“Abang janji akan kembali ‘kan? Berkumpul lagi bersama kami?” tanya Meutia Siddiq, menatap sendu netra suaminya.
“Iya. Abang janji!” ucapnya yakin, tapi kenyataannya ....
Setelah kabar kematian sang suami, Meutia Siddiq menjadi depresi, hidup dalam kenangan, selalu terbayang sosok yang dia cintai. Terlebih, raga suaminya tidak ditemukan dan dinyatakan hilang, berakhir dianggap sudah meninggal dunia.
Seluruh keluarga, dan para sahabat juga ikut merasakan kehilangan mendalam.
Intan serta Sabiya, putri dari Meutia dan Ikram – kedua gadis kecil itu dipaksa dewasa sebelum waktunya. Bahkan berpura-pura tetap menjalani hari dimana sang ayah masih disisi mereka, agar ibunya tidak terus menerus terpuruk, serta nekat mau bunuh diri, berakhir calon adik mereka pun terancam meninggal dalam kandungan.
Dapatkah Meutia beserta buah hatinya melewati badai kehidupan?
Bagaimana mereka menjalani hari-hari berat itu ...?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
06 ~ Menolak ikhlas
Pemuda yang baru saja menginjak dewasa, tak sampai hati melihat raut putus asa wanita yang dulu selalu menganggu masa kecilnya. Hubungan mereka unik layaknya Tom and Jerry.
Perasaan Meutia bertambah kacau kala tak mendapatkan jawaban, dia langsung masuk ke dalam rumah mewah abangnya.
Di ruang keluarga – Nyak Zainab menyusut air matanya menggunakan ujung hijab, terlihat sekali sosok tua anggun itu berusaha tabah.
Sementara pasangan suami istri yang baru saja pulang dari lokasi kejadian jatuhnya bus, tak kuasa menahan sesak didada.
Nur Amala, serta suaminya bungkam. Wajah mereka merana – kalut, sedih, bercampur cemas memikirkan nasib Meutia dan anak-anaknya dikemudian hari.
“Mengapa raut kalian mendung semua? Ada apa ini? Dimana bang Ikram?” cecarnya. Saat merasa belum puas dan tak sabaran menunggu jawaban. Wanita berpakaian syar'i itu melangkah lebar ke bagian dapur, mengetuk pintu kamar mandi. “Abang di dalam ya? Sedang bebersih badan kah? Mengapa tak dirumah kita saja, Sayang?”
Derap langkah kaki mendekati dapur luas. Anggota keluarga Meutia menghampirinya.
“Meutia, boleh Nyak minta waktunya sebentar, Nak?” Tangan dihiasi keriput itu mengelus pundak sang putri yang masih mengetuk pintu kamar mandi.
"Tia tak mau dengar kalau itu bukan kabar baik. Demi Tuhan, Tia tak mau mendengarnya!” Ia menggelengkan kepala. Hatinya berusaha keras membantah dan menolak mentah-mentah. Kembali mengetuk pintu.
“Putri kesayangannya Nyak dan Ayah. Nyak tahu ini berat bagimu dan kita semua, tapi bila sudah takdir dan kehendak Allah, kita bisa apa selain belajar menerima dan merawat rasa ikhlas, Tia?”
Meutia mengelap kuat linangan air mata, ia berbalik, mundur sampai punggungnya menabrak dinding samping pintu kamar mandi. “Bilang mudah, menjalaninya teramat sulit, Nyak! Tia mengerti, paham arti ekspresi kalian. Namun hati ini tak terima, terlebih raganya masih belum bisa ku dekap, ku hantarkan ke peristirahatan terakhirnya. Tia ….”
“Meutia, aku mohon, tolong _”
Ditepisnya tangan yang hendak memeluknya. “Kak Dhien tak paham! Sudah kukatakan aku bakalan belajar menerima asal ada tempat yang bisa ku datangi kala rindu tak lagi bisa dibendung. Ada tulisan namanya yang bisa kuraba seolah tengah mematri wajahnya dalam kalbu. Jangan tuntut aku untuk ikhlas, sementara kepergiannya tidak benar-benar ku yakini!”
“Kalian boleh mengatakan dan menganggapnya telah kembali ke pangkuan sang Illahi. Namun tidak dengan diriku! Selagi fisiknya maupun benda yang dia kenakan untuk terakhir kalinya tak ada satupun yang ditemukan, berarti suamiku masih hidup!” dia keukeuh menolak kalau suaminya sudah pergi untuk selamanya.
Meutia bukan tuli maupun buta, dia sering mendengar bisik-bisik anggota keluarganya membahas tentang berita terkini perihal pencarian korban kecelakaan. Diam-diam didalam kamar, dirinya pun selalu melihat berita di televisi, mendengar siaran radio lokal.
Pencarian sudah dihentikan sejak semalam, korban yang hilang dinyatakan telah meninggal dunia termasuk Ikram Rasyid.
Sepanjang sungai sampai bertemu dengan lautan lepas telah disisir, tapi tak ditemukan lagi korban yang hilang.
“Dek_”
“Tia tak mau dengar! Tak mau mendengar apapun itu!” Kedua tangannya menutup telinga. Dia biarkan saja perutnya yang terasa kram.
Agam mundur, tidak lagi memaksa si bungsu dikala jiwanya terguncang.
Dhien, istrinya Dzikri Ramadhan menoleh ke samping sofa ruang keluarga. ‘Ya Allah, Nak.’
Intan bersembunyi dibalik sofa sudut, memeluk lututnya seraya memandang hampa pada orang dewasa.
Tanpa kata, wanita bergamis navi itu mengangkat dan menggendong Intan yang sewaktu kecilnya gemuk, suka bikin orang geram. Sekarang badannya kurus, makannya susah, maunya main saja.
“Ayah betulan telah berpulang ya, Umi? Lalu macam mana dengan kami nanti?”
“Kalian akan baik-baik saja. Ada Umi, Abi, Bunda, Ibu, Ibuk, dan lainnya yang selalu ada buat Intan, adek Sabiya, dan Mamak serta calon adik kalian.” Dipangkunya Intan, mereka duduk di teras hunian Agam Siddiq.
Pernyataan itu tidak berhasil membuat Intan merasa lega, dia memeluk kuat tantenya yang dipanggil Umi. Membenamkan wajah pada bahu Dhien. “Beda Umi, semuanya tak lagi sama seperti saat ada Ayah. Intan tak suka melihat Mamak terus-terusan menangis diam-diam sambil memeluk baju Ayah.”
“Intan!” Gadis beranjak remaja berumur jalan 13 tahun baru saja pulang sekolah, berlari menaiki jalanan berbatu sedikit menanjak. Tangannya menjinjing plastik bening. “Lihat ini! Kak Siron belikan Ikan Cupang. Nanti bisa kau laga dengan miliknya Kamal.”
Pipi bulatnya memerah dikarenakan berlari dibawah terik matahari. Napasnya tersengal-sengal tapi senyum teduhnya terus bertahan meskipun matanya berkaca-kaca.
Dibelakangnya, dua pemuda berwajah khas lokal dan tubuh lumayan berisi tidak mau ketinggalan menghibur gadis cantik bermata indah.
“Abang tadi beli Kelomang khusus buat Intan.” Rizal membuka kepalan tangannya memperlihatkan binatang yang diwarnai pelangi.
“Abang Danang jua beli anak Ayam kecebur tinta. Ada dua ini, Intan. Kan yang tahun kemarin sudah disembelih dan dimasak gulai, ini gantinya!” Ayam berwarna hijau dan merah dikeluarkan dari dalam plastik.
“Bang Ayek mana?” dia malah menanyai seseorang yang sama sekali tidak ada memberikan kejutan.
Dhien dan Siron saling pandang, dalam hati bersyukur saat Intan mau merespon.
“Ya Allah, Dek. Patah hati Abang! Dari zaman kau ingusan sampai sebesar ini selalu Ayek yang kau cari. Padahal dulu, bang Rizal lebih sering mengelap umbelmu (ingus)!” Rizal mendramatisir keadaan, seolah benar-benar kecewa.
“Masih mending kau elap ingus. Lah aku, bila ada layangan putus dan tersangkut, dipaksa memanjat pohon. Semalaman suntuk di suruh menunggu Kambing mau lahiran, dah macam dokter hewan saja!” Danang mencebik.
“Itu karena kalian tak istimewa. Contoh bang Ayek ini!” Yang dicari pun datang, menepuk dadanya sendiri. “Intan calon binik Abang, ini ada buah kedondong kesukaanmu!”
Plak!
Jangan asal cakap kau ya! Gaya mengakui calon istri, lupa apa macam mana kalian tantrum saat disunat dulu? Dah macam Lembu mau di sembelih!” ejek Dhien setelah memukul lengan Ayek.
Wajah ketiga pemuda itupun menjadi masam, mau marah tidak berani karena yang dihadapi bukan wanita biasa, tapi lebih kuat daripada pegulat amatiran.
“Astaghfirullah Meutia! Jangan nak! Istighfar sayang, istighfar!”
Dhien berlari ke rumah Nirma dengan menggendong Intan yang memberontak. Dibelakangnya ada Siron yang juga ikut berlari sambil membawa hadiah untuk sepupunya.
Mereka menghindarkan gadis kecil tengah berduka itu agar tidak melihat hal tak semestinya.
“Aku mau lihat Mamak, Umi! Aku mau sama Mamak! Tolong turunkan!”
Wahyuni berlari keluar rumah, berdiri diteras sambil berteriak! “Siapkan mobil!”
Ayek, dan lainnya langsung sigap kala melihat baju berwarna putih yang dikenakan Wahyuni bercampur warna merah.
Mobil milik Dzikri Ramadhan pun sudah menyala, Rizal yang duduk dibelakang kemudi.
Pintu penumpang dibuka lebar, dua remaja menunggu dengan hati dilanda cemas.
“Astaghfirullah, kak Meutia!”
.
.
Bersambung.
Numpang berita, biar nggak bingung 🥰
Ayah tua : Juragan Byakta Nugraha.
Ayah besar : Agam Siddiq.
Ayah muda : Ikram Rasyid.
Abi : Dzikri Ramadhan.
Bapak: Hasan.
...----------------...
Bunda : Nur Amala
Ibu : Nirma
Ibuk : Wahyuni
Mamak : Meutia
Umi : Dhien
* Zeeshan , Zain, Hazeera – anaknya Agam Siddiq dengan Nur Amala.
*Kamal Nugraha, Rania Nugraha – anaknya juragan Byakta dengan Nirma.
* Lanira, Siron – anaknya Hasan dengan Wahyuni.
* Intan Rasyid dan Sabiya Rasyid – anaknya Ikram Rasyid dengan Meutia Siddiq.
Terima kasih 😘