Alden berjalan sendirian di jalanan kota yang mulai diselimuti dengan senja. Hidupnya tidak pernah beruntung, selalu ada badai yang menghalangi langkahnya.
Dania, adalah cahaya dibalik kegelapan baginya. Tapi, kata-katanya selalu menusuk kalbu, "Alden, pergilah... Aku tidak layak untukmu."
Apa yang menyebabkan Dania menyuruh Alden pergi tanpa alasan? Nantikan jawabannya hanya di “Senja di aksara bintang”, sebuah cerita tentang cinta, pengorbanan dan rahasia yang akan merubah hidup Alden selamanya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NdahDhani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6: Tiba-tiba di serang
Alden berjalan sendirian di jalanan yang sepi menuju ke kontrakannya. Siang ini, dagangannya cepat habis dan ia bisa mengambil waktu untuk beristirahat.
Saat melewati sebuah trotoar, Alden melihat seseorang yang familiar sedang duduk sendirian di bawah pohon rindang.
Dania, gadis itu sedang duduk manis sambil memainkan ponselnya. "Hai," ujar Alden ketika menghampiri gadis itu.
"Eh, hai Alden!" balasnya dengan senyum ceria. "Boleh duduk?" tanya Alden dan diangguki oleh Dania.
"Boleh kok, duduk aja." ujar Dania sambil menggeser posisi duduknya dan Alden langsung duduk.
"Lagi apa sih, serius banget?" ujar Alden ketika melihat Dania yang fokus pada ponselnya.
"Enggak ada sih, cuma scroll sosmed aja." Dania langsung mematikan ponselnya dan memasukkannya ke saku rok nya. "Kamu sendiri gimana? Masih keliling ya?"
"Tadinya niat mau pulang. Dagangan hari ini cepat habis. Gak sengaja liat kamu, jadinya aku kesini." Jelas Alden dengan seutas senyum.
"Alhamdulillah," jawab Dania dengan anggukan singkat.
"Kamu kenapa belum pulang Dania? Bahaya lho sendirian di sini," ujar Alden melihat sekitar karena tempat itu memang sepi.
"Cuma duduk sebentar aja, capek hari ini," suara Dania yang lembut sudah menunjukkan bahwa ia sangat kelelahan. "Banyak banget tadi kegiatan di sekolah."
"Mau aku antar pulang?" ujar Alden menawarkan bantuan. "Gak apa Alden. Aku bisa pulang sendiri kok," ujar Dania meyakinkan.
"Kamu yakin?" tanya Alden khawatir. "Iya, aku bisa pulang sendiri. Terima kasih sebelumnya," ujar Dania diangguki singkat oleh Alden.
Alden sedikit ragu-ragu, karena ia mengingat Dania pernah bercerita bahwa ia sering pusing jika kelelahan. Mungkin saat ini Dania juga sedang pusing, tapi Alden sendiri tidak tahu apa yang sebenarnya Dania rasakan.
"Ya, sudah." akhirnya Alden berbicara dengan sedikit tarikan nafas.
Dania hanya tersenyum, tiba-tiba ia berdiri dan mengambil tasnya. "Aku duluan ya Alden. Aku harus belajar karena besok ulangan."
Alden mengangguk singkat, kekhawatirannya tentang Dania mungkin terlalu berlebihan. Faktanya gadis itu terlihat baik-baik saja di depannya. Bukan karena rasa atau lainnya, Alden hanya khawatir gadis itu kenapa-kenapa di jalan.
"Ya sudah, hati-hati di jalan." ujar Alden kemudian.
Dania mengangguk singkat dan berjalan menuju persimpangan jalan. Sementara Alden juga berdiri dan berjalan ke arah berlawanan.
Dania tiba-tiba merasa pusing dan kunang-kunang, ia terdiam di tempat untuk beberapa saat. Ia ingin meminta tolong pada Alden, tapi pemuda itu sudah hilang dari pandangan.
Dania berdiri dan berpegangan pada tiang jalan. Ia menyesal tidak menerima tawaran Alden sebelumnya.
Dania memang sering pusing jika kelelahan, tapi akhir-akhir ini ia sering pusing tanpa adanya kegiatan yang melelahkan. Dania sendiri tidak tahu mengapa, dan ia juga tidak menceritakan ini kepada siapapun.
...✧✧✧✧✧✧✧✧✧✧...
"Woi! Berhenti lo!"
Alden hendak berbelok ke arah sebuah gang, tapi langkahnya terhenti ketika seseorang memanggilnya.
"Ya, ada perlu apa ya?" tanya Alden sambil membalikkan tubuhnya menghadap ke arah pemuda itu.
Pemuda itu masih mengenakan seragam sekolah, tapi bukan seragamnya yang difokuskan Alden melainkan tangannya yang terkepal.
Alden mengernyitkan dahi dan menaikkan alisnya, ia tidak tahu siapa dan apa maksud dari pemuda di hadapannya itu.
"Lo jauhi Dania," ujar pemuda berambut ikal itu singkat tapi penuh dengan ancaman.
"Sorry, lo siapa?" tanya Alden yang mulai waspada.
Pemuda itu berjalan mendekat, dan Alden bisa merasakan atmosfer di antara mereka yang mulai tegang.
"Lo gak perlu tau siapa gue. Yang jelas lo jauhi Dania," ujar pemuda tersebut dengan nada dingin.
"Sorry gue gak kenal sama lo. Lagipula apa urusannya sama lo, mau dekat atau enggaknya gue sama Dania itu bukan hak lo." tegas Alden dengan nada sama dinginnya.
Pemuda itu terlihat sangat marah, tatapannya tajam dan rahangnya mengeras. Alden bisa mendengar nafas pemuda itu yang mulai memburu.
Alden hanya bersikap santai, ia tidak mengenali pemuda itu dan ia tidak ingin ada konflik di antara mereka. Alden hanya menatap pemuda di depannya dengan tatapan datar, tidak menunjukkan ekspresi apapun.
"Gue bilang jauhi Dania!" teriaknya dengan suara yang menggelar.
"Sorry, gue gak ada urusan sama lo." Alden langsung membalikkan tubuhnya dan melangkahkan kakinya.
"Bacot lo!" Tiba-tiba saja pemuda itu melayangkan pukulannya ke wajah Alden, sontak membuat Alden terbawa emosi.
"Woi! Maksud lo apa hah?!"
Pemuda itu tidak menghiraukan perkataan Alden, ia menyerang Alden terus-terusan. Alden ingin membalas, tapi tenaganya kalah kuat karena pemuda itu yang membabi-buta.
"Hei! Berhenti!" ujar seseorang dari kejauhan, membuat pemuda berambut ikal itu berlari tunggang-langgang.
Seorang pria paruh baya, ingin mengejar pemuda itu. Tapi, ia berlari begitu cepat sehingga pria dewasa itu tidak bisa mengejarnya.
"Uhukk... Uhukk," Alden terbatuk dan memegangi perutnya yang sakit akibat serangan dari pemuda tadi.
Pria paruh baya itu menghampirinya dengan khawatir. Tangannya langsung memegangi kedua bahu Alden. "Kamu baik-baik aja, nak?"
"Saya baik-baik saja, Pak. Terima kasih sudah menolong saya," ujar Alden yang terlihat lemas.
"Ayo nak, ikut saya ke rumah. Biar lukanya diobati dulu." ujar pria paruh baya dengan kepeduliannya yang tinggi.
"Tidak apa, Pak. Saya baik-baik saja," Alden mencoba meyakinkan, tangannya menyentuh ujung bibirnya yang terasa perih.
"Baik-baik saja gimana? Wajah kamu penuh luka ini. Ayo ikut saya, rumah saya tidak jauh dari sini," ujar pria paruh baya itu memaksa.
Alden merasa tidak enak, akhirnya ia mengangguk perlahan dan mengikuti pria paruh baya itu ke rumahnya.
...✧✧✧✧✧✧✧✧✧✧...
Dania membuka matanya perlahan, ia menyadari bahwa ia sudah berada di rumahnya. Dania tidak tahu apa yang terjadi dan bagaimana bisa ia berada di rumahnya.
Hal terakhir yang Dania ingat, ia merasakan pusing kunang-kunang di persimpangan jalan. Ia tidak menyadari apa-apa lagi hingga terbangun di kamarnya.
Dania menoleh, mendapati gadis berambut sebahu duduk di tepi tempat tidurnya. Dania berpikir mungkin ia pingsan dan temannya itu yang membawanya pulang.
"Kamu udah sadar, Dania?"
Dania tidak menjawab apa-apa, ia seperti belum tersadar sepenuhnya. Hanya perasaan bingung dan penuh tanda tanya yang muncul pada dirinya.
"Mau minum?" tanya Rani sambil membantu Dania untuk duduk. Dania hanya mengangguk singkat dan membiarkan Rani membantunya.
"Terima kasih, Rani." akhirnya Dania berbicara walaupun singkat.
Rani meletakkan gelas di atas meja, menatap Dania dengan rasa kekhawatiran dan juga penasaran. "Kamu kenapa bisa pingsan di jalanan? Kamu pusing?"
Rani seakan tahu apa yang dirasakan oleh Dania, padahal gadis itu tidak bercerita apa-apa. Dania hanya mengangguk singkat tanpa kata. Kepalanya masih terasa sakit dan berat, mungkin karena efek pingsan yang baru saja ia rasakan.
Sementara di sisi lain, Alden pulang ke kontrakannya dengan wajah penuh dengan luka lebam dan plaster di beberapa bagian wajahnya.
Ibunya yang sedang duduk di teras, langsung menghampirinya dengan khawatir. "Alden... Ya ampun, nak! Kamu kenapa? Kamu bertengkar dengan siapa, nak?"
Alden yang tadinya berjalan menunduk, kini menatap ibunya dengan senyuman seakan tidak terjadi apa-apa. "Aku baik-baik aja kok Bu."
"Jangan bohong sama ibu, nak. Apa yang terjadi?" tanya ibunya memicingkan matanya, menatap Alden dengan tatapan tajam. Ibunya tahu bahwa Alden sedang tidak baik-baik saja saat ini.
"Maaf Bu," hanya kata itu yang keluar dari mulut Alden, membuat ibunya semakin khawatir.
"Kamu kenapa, nak?" tanya ibunya lagi, berharap Alden akan menjelaskan sesuatu untuk saat ini.
Alden ragu-ragu sejenak, ia menghela nafas panjang dan akhirnya ia berani jujur pada ibunya.
"Aku bertengkar Bu," ujarnya dengan nada berat. "Tapi, bukan aku yang mulai. Aku diserang oleh seseorang bahkan aku tidak mengenali dia, Bu."
"Ya Allah, nak..." ujar ibunya yang syok dan sedih.
"Gak apa kok Bu. Untungnya ada seorang pria paruh baya yang menghentikan aksi pemuda itu," jelas Alden.
"Syukurlah, nak..." Ibunya yang khawatir sedikit melunak dan ekspresi nya berubah menjadi kasihan melihat anak satu-satunya itu.
"Aku bersih-bersih dulu ya, Bu." ujar Alden dengan seutas senyum dan diangguki oleh ibunya. Alden kemudian berjalan ke dalam kontrakan, meninggalkan ibunya di teras.
"Ya Allah... Cobaan apa lagi yang harus kamu hadapi, nak..." batin ibunya, mengingat Alden yang selalu dihadapkan dengan orang-orang yang bertindak sesukanya terhadap anaknya itu.
^^^Bersambung...^^^