu… memilih jalan itu…”
Lalu gelap total.
\=\=\=
Kabut yang tadinya seperti lautan gelap kini mengambang tipis, sisa asap dupa setelah lampu dimatikan, tidak ada lagi raungan, tidak ada lagi dentuman dunia lain—hanya desis halus, napas bumi yang baru terbangun.
Nadira jatuh berlutut, dadanya kehilangan beban, rasa lega dan hampa datang bersamaan
Raga berdiri beberapa langkah darinya goyah, memegangi dadanya sendiri… seolah cahaya kembali ke tubuhnya belum sepenuhnya menyatu.
“Raga…?”Nadira memanggilnya setengah takut, setengah tak percaya.
Ia menoleh perlahan wajahnya tidak lagi kosong, tidak pucat seperti boneka kayu rusak. Ada manusia di sana, ada Raga yang dulu dia temui di Jakarta—yang tatapannya berat tapi hangat, yang senyumnya pelan, suara menahan banyak hal.
Tapi ada sesuatu yang baru dalam, gelap.
tenang, tapi tua.
“Dira…” suaranya parau, baru menemukan pita
Gadis itu pengin berdiri, tapi kakinya gemetar. “Lu—lu balik… beneran balik?”
Ia membuka mulut… dan untuk pertama kali senyum kecil mengambang di bibirnya“Gue nggak tahu kalau gue… pergi sejauh itu.”
Nadira terisak. “Gue datang ke koto tuo, Ga mencari lu, memanggil lu, tapi lu gak menoleh."
“Dan gue denger.” Raga melangkah mendekat, “Suara lu menarik gue dari tempat kekegelapan.”
Gadis itu memalingkan wajah melirik Arumi yang menjauh, menunduk, rambutnya tertutup retakan di wajahnya. .“Arumi…terimakasih”
Ia mengangkat wajahnya tidak ada marah. Tidak ada tersinggung “Bagus,” ucapnya samar. “Berarti kamu berhasil memanggilnya pulang.”
“Tapi Arumi, kamu semakin hilang.”
' Tidak....aku tidak hilang...aku selalu berada disini."
Raga menatap sorot mata baru pulih. Ada rasa… hormat? Sedih? Atau kenangan samar yang nggak bisa dia jelaskan." Arumi?”
"Kita pernah terikat,” jawabnya pelan. “Tapi bukan seperti manusia menjalin hubungan.”
Nadira menelan ludah, " Arumi kamu marah?"
“Tidak, " jawabnya pelan, tapi kata katanya seperti menahan rasa yang bergejolak. Tanah bergetar pelan—bukan gempa, bukan ancaman—tapi itu adalah aba-aba lembut dari dunia bunian untuk menyuruhnya pergi