NovelToon NovelToon
Dewa Alkemis Pengurai Jiwa

Dewa Alkemis Pengurai Jiwa

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Timur / Epik Petualangan / Iblis / Balas Dendam / Mengubah Takdir / Perperangan
Popularitas:3.2k
Nilai: 5
Nama Author: Nugraha

“Yang hidup akan ditumbuk menjadi pil, yang mati akan dipaksa bangkit oleh alkimia. Bila dunia ingin langit bersih kembali, maka kitab itu harus dikubur lebih dalam dari jiwa manusia…”

Di dunia tempat para kultivator mencari kekuatan abadi, seorang budak menemukan warisan terlarang — Kitab Alkimia Surgawi.
Dengan tubuh yang lemah tanpa aliran Qi dan jiwa yang hancur, ia menapaki jalan darah dan api untuk menantang surga.

Dari budak hina menuju tahta seorang Dewa Alkemis sekaligus Maharaja abadi, kisahnya bukanlah tentang keadilan… melainkan tentang harga dari kekuatan sejati.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nugraha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 6 : Raciklah Jalanmu Sendiri

Li Yao segera menyusul Lan Ci masuk ke dalam tenda Kakek Qiao. Di sudut ruang sempit yang lembap itu, tubuh Kakek Qiao terbaring lemah di atas tikar lusuh. Napasnya terengah-engah, dan setiap batuknya terdengar seperti derit pintu tua yang hendak lepas dari engselnya.

Lan Ci segera berlutut di sampingnya memegangi bahu sang kakek dengan cemas. Li Yao tak berkata apa-apa namun langkahnya mendekat perlahan, hingga akhirnya ia duduk di sisi Kakek Qiao.

“Li Yao.” Gumam Kakek Qiao dengan suara parau, matanya hanya setengah terbuka.

Dengan gerakan gemetar ia menyelipkan tangannya ke bawah tikar reyot yang selama ini menjadi alas tidurnya. Dari sana ia mengeluarkan sebuah kantong kain kecil berwarna kusam, kain itu sudah tua dan tampak rapuh oleh waktu.

“Ini bukan warisan,” katanya lirih, suaranya nyaris kalah oleh desiran angin malam yang menyusup ke sela-sela tenda.

“Bukan pula rahasia besar seperti yang ada di sekte sekte besar… ini hanya pelajaran. Pelajaran yang kubayar dengan tubuhku sendiri.”

Li Yao menerima kantong kain itu dengan hati-hati. Ketika ia membukanya yang terlihat hanyalah beberapa akar kering yang sudah kehilangan warna, dua biji kecil yang keras seperti batu, dan secarik kain usang dengan tulisan tangan yang hampir pudar, dan tidak lupa juga gantungan token giok berwarna ungu.

Kakek Qiao mengangkat tangannya, jari-jarinya yang kurus dan bergetar menyentuh dada Li Yao tepat di atas jantungnya.

“Ingat baik-baik Yao, tidak semua yang pahit adalah racun, dan tidak semua yang manis bisa menyembuhkan.” bisiknya pelan.

Li Yao menatap wajah sang kakek dengan matanya sedikit membelalak.

“Yang bisa bertahan hidup di dunia ini bukan yang paling kuat, tapi mereka yang paling paham apa yang bisa dimanfaatkan.” lanjut Kakek Qiao dengan napas yang semakin pendek.

Ia menarik napas berat lalu melanjutkan dengan suara yang makin lemah, “Herbal, manusia, waktu, semua bisa kau racik, semua bisa jadi kekuatan kalau kau tahu bagaimana caranya.”

Li Yao akhirnya menunduk, matanya tertuju pada isi yang ada di kantong di tangannya. Di mata orang lain itu mungkin hanya tumpukan sampah dari hutan. Tapi bagi Li Yao benda-benda ini terasa berat, bukan secara fisik, melainkan secara makna.

Seolah olah ia baru saja menerima senjata. Bukan pedang, bukan racun, tapi cara baru untuk memandang dunia.

Lan Ci menyeka air mata yang menetes tanpa ia sadari. Ia tahu malam ini bukan hanya tentang sakit seorang kakek tua, melainkan tentang warisan sunyi yang disampaikan dari generasi yang terluka kepada generasi selanjutnya.

“Terima kasih Kakek atas nasehat mu,” gumam Li Yao perlahan.

Kakek Qiao mengangguk pelan lalu memejamkan matanya. Suaranya menghilang  tetapi napasnya masih ada, meski lemah ia masih bisa bertahan.

Malam itu sunyi, tapi dalam kesunyian itu sesuatu dalam diri Li Yao telah berubah. Lentera di depan tenda terus berkedip namun kini ia tak lagi rapuh, melainkan bersinar dengan tekad yang baru.

***

Embun pagi masih menggantung di ujung-ujung ranting kering, dan kabut lembut menyelimuti mulut tambang. Pagi ini suasana di tambang masih tetap berjalan seperti biasa, dengan suara palu menghantam batu dan jeritan rantai yang diseret di atas tanah yang keras.

Namun di tenda Kakek Qiao, Kakek Qiao terbaring dan tidak bergerak.

Li Yao duduk diam di samping tubuh tua itu yang kini sudah membeku dalam keheningan abadi. Ia menatap wajah tua yang dipenuhi keriput, matanya tertutup rapat.

Beberapa budak hanya melirik sepintas ke tenda kakek Qiao. Lalu kembali memikul karung batu. Di tambang ini tidak ada waktu untuk berkabung, tidak ada tempat untuk kesedihan.

Namun Li Yao belum pergi ketambang hari ini. Dengan tangan sendiri ia mulai menggali pemakaman yang tidak jauh dari perkemahan. Di balik tumpukan batu besar ia membuat liang kecil yang cukup untuk tubuh kurus Kakek Qiao. Tanpa sekop, tanpa alat bantu, hanya tangan yang terluka dan berdarah karena kerikil tajam.

Ia tidak membiarkan tubuh sang kakek dilempar begitu saja ke jurang, seperti yang biasa dilakukan pada budak-budak mati lainnya.

Saat liang itu cukup dalam ia memindahkan tubuh Kakek Qiao perlahan dengan penuh hormat. Ia menutupinya dengan batu-batu kecil dan beberapa herbal kering yang sempat Li Yao kumpulkan dulu.

Li Yao lalu berlutut di atas gundukan batu itu, diam cukup lama hingga matahari mulai tinggi. Tangannya mengepal dan suara lirih keluar dari mulutnya, seperti gumaman tapi penuh dengan tekad.

“Aku berjanji, aku akan belajar segalanya. Apa yang Kakek tahu akan aku pelajari lebih jauh. Aku akan bertahan bukan hanya hidup… tapi menjadi seseorang yang tak bisa lagi diinjak-injak oleh dunia ini.”

Tangannya gemetar saat membuka kembali kantong kain peninggalan Kakek Qiao.

Ia mengeluarkan secarik kain usang itu. Tulisan tangan di atasnya nyaris pudar namun masih bisa dibaca. Coretan itu bukan teknik rahasia bukan mantra kekuatan. Melainkan catatan sederhana, cara mencampur akar pahit dengan getah pohon untuk menetralkan racun, cara menumbuk biji keras agar mempercepat proses pemulihan luka dalam, cara menggunakan air hujan yang pertama jatuh untuk meningkatkan efek ramuan pembersih darah dan yang terakhir yang paling mengerikan adalah mengolah sebuah racun.

Bukan kekuatan, tapi pemahaman.  Li Yao membaca dan terus membaca ulang, lalu mencatat ulang semuanya di benaknya. Dalam setiap huruf yang nyaris hilang itu, ia merasa ada nyawa yang dititipkan. Warisan dari seseorang yang hidupnya penuh luka bukan untuk membalas dendam, tapi untuk memberi bekal pada yang masih punya kesempatan.

Ia meraih satu akar kering, menggenggamnya dengan erat.

“Ini bukan sekedar tanaman, Ini adalah cara bertahan. Ini milikku sekarang.” bisiknya.

Selesai menggenggam akar itu dan menatap batu-batu yang menutupi tubuh Kakek Qiao untuk terakhir kalinya, Li Yao akhirnya bangkit. Tangan dan lututnya kotor oleh tanah, namun wajahnya jauh lebih tenang dari sebelumnya.

Hari masih belum terlalu siang ketika ia melangkah menuju tambang. Udara di sekitar masih dingin dan kabut belum sepenuhnya menghilang.

Di sana, di antara para budak yang mulai kembali mengangkat palu dan keranjang batu, Lan Ci sudah berada di tambang lebih dulu. Ia tak ikut saat pemakaman kakek Qiao. Bukan karena tak peduli justru karena hatinya terlalu sesak untuk menyaksikannya.

Ia melihat Li Yao datang dari kejauhan dan sejenak ia menunduk, berpura-pura sibuk menyusun batu.

Li Yao tahu. Tapi ia tak menanyakan apa-apa.

Mereka bekerja berdampingan dalam keheningan. Palu menghantam batu, debu beterbangan, dan suara logam bergesekan menjadi latar dari pikiran mereka masing-masing. Sesekali mata Lan Ci melirik ke arah Li Yao memastikan ia baik-baik saja. Tapi ia tak tahu harus berkata apa.

Hanya dalam diam mereka saling menguatkan. Beberapa jam telah berlalu dan Matahari mulai condong ke arah barat dan hari kerja pun perlahan berakhir.

Li Yao memanggul karung batu untuk terakhir kalinya ke tempat pengumpulan, lalu berjalan kembali ke arah perkemahan. Tubuhnya letih tapi bukan karena beban batu melainkan karena beban jiwa yang kini ia pikul sendirian.

Sesampainya di tenda perkemahan, langit mulai berubah warna keemasan. Angin sore berhembus membawa bau tanah dan debu yang sudah biasa ia hirup.

Ia duduk kembali di depan tenda kecilnya, tapi kali ini ia membuka kantong pemberian Kakek Qiao sekali lagi. Dikeluarkannya sehelai demi sehelai isi di dalamnya, akar, biji dan kain catatan.

Matanya tertuju pada bagian terakhir dari tulisan di kain itu. Satu kalimat yang semula ia lewatkan karena hurufnya hampir hilang.

"Dan jika semua jalan tertutup, raciklah jalanmu sendiri."

Li Yao terdiam lama, kalimat itu menancap jauh di benaknya. Dunia ini tak akan pernah memberinya jalan. Tapi itu tidak berarti ia tidak bisa membuat jalannya sendiri.

Saat Li Yao sedang merenung, dari kejauhan Lan Ci mendekat perlahan. Suaranya pelan ketika ia berbicara.

“Maafkan aku, aku tadi tidak ikut melaksanakan pemakaman kakek Qiao."

Li Yao menoleh dan tersenyum.

“Tidak apa apa,” jawabnya pelan.

Lan Ci kemudian duduk di sampingnya seperti malam sebelumnya. Tapi kini tak ada lentera. Hanya cahaya senja yang redup dan hangat yang menyinari mereka berdua.

“Kakek Qiao orang baik, Aku dan kamu beruntung bisa bersamanya sampai akhir.” gumam Lan Ci.

Li Yao mengangguk perlahan. “Sekarang aku hanya harus memastikan nasehatnya tidak hilang bersamaku.”

1
Green Boy
mantap thor
Eko Lana
alur cerita yang bagus dan menarik
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!