Cinta membuat seorang gadis bernama Suratih, menentang restu ayahnya. Damar, pemuda yang membuat hatinya lebih memilihnya daripada apa yang dikatakan orang tuanya, membuatnya mengambil keputusan yang sebenarnya mengecewakan sang ayah. Apakah Suratih akan bahagia membangun rumah tangga bersama Damar, setelah jalan yang dia tempuh salah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irawan Hadi Mm, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB. 3
Langit yang terang kini berubah terik saat matahari berada tepat di atas, Suratih dan Damar gak lagi berada di rumah Nimah mau pun sang nenek, Somaya.
"Kita mau kemana lagi, bang? Matahari panas banget ini!" beo Suratih.
"Kita ke mall aja, ada barang yang harus abang beli." ucap Damar, melajukan motor ninjanya ke salah satu mall ternama, dengan Suratih yang memeluk erat pinggang dalam boncengannya.
"Semoga kita selalu bisa bersama seperti ini ya, bang!" seru Suratih penuh harap, ia menyandarkan kepalanya di punggung bidang Damar.
"Semoga, sayang!"
Sementara di kediaman orang tua Damar.
Rumah besar nan megah dengan pagar besi di depannya itu, terlihat tampak sepi dan menonjol dari rumah rumah lain yang ada di sekitarnya. Jelas aja sepi, rumah sebesar itu hanya di tinggali 2 orang. Dirinya yang merupakan seorang janda yang di tinggal mati. Dan seorang anak laki laki yang kini berusia 21 tahun.
"Kamu belum juga selesai, Inah?" tanya Sumi, wanita yang sudah 3 kali menunaikan ibadah haji, dengan baju gamis yang membalut tubuhnya.
Inah menoleh, dilihatnya sang Tuan rumah tengah menatapnya nyalang dari depan pintu yang ada di halaman belakang. Dengan ke dua tangan di pinggang. Wajah yang gak lagi muda itu selalu menampilkan wajah judesnya.
"Belum mak haji, ini Inah lagi angkat jemuran. Abis beres angkat jemuran baru Inah mau gosok baju. Ada apa ya, mak haji? Apa ada kerjaan lain buat Inah?" cecar Inah dengan suara yang terdengar lembut.
"Kamu ngomong apa bisik-bisik, Inah? Ngomong tuh yang kencang, jangan lembek. Suara kamu pelan bangat kaya orang belum dikasih makan!" cerocos Sumi dengan nada tinggi.
Inah meletakkan keranjang pakaian di atas lantai berumput, lalu bergegas menghampiri Sumi.
"Inah angkat jemuran dulu ya mak haji! Mak haji mau suruh Inah ngapain?" tanya Inah dengan suara naik setengah oktaf, saat sudah berhadapan dengan Sumi.
Sumi berjingkat kaget, tangan kanan nya mengurut dadanya, dengan menggeleng gak percaya.
"Bisa pelan gak Inah! Kamu sengaja mau buat saya mati jantungan? Suara kamu lantang bener! Yang sopan Inah kalo ngomong sama saya! Jangan lupa, saya ini majikan kamu! Biar tua kaya gini, saya udah 3 kali nyaba mekah!" cerocos Sumi dengan bangga.
Inah menghembuskan nafas kasar, ‘Astagfirullah, serba salah lagi kan ngadepin mak haji.’
"Maaf mak haji! Mak haji ngapain susul Inah ke belakang? Mak haji butuh sesuatu?" tawar Inah dengan suara yang kembali lembut, dengan senyum merekah di bibirnya.
Sumi melirik tajam, beberapa pakaian yang masih berada di atas jemuran.
"Itu baju baju kenapa gak lu angkat Inah! Emang belum pada kering?" tanya Sumi.
"Baru mau diangkat, mak haji!” ucap Inah penuh penekanan.
"Iya udah lu angkatin dah ya! Jangan lupa lu gosok biar pada wangi, jangan dibikin bau apek baju baju gua sama Damar, Inah!" cerocos Sumi, lalu berbalik masuk ke dalam rumah mengabaikan Inah.
‘Sabar sabar, harus ekstra sabar ngadepin orang tua kaya mak haji. Saking bae upah masak, nyuci gosok baju, ngepel, bersih bersih di rumah ini gede. Kalo kecil, ogah juga gua bertahan kerja sama mak haji!’ batin Sumi, kembali melanjutkan aktivitasnya yang sempat tertunda.
Belum ada 10 menit, suara teriakan Sumi kini terdengar dari dalam rumah.
"Inaaaaah!"
Inah yang mendengar, langsung berlari masuk ke dalam dengan membawa serta keranjang pakaian.
"Astaga gusti, apa lagi ini!" gerutu Inah dalam langkahnya.
"Inaaaaah! Lu masih mau kerja apa gak sih! Dipanggil, nyamperin napa?" gerutu Sumi dengan suara lantang.
"Astaga gusti, apa lagi ini!” gumam Inah.
"Inaaaaah! Lu masih mau kerja apa gak sih! Di panggil, nyamperin napa!" gerutu Sumi dengan suara lantang.
"Inah di sini, mak aji! Ada apa lagi ya mak haji manggil, Inah?” tanya Inah dengan nafas yang ngos-ngosan.
Inah mendapati Sumi, wanita yang kerap kali ia panggil dengan sebutan mak haji. Tengah duduk di sofa yang ada di ruang tengah, netranya mengarah ke arah tv berlayar lebar yang menampilkan sinetron ikan terbang.
Sumi memalingkan pandangannya dari layar tv. Wanita yang gak lagi muda itu menelisik Inah, wanita berusia 30 tahun namun tampangnya terlihat lebih tua dari usianya. Wanita itu tengah memeluk keranjang berisikan pakaian yang baru ia angkat.
‘Inah ini kerjanya lelet bangat sih! Kayaknya sengaja di buat lelet ini mah, biar upahnya bisa dilebihin!’ pikir Sumi.
"Mak haji, mak haji tadi panggil Inah? Mau Inah ngapain lagi ya mak?" tanya Inah dengan selembut mungkin. Mendapati Sumi yang belum bersuara, meski ia sudah ada di hadapannya.
"Pake tanya lagi, kamu ngapain masih di situ? Sana gosok baju! Biar cepet kelar kerjaan kamu!" titah Sumi dengan nada gak santai. Ia menunjuk di mana ruang untuk menggosok pakaian berada.
Sungguh Inah ini memiliki batas sabar melebihi tebalnya tisu, ia menyimpan dalam dalam rasa kesalnya untuk Sumi. Wanita yang sudah membantunya dalam urusan keuangan, sebagai ganti dari tenaga yang sudah Inah berikan pada keluarga kecil Sumi.
"Iya mak haji, ini juga Inah mau lanjut gosok pakaian. Ada lagi gak mak aji, kali mak aji butuh sesuatu atau apa gitu! Biar Inah kerjain lebih dulu sebelum gosok pakaian." ujar Inah, masih bisa memperlihatkan segaris senyum di depan Sumi.
"Lu liat Damar gak? Dari tadi kayaknya Damar belum ke luar kamar itu!" Sumi melirik ke arah pintu kamar sang anak yang masih tertutup rapat. Gak peduli perasaan wanita yang ada di hadapannya.
"Pergi mak haji, dari jam 9 pagi kayanya udah pergi. Tapi Inah gak tau den Damar pergi kemana, bawa motor gedenya itu."
Sumi mengangguk kan kepalanya mengerti, netranya kini menatap Inah dengan tatapan mengintimidasi.
"Lu tau Inah, Damar anak gua atu-atunya yang paling cakep pergi kemana? Dia udah makan belum, sebelum pergi ninggalin rumah? Pakaiannya rapi kaga?" cecar Sumi penasaran ingin tau.
Inah menelan salivanya dengan sulit, ‘Eh bujuk, udah di bilang gua ora tau anak lu pergi kemana mak aji. Pake lu tanya lagi, bar.. bar, sabar!’
"Kok diam, lu tau kaga Inah?" hardik Sumi dengan nada tinggi.
***
Bersambung...