Sebuah novel dengan beragam jenis kisah horor, baik pengalaman pribadi maupun hasil imajinasi. Novel ini terdiri dari beberapa cerita bergenre horor yang akan menemani malam-malam mencekam pembaca
•HOROR MISTIS/GAIB
•HOROR THRILLER
•HOROR ROMANSA
•HOROR KOMEDI
Horor Komedi
Horor Psikopat
Horor Mencekam
Horor Tragis
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayam Kampoeng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 6 TEROR LEAK Part 6
Setelah ritual Ngejuk Bayang di hutan beberapa waktu lalu, hubungan antara Bagus dan Marni berubah tanpa mereka sadari, seperti kabut yang perlahan menyelimuti hutan menjelang malam hari. Ketakutan yang mereka alami bersama malam itu, kini sudah meruntuhkan tembok formalitas. Tidak ada lagi jarak antara peneliti dan subjek, antara orang kota dan gadis desa. Kini mereka adalah dua jiwa yang sama-sama terdampar di tengah badai serangan kutukan gaib yang belum bisa mereka pahami sepenuhnya, namun juga tidak bisa mereka hindari.
Hari-hari berikutnya diisi dengan persiapan yang matang. Tidak ada lagi waktu untuk bersantai. Bagus membantu Marni di kebun, menyiram tanaman yang tampak layu meski tanahnya tampak basah (hal aneh yang terjadi semenjak Pak Wayan hilang). Dia juga membantu Marni membersihkan rumah, menyapu lantai yang entah mengapa selalu terasa dingin dan berdebu, bahkan di siang hari.
Di sela-sela semua kegiatan itu, Bagus terus mencoba menerjemahkan isi daun lontar pemberian Mang Dirga. Simbol-simbol kuno yang awalnya tampak seperti teka-teki akademik kini berubah menjadi potongan-potongan puzzle. Sebuah peringatan. Setiap simbol yang berhasil dipecahkan oleh Bagus, menambah gambaran mengerikan tentang kekuatan yang mereka hadapi.
Leak bukan sekedar mahkluk gaib. Dia berasal dari manusia. Ilmu Leak adalah sebuah sistem. Sebuah hierarki. Kumpulan orang yang bersembunyi di alam astral, lengkap dengan aturan, persaingan, dan ritual pengorbanan. Ada tingkatan, ada pemimpin, ada pengikut. Dan di puncaknya, berdiri Balian Rawa. Sosok yang tidak hanya haus darah, tetapi juga haus jiwa yang murni...
Di sore hari, saat matahari mulai tenggelam dan siluet panjang membentang di sawah, Marni dan Bagus sedang duduk di beranda. Di saat-saat tenang itulah percikan-percikan lain mulai bersinar. Bukan cahaya, tapi rasa dari hati. Rasa yang tumbuh dari ketakutan bersama dan dari pelarian yang sama.
“Kamu tidak pernah cerita tentang kehidupanmu di Jakarta,” ujar Marni suatu sore, sambil membersihkan beras untuk makan malam. Suaranya pelan, tapi ada rasa ingin tahu yang tulus.
Bagus menghela nafas. Lalu berkata, “Hidup di sana jauh berbeda. Semua serba instan, dikejar waktu, berisik, dan... Di sana, ketakutan terbesarmu bukan sama Leak, tapi takut telat bayar kontrakan atau dikejar deadline pekerjaan. Bukan... dikejar makhluk gaib.” Ia tersenyum getir. “Kadang aku merindukan Jakarta.”
“Kedengarannya... sederhana,” bisik Marni.
“Tapi juga hampa, Marni. Aku datang ke sini untuk mencari sesuatu yang lebih ‘nyata’ dalam penelitianku. Ironis, ya?” Bagus tertawa kecil. “Kini aku mendapatkan lebih dari yang kubayangkan.”
Marni memandangnya, mata beningnya memantulkan cahaya senja. “Aku tidak pernah ke mana-mana. Hutan ini, desa Banjaran ini, adalah seluruh duniamu. Terkadang aku membayangkan seperti apa rasanya naik bus, melihat laut yang luas seperti yang diceritakan oleh ayah.”
“Jika semua ini berakhir,” kata Bagus, tiba-tiba bersemangat, “Aku akan mengajakmu ke Sanur. Menunjukkan laut biru yang indah padamu.”
Ucapan itu seperti janji di antara mereka, penuh dengan kalimat implisit tentang sebuah gambaran masa depan mereka. Marni tersipu lalu menunduk. Tangan Bagus tanpa sadar bergerak menyentuh tangan Marni yang sedang memegang baskom beras. Sentuhan itu hangat, singkat, tetapi cukup untuk membuat jantung keduanya berdebar kencang. Itu adalah percikan cinta yang lahir bukan dari buaian romansa, tetapi dari bayang-bayang ketakutan yang sama.
Namun, kedamaian itu tidak bertahan lama...
Keesokan harinya, Mang Dirga datang dengan wajah masam. Langkahnya berat, dan matanya menyimpan sesuatu yang lebih gawat dari biasanya.
“Kalian berdua harus berhenti,” gertaknya, matanya tajam menatap Bagus lalu Marni. “Energi di antara kalian berdua semakin kuat. Itu seperti obor di malam hari bagi mereka yang LAPAR. Cinta, kebencian, ketakutan, semua gejolak emosi kuat adalah makanan bagi Leak.”
“Kami hanya berteman, Mang,” bantah Marni, pipinya masih merah.
“Bukan itu maksudku!” bentak Mang Dirga. “Ikatan yang mulai terjalin. Itu membentuk tali energi. Dan tali itu bisa ditarik oleh Balian Rawa untuk menjerat kalian berdua. Bagus, kau membuat Marni lengah. Dan Marni, kau membuat Bagus menjadi rentan. Pisahkan diri kalian, jika kalian ingin selamat!” ucap Mang Dirga dengan dada naik turun.
Peringatan itu seperti air dingin yang disiramkan ke bara api. Dan Bagus yang sudah terlalu jauh terlibat pun memberanikan diri untuk berkata, “Atau justru bersama-sama kita menjadi lebih kuat? Kita bisa saling melindungi,” kilahnya.
Mang Dirga mendekat, wajahnya hanya berjarak sejengkal dari Bagus. “Kau memang anak muda yang bodoh! Kau pikir ini dunia dongeng, hah!? Ini mempertaruhkan nyawa kakian! Kau datang ke sini tidak membawa apa-apa kecuali ketidak-tahuanmu! Kau akan menjadi penyebab kematiannya!” hardik Mang Dirga sambil menunjuk ke arah Marni yang sudah pucat.
Bagus terdiam. Kata-kata itu menusuk lebih dalam dari yang dia kira. Bagus tidak tahu harus membalas atau mengalah.
Tepat setelah Mang Dirga pergi, suara teriakan memecah keheningan desa Banjaran. Kali ini berasal dari rumah keluarga petani di ujung desa. Warga berkerumun dengan wajah ngeri. Di tengah halaman, terbaring tubuh Kadek Sari, teman kecil Marni yang pemalu. Gadis malang itu sudah tidak bernyawa. Matanya terbuka lebar, membeku dalam ekspresi ketakutan yang tak terkira.
Yang membuat semua orang bergidik adalah kondisi tubuh gadis itu. Tidak ada luka fisik sama sekali, tetapi di lengan kanannya, terdapat luka bakar simbol yang sama seperti yang ada pada kerangka manusia di hutan dan yang tertulis di daun lontar. Luka bakar itu seperti bekas sundutan rokok, hitam dan menyala. Simbol itu tampak hidup, berdenyut pelan seperti luka yang baru dibuat.
“Dia... dia membuka kotak peninggalan leluhurnya,” isak ibunya yang histeris. “Kotak yang dilarang dibuka! Kata nenek moyang, berisi jimat penahan Leak!”
Kepala Desa Tulus, yang wajahnya semakin hari semakin muram mendatangi tempat kejadian. Dia melihat simbol itu, lalu menatap ke arah Bagus dan Marni yang baru saja tiba. Tatapannya penuh tuduhan dan ketakutan.
“Kutukan pertama sudah jatuh,” gumamnya. “Dan semua akan dimulai dari mereka yang dekat dengan kalian.” ucap Tulus sambil menunjuk Marni dan Bagus.
Kematian Kadek Sari adalah pukulan telak. Itu bukan hanya tragedi. Itu adalah sebuah pesan. Pesan yang sangat jelas. TIDAK ADA YANG AMAN. Dan pesan itu ditujukan langsung kepada Marni dan Bagus.
Malam itu, desa Banjaran terjaga. Orang-orang menyalakan dupa di depan rumah, menggantungkan jimat di pintu, dan berdoa dengan suara gemetar. Tapi angin tetap berhembus dingin. Angin yang menerpa warga desa yang berada di dalam rumah mereka. Suasana desa sunyi dan mencekam. Dan sesuatu tetap bergerak di sudut-sudut gelap desa itu.
Bagus duduk di beranda rumah Marni, matanya sendu menatap langit yang gelap. Marni duduk di sampingnya, diam. Tidak ada kata-kata yang bisa menghapus rasa bersalah. Tidak ada janji yang bisa menjamin keselamatan.
Ketakutan yang baru saja mulai mencair kembali membeku, lebih dingin dan lebih menusuk dari sebelumnya. Romansa yang baru saja bersemi kini terancam oleh bayangan kutukan yang semakin nyata.
Dan di kejauhan, dari arah hutan, terdengar suara lolongan. Bukan lolongan hewan. Tapi suara yang pernah mereka dengar dari dalam celah pohon beringin. Suara yang tidak seharusnya ada di dunia ini.
*
Sebelum ikut-ikutan nge-bully, coba deh tanya ke diri sendiri. Apa yang akan aku rasakan jika ini terjadi padaku atau adik/keluargaku?
☺️🥰