Setelah kecelakaan misterius, Jung Ha Young terbangun dalam tubuh orang lain Lee Ji Soo, seorang wanita yang dikenal dingin dan penuh rahasia. Identitasnya yang tertukar bukan hanya teka-teki medis, tapi juga awal dari pengungkapan masa lalu kelam yang melibatkan keluarga, pengkhianatan, dan jejak kriminal yang tak terduga.
Di sisi lain, Detektif Han Jae Wan menyelidiki kasus pembakaran kios ikan milik Ibu Shin. Tersangka utama, Nam Gi Taek, menyebut Ji Soo sebagai dalang pembakaran, bahkan mengisyaratkan keterlibatannya dalam kecelakaan Ha Young. Ketika Ji Soo dikabarkan sadar dari koma, penyelidikan memasuki babak baru antara kebenaran dan manipulasi, antara korban dan pelaku.
Ha Young, yang hidup sebagai Ji Soo, harus menghadapi dunia yang tak mengenal dirinya, ibu yang terasa asing, dan teman-teman yang tak bisa ia dekati. Di tengah tubuh yang bukan miliknya, ia mencari makna, kebenaran, dan jalan pulang menuju dirinya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ulfa Nadia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
제6장
Sungguh, ini membuat Ha Young sangat frustasi.
Untuk mewujudkan ambisinya, ayahnya tega menggunakan Yeo Jin sebagai alat ancaman. Ketamakan dan kekuasaan telah mengubah pria itu menjadi sosok yang kejam bukan hanya terhadap Ha Young, tapi juga terhadap orang-orang yang tulus berada di sisinya.
Dan kali ini, bukan hanya dirinya yang menjadi sasaran amarah. Tapi manajernya. Orang yang selalu melindunginya. Itu yang paling menyakitkan.
Ha Young membawa beberapa barangnya. Hatinya telah mantap. Ia akan meninggalkan rumah megah itu rumah yang selama ini hanya menyimpan luka dan kesepian.
Saat ia melangkah menuju pintu, ayahnya muncul, menghampirinya dengan langkah cepat.
“Jika kamu tetap seperti ini,” ucapnya tajam, “maka akan kupastikan ada banyak orang yang akan terluka. Terutama pria malang yang kau sukai itu... Park Hee Jae.”
Ancaman itu menusuk. Tapi Ha Young tidak gentar.
“Aku tidak peduli,” jawabnya tegas. “Walau kamu ayahku, aku akan melawanmu jika kamu berani menyentuhnya.”
Ia melangkah pergi, meninggalkan ayahnya yang kini berdiri dengan wajah penuh amarah.
Ha Young tidak pernah membayangkan bahwa ayahnya bisa sejahat itu. Ia sungguh sedih. Dan tak menyangka bahwa pertengkaran hebat ini terjadi dengan orang yang seharusnya menjadi pelindungnya.
Kini ia baru benar-benar mengerti.
Ia mengerti kenapa ibunya memilih pergi. Mungkin karena ibunya tahu pria yang dinikahinya bukanlah sosok yang bisa dicintai. Tapi seseorang yang hanya tahu cara menguasai, bukan melindungi.
Ha Young menyetir mobil sambil menangis. Tak ada satu pun orang yang bisa menemaninya saat ini. Ia benar-benar merasa kesepian bukan karena tak ada yang peduli, tapi karena luka yang ia tanggung terlalu dalam untuk dibagi.
Setelah lama mengendarai, mobilnya berhenti tepat di depan gedung tinggi milik Seonghwa Entertainment. Ia menatap bangunan itu lama, tanpa turun. Kakinya seakan tak sanggup melangkah. Setelah tahu bahwa agensi tempatnya bekerja adalah milik ayahnya sendiri, segalanya terasa berbeda. Ia merasa seperti boneka yang digerakkan oleh tangan yang sama tangan yang telah menyakitinya.
Tiba-tiba, seseorang mengetuk kaca jendela mobilnya. Ha Young terkejut, lalu membuka kaca jendela perlahan.
“Kenapa masih di dalam mobil? Kamu tidak masuk?” tanya Eunjung, wajahnya cemas.
Ha Young membuka pintu dan keluar. Udara dingin menyambutnya, tapi ia tetap berdiri tegak. “Apa kamu sudah lama menungguku?” tanyanya pelan.
“Bukan itu,” jawab Eunjung. “Tapi aku dan Manager Seo sangat khawatir padamu... karena kamu pulang ke rumah.”
Ha Young tersenyum tipis, tapi matanya tetap redup. “Aku baik-baik saja. Jadi kalian tidak perlu khawatir,” ucapnya lirih, suaranya nyaris tak terdengar.
Ia mulai berjalan menuju pintu gedung Seonghwa Entertainment, langkahnya pelan dan berat. Eunjung hanya diam, menyusul dari belakang. Ia tahu, sahabatnya sedang tidak baik-baik saja. Dan itu terlihat jelas dari wajah Ha Young yang murung, dari sorot matanya yang kehilangan cahaya.
Di depan gedung itu, Ha Young bukan hanya berdiri sebagai artis. Tapi sebagai anak yang terluka, sebagai perempuan yang berusaha tetap kuat... meski dunia tempatnya berdiri adalah milik orang yang paling menyakitinya.
Langkah Ha Young terasa berat saat memasuki gedung Seonghwa Entertainment. Dinding-dinding yang dulu ia lewati dengan semangat kini terasa dingin, asing, dan penuh bayangan. Ia pernah menyebut tempat ini sebagai rumah kedua tempat ia tumbuh sebagai artis, tempat ia tertawa bersama timnya, tempat ia menangis diam-diam di ruang latihan. Tapi hari ini, semuanya berubah.
Ia tahu sekarang bahwa gedung ini bukan sekadar tempat kerja. Ini adalah simbol kekuasaan ayahnya. Dan selama ini, tanpa ia sadari, ia telah bekerja di bawah bayang-bayang pria yang paling menyakitinya.
Setiap langkah menuju ruang tunggu terasa seperti ujian. Ia berusaha menata napas, menegakkan bahu, dan menyembunyikan luka yang masih basah. Tapi matanya tak bisa berbohong. Eunjung yang berjalan di belakangnya bisa melihat itu sorot mata yang kehilangan cahaya, senyum yang tak lagi muncul.
Ha Young berhenti sejenak di depan lift. Ia menatap pantulan dirinya di dinding logam. Wajahnya tampak tenang, tapi hatinya bergetar.
"Apa aku bisa tetap berdiri di sini? Di tempat yang dibangun oleh tangan yang sama yang menamparku? Yang menyakiti orang-orang yang aku sayangi?"
Ia teringat Yeo Jin. Teringat Park Hee Jae. Teringat ibunya.
Dan di tengah semua itu, ia menyadari satu hal: jika ia menyerah sekarang, maka semua luka itu akan sia-sia. Ia harus tetap berdiri. Bukan untuk ayahnya. Tapi untuk dirinya sendiri. Untuk orang-orang yang percaya padanya. Untuk cinta yang masih ia perjuangkan.
Lift terbuka. Ia melangkah masuk.
Saat Ha Young dan Eunjung memasuki lobi gedung Songhwa Entertainment, seorang wanita ikut masuk bersama mereka. Suara dari kejauhan memanggil nama Ha Young, membuat keduanya menoleh.
Seorang gadis berdiri tepat di hadapan mereka Song Mina. Model sekaligus penyanyi ternama, putri tunggal CEO Song. Wajahnya cantik, senyumnya anggun, tapi sorot matanya menyimpan sesuatu yang tajam.
“Apa yang membawa Dewi Korea kemari?” sindir Mina, suaranya manis tapi menusuk. “Harusnya kamu istirahat, bukan berkeliaran di sini... kecuali kalau ada yang memaksamu datang.”
“Bukan urusanmu, Mina-ssi,” jawab Ha Young ketus, matanya tak menunjukkan rasa hormat sedikit pun.
“Ah, aku lupa... kamu baru saja sembuh dari usus buntu,” lanjut Mina, tersenyum mengejek. “Maaf aku tak sempat menjengukmu di rumah sakit. Aku sangat sibuk.”
“Tak perlu datang. Kamu hanya akan memperburuk kondisiku,” balas Ha Young, nada suaranya tetap dingin.
“Bukankah itu terdengar lebih baik?” kata Mina, senyumnya makin sinis. “Jung Ha Young pasti sangat menderita selama ini.” Ucapnya dengan nada gembira
Ha Young melangkah mendekat, jarak di antara mereka kini hanya beberapa langkah. “Song Mina,” ucapnya pelan, “kamu tahu apa yang kupikirkan tentang dirimu? Kamu terlihat sangat menyedihkan.”
Mina masih tersenyum, tapi matanya mulai berubah.
“Jika bukan karena uang ayahku,” bisik Ha Young tajam, “kamu dan ayahmu bukan apa-apa.”
Raut wajah Mina seketika berubah. Senyumnya menghilang, digantikan oleh ekspresi geram. “Berani sekali kamu bicara begitu,” ujarnya tajam. “Kamu kira setelah jadi terkenal dan kaya raya, semua yang kamu inginkan bisa terwujud?”
“Itu tidak penting,” jawab Ha Young tenang. “Kamu tahu kenapa aku tidak datang di acara ulang tahunmu?”
Mina terdiam, matanya menatap penuh penasaran.
“Karena kamu gak selevel denganku. Aku gak mungkin datang di acara gak penting itu,” lanjut Ha Young. “Jadi jangan coba bermain-main denganku... kalau kamu sadar di mana seharusnya kamu berada.”
Ha Young berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan Mina yang berdiri terpaku, wajahnya memerah karena amarah yang tak bisa ia sembunyikan.
Eunjung menyusul Ha Young, menatap sahabatnya dengan kagum. Di tengah luka dan tekanan, Ha Young tetap berdiri tegak. Dan hari ini, ia menunjukkan bahwa kekuatan bukan hanya soal popularitas... tapi tentang keberanian untuk melawan.
Setelah Ha Young melangkah pergi, meninggalkan lobi dengan kepala tegak, Song Mina masih berdiri di tempat yang sama. Senyumnya telah menghilang. Matanya menatap kosong ke arah pintu yang baru saja tertutup.
Ia menggigit bibirnya, menahan amarah yang mendidih. Kata-kata Ha Young terus terngiang di kepalanya.
“Jika bukan karena uang ayahku, kamu dan ayahmu bukan apa-apa.”
Mina melangkah cepat ke ruang tunggunya, mengabaikan sapaan staf yang lewat. Begitu pintu tertutup, ia melempar tasnya ke sofa dan berdiri di depan cermin. Ia menatap bayangannya sendiri wajah yang selalu dipuji, tubuh yang selalu disorot kamera, tapi hari ini... semua itu terasa rapuh.
Sejak awal, Song Mina selalu merasa bahwa Ha Young adalah bayangan yang tak bisa ia singkirkan. Ia tak suka saat semua mata tertuju pada Ha Young, saat pujian dan sorotan lebih banyak diberikan pada gadis itu. Di balik senyum dan prestasinya, Mina menyimpan rasa iri yang tak pernah padam.
Ia merasa Ha Young selalu lebih beruntung lebih dicintai, lebih diperhatikan. Dan dirinya? Hanya nomor dua. Hanya pelengkap setelah semua kepentingan Ha Young selesai. Karena itu, Mina tak pernah benar-benar menyukai Ha Young. Bukan karena kesalahan Ha Young, tapi karena luka yang ia rasakan setiap kali dibandingkan.
Ia mengingat ulang tahunnya yang lalu. Pesta mewah, tamu-tamu penting, hadiah-hadiah mahal. Tapi satu hal yang ia tunggu tak pernah datang: kehadiran Ha Young. Dan kini ia tahu alasannya. Bukan karena sakit, bukan karena jadwal... tapi karena Ha Young tidak menganggapnya sebagai tandingan.
Mina meremas ujung blazernya, matanya mulai berkaca. Ia merasa diremehkan. Dihancurkan. Dan yang paling menyakitkan itu dilakukan di depan umum, tanpa ampun.
Ia duduk, mencoba menenangkan diri. Tapi egonya yang selama ini dibangun dari pujian dan status mulai retak. Ia tahu, Ha Young bukan hanya saingan. Tapi bayangan yang selalu membuatnya merasa kecil, meski dunia menyebutnya besar.
Dan untuk pertama kalinya, Song Mina merasa... kalah.
Sementara itu, di ruang manajer, Ha Young melangkah masuk dan terkejut melihat Yeo Jin sudah berada di sana.
“Bukankah aku menyuruhmu untuk istirahat?” ucap Ha Young, memandang Yeo Jin yang tampak lebih segar dari kemarin.
“Aku harus bekerja. Kamu membutuhkan managermu,” jawab Yeo Jin, senyumnya hangat.
“Apa aku lebih penting daripada kesehatanmu?”
“Sudah tentu. Lagipula ini bukan apa-apa,” kata Yeo Jin dengan semangat yang tulus.
Melihat Yeo Jin tampak sehat, Ha Young merasa lega. Setidaknya satu hal hari ini memberinya sedikit ketenangan. Tapi tidak begitu dengan hatinya. Di balik senyum tipisnya, ada gejolak yang belum reda. Pertengkarannya dengan sang ayah masih membekas. Kata-kata yang menyakitkan, ancaman, dan tamparan itu... semua masih berputar di kepalanya.
Ia ingin bicara. Tapi tak tahu harus mulai dari mana.
Yeo Jin menatapnya, seolah tahu bahwa di balik kelegaan itu, ada sesuatu yang belum selesai.
Ia masih ingat hari pertama Yeo Jin diperkenalkan sebagai manajernya. Itu terjadi dua tahun lalu, di sebuah acara pelatihan internal Seonghwa Entertainment. Ha Young saat itu sudah dikenal sebagai artis muda yang bersinar, sementara Yeo Jin hanyalah staf baru di divisi logistik tak dikenal, tak dianggap, dan sering kali diperlakukan semena-mena oleh senior-seniornya.
Hari itu, Yeo Jin sedang membawa perlengkapan untuk sesi latihan ketika beberapa staf senior mulai mengolok-oloknya. Mereka menyuruhnya mengangkat barang yang berat sendirian, lalu tertawa saat ia terjatuh. Kata-kata kasar dilontarkan, menyebutnya tidak kompeten, bahkan mempertanyakan kenapa ia bisa diterima bekerja di agensi sebesar itu.
Ha Young melihat kejadian itu dari kejauhan. Ia tidak mengenal Yeo Jin saat itu, tapi ada sesuatu dalam cara pria itu menahan amarah dan rasa malu yang membuatnya berhenti melangkah. Ia tahu betul bagaimana rasanya diremehkan, bagaimana rasanya berdiri sendirian di tengah kerumunan yang tak peduli.
Tanpa ragu, Ha Young mendekat. Ia tidak berteriak, tidak membuat keributan. Tapi kehadirannya cukup untuk membuat para pelaku perundungan terdiam. Ia membantu Yeo Jin berdiri, lalu membawanya keluar dari ruangan itu. Sejak saat itu, ia mulai memperhatikan pria itu bukan sebagai staf biasa, tapi sebagai seseorang yang memiliki keteguhan hati yang jarang ia temui.
Beberapa minggu kemudian, Ha Young meminta secara langsung agar Yeo Jin dipindahkan ke divisi manajemen artis. Banyak yang meragukan keputusan itu. Tapi Ha Young bersikeras. Ia tidak butuh manajer yang hanya tahu jadwal dan kontrak. Ia butuh seseorang yang bisa melihat dirinya sebagai manusia, bukan produk.
Yeo Jin menerima tawaran itu dengan ragu, tapi sejak hari pertama ia bekerja sebagai manajer Ha Young, ia menunjukkan dedikasi yang tak tergoyahkan. Ia tidak hanya mengatur jadwal, tapi juga menjaga Ha Young dari tekanan media, dari intrik internal, dan dari rasa sepi yang kadang datang tanpa alasan.
Bagi Ha Young, Yeo Jin bukan sekadar manajer. Ia adalah orang pertama yang ia pilih sendiri. Orang yang ia selamatkan, dan yang kemudian menyelamatkannya kembali dalam cara yang berbeda.