Rasanya sangat menyakitkan, menjadi saksi dari insiden tragis yang mencabut nyawa dari orang terkasih. Menyaksikan dengan mata sendiri, bagaimana api itu melahap sosok yang begitu ia cintai. Hingga membuatnya terjebak dalam trauma selama bertahun-tahun. Trauma itu kemudian memunculkan alter ego yang memiliki sifat berkebalikan. Kirana, gadis yang mencoba melawan traumanya, dan Chandra—bukan hanya alter ego biasa—dia adalah jiwa dari dimensi lain yang terjebak di tubuh Kirana karena insiden berdarah yang terjadi di dunia aslinya. Mereka saling Dalam satu raga, mereka saling menguatkan. Hingga takdir membawa mereka pada kebenaran sejati—alasan di balik kondisi mereka saat ini. Takdir itu memang telah lama mengincar mereka
Masalah Baru
⚠️️ Peringatan : Cerita ini mengandung adegan kekerasan dan bullying yang mungkin tidak sesuai untuk sebagian pembaca. Disarankan untuk pembaca yang berusia 18 tahun ke atas. Pembaca yang merasa tidak nyaman dengan konten semacam ini diharapkan bijak mempertimbangkan sebelum melanjutkan.⚠️
\=\=\=\=\=\=
Kirana hanya ingin hidup normal seperti orang lain, tetapi Tuhan telah menuliskan cerita hidupnya agak sedikit berbeda dengan manusia kebanyakan.
Chandra datang dalam hidupnya, entah sebagai anugerah atau musibah. Namun yang pasti, Chandra selalu menjadi penyelamat bagi Kirana dalam keadaan tersulit sekali pun. Begitu pula pada hari ini, Chandra muncul ke permukaan dan menggantikan posisi Kirana untuk memberikan pembalasan pada mereka yang telah berbuat semena-mena padanya.
Kirana tidak bisa melakukannya sendiri. Maka dari itu, dia membutuhkan Chandra untuk menjadi tameng pelindungnya.
Kembali ke saat insiden perundungan yang Kirana alami kemarin.
Saat itu, Kirana sedang larut dalam aktivitasnya, menggores permukaan kanvas dengan beberapa warna, hingga dari warna-warna tersebut terbentuklah suatu mahakarya yang luar biasa.
Kirana tidak sendiri di dalam ruang seni. Ada beberapa orang yang masih menetap di dalam sana. Mereka melakukan hal serupa dengannya.
Keadaan yang awalnya tenang, tiba-tiba berubah mencekam ketika Kirana mendengar seseorang melemparkan komentar yang buruk mengenai dirinya dan hasil karya yang dia buat.
"Kamu gambar apa sih? Kayaknya cuma sesama orang gila yang bisa ngerti sama lukisanmu itu," ejek Citra disertai tawa kompak dari teman-temannya.
Bagi mereka, mungkin itu hanya candaan semata yang terdengar menggelitik, namun tidak dengan Kirana. Meskipun dia merasa sakit hati, namun dia berusaha untuk mengabaikannya. Kirana tidak ingin terlibat dalam konflik dan masalah sedikit pun.
"Harusnya kamu jangan memaksakan diri dengan berkeliaran di kampus ini. Apa kamu nggak ngerti, orang-orang nggak ada yang mau berteman sama kamu, karena kamu aneh," tambahnya lagi, seolah tidak puas dengan respon yang Kirana tunjukkan.
Tak ada perlawanan sama sekali membuat Citra semakin menjadi-jadi. Suatu keputusan yang sangat buruk ketika dia mencoba untuk mengusik Kirana. Citra dengan ceroboh bangkit dari tempat duduknya dan mendekati Kirana. Dia merampas lukisan milik Kirana, lalu membantingnya ke lantai, kemudian menginjak-injaknya dengan kasar.
"Ups, maaf! Aku nggak sengaja menjatuhkannya," ucap gadis itu sambil menarik bibirnya ke bawah.
Citra semakin merasa berada di atas awan saat melihat Kirana sampai tertunduk untuk memungut sisa-sisa serpihan lukisan yang berserakan di atas lantai.
"Yang gila itu, kamu Citra! Kenapa kamu mengganggu Kirana?" teriak seorang gadis, datang membela Kirana.
"Wah, ada pahlawan kesiangan, nih. Kamu siapanya Kirana? Kamu mau ketularan aneh kayak dia? Kalau kamu nggak berhenti ikut campur, aku juga akan memberimu pelajaran."
"Aku nggak tahu, kamu sepicik dan sejahat ini. Kamu pikir kamu siapa? Hanya karena kamu punya segalanya, kamu jadi semena-mena seperti ini dengan orang lain. Oh, ya, dan satu lagi. Kamu berurusan dengan orang yang salah. Aku sama sekali nggak takut sama kamu. Ini bukan lagi di SMA, kamu nggak punya kuasa di sini," ketus gadis pemberani itu dengan tatapan mata setajam samurai. Sedetik kemudian, dia langsung menarik tangan Kirana untuk pergi dari ruang seni.
Kirana hanya menurut. Mengikut langkah teman yang sudah membelanya itu sambil memeluk lukisan yang telah rusak dengan mata yang terlihat mengembun.
***
Lauri baru saja memarkirkan mobilnya di area parkir kampus. Dia segera pergi menuju ke tempat yang diberitahukan oleh Sandra, yaitu ruangan konseling kampus.
Di ruang tunggu, Chandra dan Citra duduk berseberangan. Raut wajah Chandra terlihat datar, seolah tidak pernah terjadi sesuatu apa pun. Berbanding terbalik dengan keadaan Citra dengan rambutnya yang berantakan. Di sana juga ada Sandra, gadis itu duduk di samping Chandra, menunggu kedatangan kakaknya dengan harap-harap cemas.
Tak berapa lama kemudian, yang ditunggu akhirnya datang juga. Lauri segera masuk ke dalam ruangan dengan ekspresi tak kalah khawatir.
"Silakan duduk, Bu. Kami sudah menunggu kedatangan Ibu sejak tadi," sambut Angelina, seorang wanita muda yang bertugas sebagai Spesialis Bimbingan Konseling di kampus tersebut.
"Baiklah, mari kita mulai saja sesi konselingnya. Saya yakin, kita bisa menyelesaikan masalah ini secara damai," sambung Angelina mencoba menciptakan suasana yang tenang dan kondusif.
Lauri memandang Chandra sekilas, kemudian dia mengambil tempat duduk di hadapan Angelina. Angelina memberikan kesempatan terhadap kedua pihak yang berseteru untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi sehingga mereka berdua sampai terlibat perkelahian yang begitu sengit.
"Tanyakan pada wanita itu. Untuk apa dia membully Kirana kemarin? Dia mencari masalah denganku karena sudah berani membully," terang Chandra langsung pada intinya. Dia paling tidak suka bertele-tele.
Mendengar perkataan Chandra, Lauri sontak terkejut. "Bully? Apa maksudnya? Kenapa Kirana dibully?"
Citra tampak terkejut setelah mendapat desakan dari orang dewasa. Terlebih lagi dia hanya sendirian di sini. Tidak ada orang tua atau wali dari pihak Citra yang bersedia datang ke kampus untuk mengurusi masalah yang ditimbulkan olehnya.
"Tenang, Bu. Kita akan bicarakan baik-baik dan dengan kepala dingin," ucap Angelina yang seolah sadar dengan perubahan wajah Citra. Dia tidak ingin sesi konselingnya tidak terkendali dan tidak bisa menjadi penegah atau pendamai dari dua orang yang sedang berkonflik.
"Dia bohong. Aku tidak melakukan apa pun pada Kirana," elaknya, masih saja berbohong untuk membela diri.
Chandra tertawa sinis. Dia kemudian mengeluarkan ponselnya dan memutar rekaman video yang Kirana ambil kemarin. Padahal, niat awal Kirana merekam aktivitas melukisnya adalah membuat kenangan untuk dibagikan ke media sosial. Namun siapa sangka, video tersebut akan sangat berguna dalam keadaan seperti ini untuk melawan balik Citra.
Melihat rekaman video yang ditunjukkan oleh Chandra, seketika Citra langsung terdiam. Wajahnya kentara terlihat begitu tegang dan kaku. Sorot mata gadis itu juga memperlihatkan rasa cemas dan khawatir karena perbuatannya yang sudah ketahuan. Dia tidak bisa mengelak lagi.
"Bagaimana kamu akan menjelaskan rekaman video ini?" Chandra melemparkan serangan terakhirnya. Membuat gadis itu mau tidak mau akhirnya menyerah dan mengakui kesalahannya.
Citra tidak punya pilihan lain. Dia akhirnya mengaku dan meminta maaf atas perbuatannya kemarin. Namun, Lauri tidak menerimanya begitu saja. Dia susah payah menghidupi adik-adiknya, dengan keringat dan air mata. Bisa-bisanya orang asing—yang bukan siapa-siapa—malah memperlakukan adiknya seperti ini. Memang apa yang dilakukan oleh Kirana sampai dia harus pantas menerima perlakuan buruk dari orang lain.
Setelah melewati ketegangan demi ketegangan, akhirnya kedua belah pihak memutuskan untuk berdamai. Tentu saja ada syarat yang harus diikuti.
Adapun syaratnya, Citra tidak akan mengganggu dan mengusik Kirana lagi. Jika dia melakukan itu, dia bersedia untuk dikeluarkan dari kampus.
Begitu juga sebaliknya, Chandra—atas nama Kirana—berjanji tidak akan melakukan sesuatu secara gegabah dan dengan kekerasan. Jika dia melanggarnya, maka Kirana mau tidak mau juga harus bersedia dikeluarkan dari kampus.
Untuk mensahkan kesepakatan di antara keduanya, Angelina bahkan menyiapkan hitam di atas putih untuk ditandatangai oleh kedua belah pihak yang terlibat.
"Ibu harap ini adalah kejadian yang terakhir kalinya yang terjadi di lingkungan kampus. Jika terjadi sesuatu lagi pada Kirana, datanglah pada Ibu. Ibu akan bantu menyelesaikannya," nasehat Angelina sebagai penutup dari sesi konseling hari ini.
Semua orang bubar, meninggalkan ruangan. Chandra berjalan lebih dulu dari kedua kakaknya, dia malas mendengarkan omelan atas tindakannya hari ini.
Benar saja, baru beberapa langkah dia menginjakkan kaki di luar ruangan, Lauri berkata, "Kamu mau ke mana?"
"Aku ingin mencari udara segar dan juga minuman dingin untuk mendinginkan kepala," jawab Chandra masih memiliki rasa hormat pada wanita yang sudah membesarkannya itu, meskipun Chandra tahu, kehadirannya tidak pernah diinginkan.
"Baiklah. Tapi, kau harus segera pulang ke rumah. Ada beberapa hal yang harus kita bicarakan," perintahnya.
Chandra tak menjawab, dia hanya mengangkat tangan ke udara membentuk huruf O antara jari telunjuk dan jempol.
Bersambung
Senin, 1 September 2025