Mereka melihatnya sebagai Upik Abu. Mereka salah besar. Regina adalah CEO muda yang menyimpan rahasia besar. Di rumah mertua, ia menghadapi musuh yang tak terlihat dan cinta yang diuji. Mampukah ia mengungkap kebenaran sebelum terlambat? Ataukan ia akan kehilangan segalanya? Kisah tentang cinta, keluarga, dan rahasia yang bisa mengubah takdir seseorang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ceriwis07, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bukan Upik Abu Eps 6
"Jangan sakiti istriku," ucap Bima sembari meremas keras lengan milik kakak iparnya, bagai menghancurkan batu bara. Bima bukannya tidak tahu tentang perlakuan kedua iparnya, hanya saja ia lebih memilih menuruti perkataan sang ibu. Jika mereka tidak di sini, ibu akan kesepian.
Tidak jarang, ibu diperlakukan seperti pembantu, bagai budak di zaman modern. Mulai dari masak, belanja bahan dapur, mencuci baju mereka, dan membereskan rumah.
Meskipun mencuci menggunakan mesin cuci, tetap saja akan terasa lelah jika mencuci baju milik empat orang sekaligus. Dan lagi, setiap orang tak mungkin hanya dua stel saja. Selama Regina ada di rumah ini, ia yang pegang semua kendali, bagai seorang jenderal yang memimpin pasukan, termasuk membereskan rumah dan mencuci.
Regina bahkan berani membuang segitiga pengaman milik Mira saat ia tengah membilas pakaian miliknya. "Punya siapa ini?" ucap Regina menerawang, menatap kain berbentuk segitiga yang berenda dengan pita di sebelah kiri. Ia menaikkan kedua bahunya, lalu mengepalkan segitiga tersebut dan melemparkannya ke belakang rumah, bagai membuang sampah yang menjijikkan.
Di belakang rumah hanya hutan yang belum terjamah manusia, tapi bukan berarti seperti hutan belantara, ya. Lebih tepatnya, hanya hutan yang belum ada pemilik tanah, alias lahan kosong.
Bima tahu kelakuan Regina pagi itu, ia hanya tersenyum, tak menegur juga tidak menampakkan dirinya, bagai penonton setia yang menikmati pertunjukan.
Pernah, di suatu pagi saat tabung gas habis, Mira dan Sandra tengah asyik mengobrol di depan tivi sembari mengusik ponsel mereka masing-masing, bagai lumba-lumba yang asyik bermain dengan bola. "Buk, lapar, mana masakannya?" teriak Sandra, bagai anak kecil yang merengek minta permen.
Regina yang gemas, bagai bom waktu yang siap meledak, langsung mencabut regulator dari tabungnya, lalu menenteng tabung kosong tersebut ke arah ruang tivi dan melemparkannya tepat di depan kedua iparnya itu, bagai melempar granat ke sarang musuh.
Mereka berdua terkejut hingga berteriak, "Heh, apa-apaan kamu, Regina!" berang Mira, bagai singa betina yang terganggu.
Regina acuh tak acuh, bagai dewi yang tak tersentuh, ia melenggang santai melewati kedua ipar yang masih terkejut. Ia menyalakan mesin motornya yang baru dua hari ia beli di showroom motor bekas terdekat. Jika ia mau, ia bisa menghubungi sang ayah untuk meminta dikirimkan si Kitty, motor ninja merah kesayangannya, bagai seorang putri yang meminta kereta kencana.
Tapi ia tak mau membuat heboh warga kampung, meskipun ia hidup berkecukupan, bahkan lebih dari cukup, ia tak mau memperlihatkan itu semua, bagai berlian yang tersembunyi di balik lumpur.
Tak butuh waktu lama, Regina pulang dengan banyak kantong kresek. "Ibuk... Ayo kita makan!" teriak Regina dari teras depan, bagai seruan komandan yang mengajak pasukannya berperang.
Sang ibu mertua tergopoh-gopoh berjalan ke teras rumah, bagai siput yang berusaha mengejar kelinci. Regina sudah membuka semua kantong plastik yang ditentengnya.
Mulai dari nasi Padang, ayam bakar, ikan bakar, sup tulang, dan masih banyak lagi, bagai pesta mewah yang digelar di tengah kesederhanaan. "Ayo makan, Buk. Yang lain biarin masak sendiri, sudah tahu gas kosong nggak mau beli," ucap Regina, sudah menggigit paha ayam bakar, bagai serigala yang kelaparan.
Mira dan Sandra meneguk ludah, melihat aneka ragam makanan yang dibeli oleh Regina, bagai anak kecil yang melihat etalase toko permen. "Heh, dasar pelit, punya uang segitu aja sudah pamer. Lagian, sayang makanan sebanyak ini dimakan kamu sama Ibuk aja. Emang bisa habis?" ejek Sandra dengan lidah yang membasahi bibir, bagai kucing yang melihat ikan asin.
"Habislah, orang aku sama Ibuk lapar, ya kan, Buk," ucap Regina yang diangguki ibu mertua. Ibu Sundari memilih memakan nasi Padang dengan lauk ayam dan telur, bagai raja yang menikmati hidangan istimewa.
Bima yang mendapat laporan dari tetangganya jika istrinya memborong makanan, hanya tersenyum, bagai seorang ayah yang bangga melihat anaknya berbuat baik. Ia tahu jika Regina tak sepelit kedua iparnya.
Saat makan malam, Mira dan Sandra, yang ingin membalas dendam atas kelakuan Regina di pagi hari, mengajak suami mereka makan di luar. Namun, bukan Regina namanya jika kehilangan akal, bagai burung phoenix yang selalu bangkit dari abu. Sebelum kedua iparnya keluar, ia lebih dulu keluar. Tak lama setelah ia sampai di rumah, tukang bakso keliling sudah parkir di depan rumah mertuanya, bagai pahlawan yang datang menyelamatkan kelaparan.
Bima hanya bisa tersenyum dan menggelengkan kepalanya melihat kelakuan sang istri dadakannya itu, bagai sutradara yang mengagumi akting seorang aktris. Wanita yang terlihat kasar, selengean, terlihat semena-mena, tapi justru bisa sesayang itu pada ibu mertuanya, bagai berlian yang tersembunyi di balik lumpur.
Bagas dan Indra meneguk ludah kasar saat tukang bakso membuka panci yang mengeluarkan aroma sedap dan asap yang mengepul, bagai aroma surga yang menggoda iman. "Makan bakso aja, Dek," ucap Indra pada Mira, bagai anak ayam yang ketakutan di hadapan induknya.
Mira yang mendengar permintaan si suami tak berkutik, ia seakan mati kutu dibuatnya, bagai tikus yang terperangkap dalam jebakan. Itu juga berlaku pada Sandra. Bagas meminta bakso saja daripada harus keluar rumah, bagai tawanan yang pasrah pada nasibnya.
"Karena tukang baksonya aku yang panggil, jadi semangkuk harganya lima puluh ribu, ya, Mang," ucapnya pada tukang penjual bakso, bagai seorang ratu yang memberikan perintah. Si tukang bakso hanya bisa tersenyum menghadapi pembelinya. Mau bagaimana lagi, wong Regina sudah bayar di awal dan memborong semua bakso miliknya.
Dengan ragu, Indra dan Bagas pun mengiyakan ucapan Regina, bagai kerbau yang dicucuk hidungnya, membuat istri mereka tak terima. "Mahal amat, biasanya juga sepuluh ribu," ucap Mira, bagai anak kecil yang merengek meminta permen.
"Boleh sepuluh ribu, Mang, kasih kuahnya aja, ya," ucap Regina, bagai seorang ratu yang memberikan titah, yang sudah duduk bertiga dengan ibu mertua dan juga Bima, bagai keluarga bahagia yang menikmati kebersamaan.
"Siap, Neng," ucap tukang bakso sambil tertawa.
Sundari menatap wajah menantu terakhirnya itu, bagai menatap permata yang baru ditemukan. Wanita yang dinikahi oleh anak bungsunya secara mendadak, tapi bisa menyayanginya lebih dari dirinya sendiri, bagai malaikat yang turun dari langit.
Entah Bima dapat dari mana bidadari yang satu ini, jika memang Regina adalah bidadari, biarlah ia yang menyembunyikan selendang milik Regina. Ia pun sudah menyayangi Regina sedari awal kedatangannya, bagai seorang ibu yang menyayangi anak kandungnya.
Tak hanya bisa membuatnya tertawa, tapi menantunya itu juga berani melawan siapapun yang menyakiti dirinya. Sundari hanya bisa berdoa agar Bima dan istrinya selalu diberikan kebahagiaan dan kelancaran rezeki, bagai doa seorang ibu yang tulus untuk anaknya.
Bukan Upik Abu
Jangan lupa tinggalkan jejak di kolom komentar, like mu semangat ku ❤️