NovelToon NovelToon
SEKUNTUM BUNGA DI RUANG GELAP

SEKUNTUM BUNGA DI RUANG GELAP

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Balas Dendam / Cinta setelah menikah / Wanita Karir / Romansa
Popularitas:475
Nilai: 5
Nama Author: Efi Lutfiah

Di balik gemerlap lampu malam dan dentuman musik yang memekakkan telinga, seorang gadis muda menyembunyikan luka dan pengorbanannya.
Namanya Cantika, mahasiswi cerdas yang bercita-cita menjadi seorang dosen. Namun takdir membawanya pada jalan penuh air mata. Demi membiayai kuliahnya dan membeli obat untuk sang ibu yang sakit-sakitan, Cantika memilih pekerjaan yang tak pernah ia bayangkan: menjadi LC di sebuah klub malam.

Setiap senyum yang ia paksakan, setiap tawa yang terdengar palsu, adalah doa yang ia bisikkan untuk kesembuhan ibunya.
Namun, di balik kepura-puraan itu, hatinya perlahan terkikis. Antara harga diri, cinta, dan harapan, Aruna terjebak dalam dilema, mampukah ia menemukan jalan keluar, atau justru terperangkap dalam ruang gelap yang semakin menelan cahaya hidupnya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Efi Lutfiah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Diusir

Menjelang sore, Cantika bersiap berangkat kerja. Sebelum itu, ia hendak pulang dulu ke kontrakan karena tidak membawa pakaian ganti.

“Bu, Cantika berangkat kerja dulu, ya. Ibu baik-baik di sini, nanti ada perawat yang nemenin Ibu,” ucap Cantika lembut sambil menatap wajah renta ibunya.

“Memangnya kamu ada pemotretan lagi, Tika? Kenapa harus malam terus sih… Ibu khawatir tahu.” Nada suara Bu Hasna terdengar lemah, diiringi helaan napas panjang.

Cantika tetap tersenyum, menyembunyikan getir di hatinya.

“Ibu jangan khawatir, Tika bareng Jesika kok. Soal waktunya, karena modelnya banyak, jadi Tika kebagian malam. Lagian memang Tika yang minta, supaya bisa tetap bagi waktu untuk kuliah,” ia kembali berbohong demi menenangkan hati sang ibu.

“Kamu terlalu capek, Nak. Harus kuliah, kerja juga… Kalau ayahmu masih ada, pasti kamu nggak akan seperti ini,” ucap Bu Hasna, matanya mulai berkaca-kaca.

Cantika meraih tangan ibunya yang gemetar. “Nggak apa-apa, Bu. Dulu almarhum Ayah selalu ngajarin Tika untuk mandiri. Tika yakin, suatu saat nanti hidup kita bakal berubah. Tika janji bakal bahagiain Ibu, biar Ayah juga tenang ninggalin kita berdua.”

Tanpa pikir panjang, Bu Hasna memeluk tubuh kurus anak semata wayangnya. Isak tertahan keluar di sela-sela pelukan itu.

“Hiks… Ibu beruntung banget punya anak seperti kamu, Nak.”

Cantika pun tak kuasa menahan tangis. “Tika juga beruntung punya Ibu yang super baik, yang selalu doain dan dukung Tika, apa pun yang Tika lakukan.”

“Tanpa kamu minta pun, Ibu pasti selalu doain yang terbaik buat kamu, Nak.”

Pelukan perlahan terurai. Cantika menyunggingkan senyum tipis meski matanya masih basah.

“Kalau gitu, Tika berangkat dulu, ya. Doain semoga pemotretannya lancar, dan bisa dapat uang banyak.”

Bu Hasna mengangguk pelan. “Pasti, Nak.”

Dengan langkah berat, Cantika keluar dari kamar ibunya. Setiap langkah terasa menambah beban di hatinya, beban yang hanya ia simpan sendiri.

Cantika turun di depan gang, lalu menyerahkan selembar uang receh senilai sepuluh ribu pada sopir angkot.

“Makasih, Pak,” ucapnya sopan.

“Sama-sama, Non,” balas sopir singkat.

Dengan langkah cepat, Cantika memasuki gang sempit yang gelap dan lembap. Hatinya hanya ingin segera sampai di kontrakan untuk bersiap kerja. Namun baru saja ia hendak berbelok, matanya langsung membulat kaget.

Di depan kontrakan, Bu Mela, pemilik rumah itu, sedang mengeluarkan barang-barang miliknya. Kompor, tabung gas, hingga televisi kecil diturunkan begitu saja ke halaman.

“Bu… kenapa barang-barang saya dikeluarin?” tanya Cantika dengan wajah pucat, napasnya tercekat.

Bu Mela menoleh dengan wajah merah padam. “Kamu masih bisa tanya kenapa? Kamu sudah nunggak dua bulan, Cantika! Kemarin kamu janji bayar hari ini. Kalau memang nggak sanggup, minggat saja dari sini! Kontrakan ini sebentar lagi ada yang mau nyewa.”

“Bu, saya mohon… kasih saya waktu. Ibu saya masih dirawat di rumah sakit. Tiga hari lagi, saya janji bakal lunasin semuanya,” pinta Cantika, suaranya bergetar.

“Halah, alasanmu basi! Udah sana bawa barangmu pergi! Kontrakan ini bukan penginapan gratis. Saya nggak mau lihat muka kamu lagi di sini,” hardik Bu Mela.

“Bu, tolong…” Cantika menahan tangis, kedua tangannya merapat memohon.

“Pergi!” bentak Bu Mela, lalu melirik pada dua orang lelaki yang membantunya. “Ambil barang-barang itu, sekalian sita buat ganti rugi! Anak ini sudah numpang dua bulan, bikin repot aja.”

Laki-laki itu tanpa ragu mengangkat kompor, tabung gas, dan televisi.

“Bu, jangan… tolong jangan ambil itu…,” suara Cantika pecah.

Namun Bu Mela tak bergeming. Dengan kasar, ia mendorong tubuh kurus Cantika hingga hampir terjatuh ke jalanan becek. Tas kecil berisi pakaian seadanya dilemparkan ke arahnya.

“Pergi! Saya nggak sudi menampung orang miskin kayak kamu lagi!”

Cantika terdiam, tubuhnya gemetar menahan malu sekaligus sakit hati. Di depan mata orang-orang yang lalu-lalang di gang itu, ia hanya bisa memeluk erat tas usangnya, sementara air mata perlahan mengaburkan pandangannya.

Cantika segera bangkit, memungut tas usang berisi pakaian seadanya dan beberapa barang milik ibunya. Dengan langkah gontai, ia pergi meninggalkan kontrakan yang hampir dua tahun terakhir menjadi tempat berteduh.

“Jesika benar… dunia ini memang kejam kalau nggak punya uang,” batinnya sambil mengepalkan tangan.

“Aku janji… mulai hari ini aku nggak akan lemah lagi. Senyum Ibu adalah segalanya, dan aku harus membuat beliau bahagia.”

Langkahnya tak berhenti, satu-satunya tujuan yang ada di benaknya sekarang hanyalah apartemen milik Jesika.

Ting tong…

Pintu terbuka. Jesika muncul dengan dandanan yang sudah rapi dan menawan.

“Lho, kamu mau ke mana bawa-bawa tas segala?” tanyanya heran.

Cantika menunduk, menahan rasa malu.

“Aku diusir dari kontrakan, Jes. Untuk sementara, aku titip baju-baju ini di apartemen kamu dulu, ya. Nanti kalau Ibu sudah pulang dari rumah sakit, aku bakal cari kontrakan baru. Aku nggak mau Ibu kepikiran kalau tahu aku diusir… takut sakitnya tambah parah.”

Jesika menarik napas panjang, lalu menepuk pundak sahabatnya dengan lembut.

“Kalau menurut aku, lebih baik kamu jangan ngontrak lagi. Mending cari rumah kecil yang bisa dicicil. Banyak kok yang murah, cicilannya sekitar dua jutaan per bulan.”

Cantika menggeleng pelan, suaranya lirih.

“Tapi… apa aku mampu, Jes? Untuk biaya cuci darah Ibu aja aku masih keteteran.”

Jesika tersenyum miring, lalu menatap tajam.

“Bisa kok. Asal kamu lebih semangat lagi ‘ngurus’ para buaya darat itu. Kamu harus pintar merayu mereka, biar dapat tips yang banyak.”

Sekali lagi kepala Cantika tertunduk. Hatinya perih. Apa semurah ini harga diriku sekarang? pikirnya getir. Untuk bertahan hidup dan menyelamatkan sang ibu, ia dipaksa menukar harga diri dengan senyuman palsu bagi laki-laki hidung belang.

Cantika melangkah masuk ke apartemen Jesika, matanya langsung terpaku. Ruangan itu jauh berbeda dari kontrakan sempit yang biasa ia tinggali. Lantai mengkilap, wangi parfum mahal memenuhi udara, dan furnitur modern tertata rapi. Di meja kaca, botol-botol minuman impor berjejer, seolah menjadi saksi gaya hidup mewah sang sahabat.

“Taruh aja tasmu di sofa itu,” ujar Jesika santai sambil melepas high heels yang baru saja dipakainya.

Cantika menuruti, meletakkan tas lusuhnya di atas sofa kulit. Perasaan minder langsung menyelinap. Tas usang itu seakan tak pantas berada di ruangan mewah semacam ini.

Jesika melirik sekilas, lalu tersenyum tipis. “Lihat kan bedanya? Kamu kerja mati-matian, tapi uangmu selalu habis buat biaya rumah sakit. Sementara aku…” ia menyapu pandangan ke seluruh ruangan. “…hidup nyaman, nggak pusing sama cicilan atau bayar kontrakan.”

Cantika terdiam. Ada rasa iri, tapi juga penolakan dalam hatinya.

Jesika bangkit, berjalan mendekat lalu meraih tangan Cantika. “Tika, kamu harus sadar. Dunia ini nggak peduli sama orang baik yang cuma kerja keras. Dunia hanya tunduk pada uang. Dan uang itu… bisa kamu dapat kalau berani.”

“Berani apa maksud kamu, Jes?” suara Cantika nyaris berbisik.

Jesika terkekeh, lalu menatapnya tajam. “Berani menjual pesona. Berani menukar senyum dengan lembaran. Itu yang bikin aku bisa berdiri di sini sekarang.”

Cantika tercekat, dadanya sesak. Ia memandang ibunya terbayang di benaknya, wajah lemah di ranjang rumah sakit.

Jesika lalu membuka lemari pakaiannya. Puluhan gaun menggantung indah, berkilauan di bawah lampu. Ia mengambil satu gaun merah dengan potongan elegan, lalu menempelkannya di tubuh Cantika.

“Mulai malam ini, kamu nggak boleh lagi kelihatan lemah. Dunia nggak butuh air mata. Dunia butuh perempuan cantik yang bisa bikin laki-laki mabuk kepayang.”

Cantika menelan ludah. Dalam hati kecilnya ia memberontak, tapi genggaman Jesika terlalu kuat.

"Apakah hanya ini satu-satunya jalan untuk bisa menyelamatkan Ibu?" batinnya dalam hati.

1
menderita karena kmu
Ceritanya seru banget, jangan biarkan aku dilema menanti update 😭
evi evi: haha,,, siap kakak😀🤗
total 1 replies
Rukawasfound
Ceritanya keren, teruslah menulis thor!
evi evi: Terimakasih sudah mampir di cerita ku kk🙏
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!