NovelToon NovelToon
Revan And Devan - Meaning Of Life (Huang Renjun)

Revan And Devan - Meaning Of Life (Huang Renjun)

Status: sedang berlangsung
Genre:Ketos / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Keluarga / Persahabatan / Anak Lelaki/Pria Miskin / Tamat
Popularitas:516
Nilai: 5
Nama Author: dsparkyu

[Follow dulu sebelum baca ya :)]
Penulis: Sparkyu x Hokuto

Bagi Revan, Devan adalah oksigen yang harus dirinya hirup agar bisa bernafas. Sementara untuk Devan, Revan adalah penopangnya untuk tetap berdiri. Tapi bagaimana jadinya jika salah satu dari oksigen dan penyokong itu ditakdirkan tidak bisa bertahan?



"Rumah gue itu ya lo, Devano Davian Putra". Perkataan Revan tegas namun lembut.

"Meski mama dan papa udah gak ada, gue gak akan berharap punya pengganti mereka, karena bagi gue lo udah cukup menggantikan kedua peran itu. Gue sayang lo Kak. Cukup Revano Ardian Pratama". Devan balas mengenggam tangan itu lembut.


Cerita non baku pertama dari aku~, kalau masih kurang mohon krisarnya ya. Ini juga cerita dengan peran karakterku sendiri

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dsparkyu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 6

Chapter 6......

Pagi itu di sekolah SMAN 399 Bandung terlihat sangat meriah. Banyak siswa dan siswi berkumpul di tepi lapangan. Kebetulan hari ini memang sedang diadakan pertandingan persahabatan antara tim sepak bola sekolah ini dengan tim sepak bola dari SMA Harapan, yang sebenarnya salah satu dari rangkaian acara pembukaan sebelum festival sekolah tahunan. Pada umumnya setiap tahun pertandingan ini juga akan meriah tapi untuk kali ini terasa lebih meriah dari biasanya, karena pada akhirnya Revan secara official akan ikut andil dalam pertandingan. Maka tidak heran banyak sekali teriakan para siswi terdengar dari tepi lapangan.

Bahkan daripada sebuah pertandingan ini lebih terlihat seperti acara konser ataupun fansign. Banyak siswa perempuan yang membawa banner dengan tulisan nama Revan. Ada juga yang membuat kaos mendadak untuk mendukung Revan di pertandingan kali ini. Tidak hanya para siswa perempuannya, tetapi siswa laki-lakinya juga terlihat antusias. Mereka benar-benar penasaran dengan kemampuan Revan yang selalu dibilang sempurna di dalam segala hal.

Di ruangan ganti tim sepak bola SMAN 399 tengah bersiap-siap. Disana ada Raka yang menjabat sebagai tim kapten. Tentu saja dia ditemani oleh Kian dan juga 'Revan'. Meski demikian, 'Revan' mendapati tatapan tidak enak dari rekan tim yang lainnya. Seolah berkata padanya bahwa dia gila jika harus turun di pertandingan ini. Sekaligus seolah membisikkan tolong jangan ikut bertanding bersama kami. Tetapi 'Revan' sendiri tidak terlalu mempedulikannya.

Angga, salah satu pemain andalan mereka mulai mendekati Raka. "Ka lo serius nurunin dia? Bukannya gue gak mau dia ikut tanding, tapi lo tahu sendiri faktanya kan."

"Kali ini gue setuju sama Angga, Ka." Tambah Denis pemain gelandang mereka.

Raka malah memberikan senyuman penuh artinya kepada kedua rekannya itu. "Percaya kali ini, gue gak akan salah sama keputusan gue."

"Revan juga udah berkembang kok. Malah gue yakin 100% kalau Revan ikutan kita bakal menang dengan mudah." Kian menambahkan untuk membuat Angga dan Denis yakin.

'Revan' berdiri dan ikut bergabung ke dalam pembicaraan. "Gue gak akan seburuk yang lo pada kira kok."

Kalimatnya diakhiri dengan sebuah smirk yang entah mengapa langsung membuat Angga dan Denis yakin dan berhenti mengeluh dengan mengapa harus menurunkan Revan. Hampir semua anggota tim mulai meninggalkan ruang ganti untuk menuju lapangan. Menyisakan Raka, 'Revan' dan Kian disana.

"Sejak kapan lo ngopy kepribadiannya Revan woy?" Raka bertanya pada 'Revan' yang kini sibuk memakan chips-nya.

'Revan' menanggapi dengan santai. "Kayaknya hidup barengan sama dia selama dari rahim gue udah ketularan dia tanpa gue sadarin."

Kian terbahak. "Apaan tuh tadi, gue aja ampe kagak bisa kicep liatnya. Sampe bingung yang gue liat tadi senyum sombongnya si Revan atau lo Dev."

"Lo tahu, kalian itu bener-bener identik. Gue yang dari kecil temenan ma kalian, pagi tadi pas lo dateng, gue gak bisa bedain lo ini Devan atau Revan." Raka juga menyetujui perkataan Kian itu.

Kian mengangguk-anggukkan kepalanya. "Sayang sih sifat kalian beda. Revan lebih mirip setan dan lo lebih mirip malaikatnya."

"Yan ngomong lagi dong biar gue rekam, nanti gue kirimin ke Revan langsung." Minta Raka dengan jahilnya.

Kian melotot. "Woy apaan lo ya? Seneng banget gue kesiksa sama Revan."

Raka kembali tersenyum jahil. "Hiburan Yan hiburan, daripada harus pergi ke acara lawak kan harus modal duit."

"Asem lo Rakambing!" Kesal Kian padanya.

'Revan' sendiri hanya bisa menggelengkan kepalanya. "Tuhan masih sayang sama umatnya ternyata, untung duo absurd ini dapat temen kayak Revan yang normal kelakuannya."

"Nah mulai ini nih sifatnya yang sama kayak Revan keluar. Lidahnya tajem, kalau itu piso bisa bunuh orang tau gak Dev?" Pertanyaan retoris dikeluarkan dari Kian.

'Revan' hanya mengacuhkannya dan malah mengajak Raka untuk segera menuju lapangan. "Kuy Ka, pertandingan udah mau mulai. Tadi berasa ada yang ngomong tau gak?"

"Yoi. Kita ke lapangan sekarang." Raka malah ikut-ikutan mengejek Kian.

Kian hanya bisa mengerang frustasi. "Dosa apa gue ini dinistain mulu hidupnya?"

Kedua tim sudah mulai memasuki lapangan. Suara teriakan semakin kencang ketika 'Revan' sudah mulai memasuki lapangan. Ada yang bersorak menggelorakan nama Revano Ardian Pratama berkali-kali. 'Revan' membalas dukungan mereka dengan senyuman. Ini suatu keajaiban 'Revan' yang tidak pernah merespon apapun akhirnya memberiksan responnya meski hanya sedikit. Teriakan dukungan semakin heboh dengan hal yang dilakukan oleh 'Revan' tadi.

Akhirnya peluit tanda babak pertama dimulai pun ditiupkan oleh wasit. Ada berbagai macam ekspresi dari para penonton. Dari mulai yang biasa saja hingga sangat tegang. Tidak disangka 'Revan' bermain dengan begitu baik di pertandingan ini. Rekan tim lainnya seperti Angga dan Denis terlihat tidak percaya. Perkataan 'Revan' tadi pagi sudah dibuktikannya dengan sendiri. SMA Harapan saat ini sudah tertinggal satu angka dari SMAN 399. Padahal sehari sebelumnya mereka mendapat informasi bahwa 'Revan' itu tidak akan pernah bisa bermain sebagus itu, tapi sepertinya informasi yang mereka dapatkan salah. Hingga akhir pertandingan pertama SMA Harapan belum bisa mengejar ketertinggalan mereka yang bahkan sekarang sudah 2 angka dipimpin oleh SMAN 399.

Di sela istirahat 15 menit 'Revan' duduk dengan santai sambil meminum minuman energinya. Para rekan tim yang lain juga terlihat bahagia dengan wajah penuh senyum. Mereka tidak menyangka bahwa 'Revan' akan bermain dengan sebaik ini. Tidak henti-hentinya mereka memberikan pujian kepada 'Revan' yang hanya ditanggapinya dengan senyum tipis. Percakapan tentang memuji 'Revan' berakhir ketika seseorang datang menghampirinya yang rupanya adalah pemain dari tim lawan. Sekaligus wajah Raka yang cukup terkejut setelah melihat siapa yang menghampiri mereka.

"Oh jadi ini kemampuan lo yang sebenernya? Revano Ardian Pratama." Sapaan 'familiar' langsung keluar dari mulutnya.

Raka langsung berdiri dari duduknya. "Apa yang lo lakuin disini?"

"Lo buta ya? Liat seragam yang gue pake." Dengan tersenyum sinis pemain itu menjawab.

Raka mencoba menahan emosinya. "Haris! Yang gue tanya apa yang mau lo lakuin disini?!"

Haris memasang wajah angkuhnya. "Apa lagi? Maen bola lah ngelawan SMA kalian." Matanya melirik 'Revan' yang masih diam menatapnya. "Sekaligus pengen nostalgia sama lo Rev."

"Gak usah sok akrab lo!" Raka menepis tangan Haris yang akan memegang pundak Revan.

Tetapi Haris berhasil menghindarinya. Dia menatap tajam 'Revan'. "Seperti yang gue duga lo cuma bisa diem Rev. Lo cuma bisa melarikan diri Revano."

'Revan' berdiri dan berbalik menatap tajam Haris. "Asal lo tahu, gue bukan tipe orang seperti dugaan lo! Kita buktiin di pertandingan sekarang!"

"Lucu gue denger semua itu dari lo, jangan bilang lo lupa kalau..." Perkataan Haris terpotong karena Raka langsung memukulnya.

'BUK'

"Pergi lo!" Raka semakin ingin menghajarnya jika saja Kian tidak menghentikannya.

Kian dan pemain lain berusaha menghentikan Raka. "Udah Ka udah! Lo yang namanya Haris mending balik ke tim sekolah lo, plis kita gak mau ada keributan."

Setelahnya Haris hanya berlalu sembari memberikan senyum mengejeknya pada Raka. Untung saja sedang tidak ada banyak orang, jadi kejadian tersebut bisa ditutupi oleh semuanya. Hanya saja sebuah pertanyaan besar langsung terngiang di dalam benak 'Revan'. Siapa sebenarnya orang bernama Haris itu. 'Revan' ingin bertanya pada Raka tapi melihat kondisinya saat ini sepertinya itu tidak bisa dia lakukan. Dia hanya bisa fokus untuk pertandingan di babak kedua ini.

Babak kedua akhirnya dimulai. Kali ini Haris diturunkan ke dalam pertandingan. Keadaan seolah berbalik, kini SMA Harapan lah yang seolah memegang kendali atas jalannya pertandingan. Mereka bahkan sudah bisa menyamakan kedudukan menjadi 2-2. Para pemain SMAN 399 juga sudah sampai pada batasnya. Melihat itu Raka langsung memberikan intruksi pada pelatih agar segera menggantikan 'Revan'. Baru saja mereka akan mengganti pemain, mata Raka terlihat terkejut karena melihat 'Revan' yang jatuh dari lapangan. Wasit langsung memberikan kartu kuning pada Haris karena melakukan tekel yang berbahaya.

Suara khawatir para siswi langsung terdengar ketika melihatnya. Tim medis langsung membawa tandu dan membawa 'Revan' ke pinggir lapangan. Dari apa yang dilihat, tim medis mengisyaratkan bahwa 'Revan' tidak bisa lagi bermain. Sebenarnya 'Revan' ingin tetap bermain tetapi melihat raut wajah Raka dia tidak berani membantahnya. Lagipula dia sudah berjanji untuk tidak memaksakan diri. Hingga pertandingan berakhir mau tidak mau SMAN 399 harus menerima kekalahan mereka dari SMA Harapan dengan skor 4-2. Semua ini karena masuknya Haris dan 'Revan' yang harus tumbang. Tetapi para penonton tidak kecewa setidaknya tim sekolah mereka sudah melakukan yang terbaik. Sedikit marah karena Haris bermain kasar di dalam pertandingan.

Setelah acara pertandingan persahabatan selesai Raka dan Kian terus saja menanyakan keadaan kaki 'Revan' baik-baik saja atau tidak. Karena saat mengantar pulang Devan nanti, mereka berdua tidak mau kalau sampai harus dibunuh oleh Revan. Meski Devan sudah mengatakan dia baik-baik saja dan lukanya tidak cukup parah Raka dan Kian tetap saja terus menanyainya.

Mereka akhirnya tiba di rumah Devan. Langsung sebuah wajah dengan penuh introgasi terlihat di hadapan mereka. Siapa lagi jika bukan Revan yang memperlihatkan wajah itu. Revan menatap adik kembarnya dari ujung kepala sampai ke ujung kaki. Memeriksa setiap keadaan tubuh adiknya dengan seksama. Matanya menangkap suatu bekas luka di lutut Devan.

"Apa yang gue bilang tentang gak usah maksain diri lo?" Tanya Revan dengan dingin.

Devan langsung menjawab. "Gue gak maksain diri Rev. Gue awal menit babak kedua langsung diganti kok."

"Lo kepaksa diganti karena luka di lutut lo kan Dev?" Revan lebih menekankan itu pada pernyataan dibanding pertanyaan.

Kian mencoba menjawab pertanyaan Revan, tetapi Devan langsung menutupinya. Dia tidak tega melihat wajah Kian dan Raka yang seolah sangat bersalah. Devan tidak mau sampai kemarahan Revan mengimbas pada Raka dan Kian. "Halah Rev, tadi ada cewek cantik lewat jadi gue kesandung terus kepeleset."

"Makanya kalau jalan tuh pake mata Dev, udah berapa kali gue bilang." Revan mengacak-ngacak rambut Devan.

Devan merengut kesal dan segera melepaskan tangan Revan. "Mau gua gibeng ya lo Rev? Lagian dimana-mana jalan itu pake kaki bukan pake mata Revano."

"Ih dasar maung." Ejek Revan pada Devan

Devan mendecak kesal dan memasuki kamar. "Bodo amat gue maung, gue mau ganti baju dulu."

"Oi Yan napa lo? Serius amat kayak mikirin sesuatu?" Revan menangkap Kian yang terdiam.

Kian mengangguk. "Gue cuma ngebayangin gimana kalau orang jalan pake mata, serem tau gak Rev. Lagian bener kata Devan jalan itu dimana-mana pake kaki Rev. Gue gak nyangka lo dikasih sakit sedikit aja kadar kepintaran lo sampe nurun sebegininya."

"Ka? Gue pengen emosi tapi gabisa kayaknya." Revan mengeluhkan dirinya.

Raka tersenyum. "Atau mau gue wakilin aja Rev emosi lo?"

Kian hanya bingung mendengar mereka, tetapi ada sebuah sinyal yang mengisyaratkan agar dirinya segera melarikan diri. "Gue pamit ya, bye."

Kian berlari bahkan lebih kencang dari seekor cheetah meninggalkan mereka berdua. Setelahnya Raka juga pamit untuk pulang.

.

.

.

.

.

Hari ini Revan sudah mulai bisa masuk sekolah lagi. Istirahat di rumah selama 5 hari penuh memang membuat badannya pegal-pegal. Jika saja bukan karena ancaman Devan kepadanya, dia sudah mau masuk sekolah di hari ketiga juga. Kali ini seperti biasa Revan sedang beristirahat di kantin bersama Raka dan Kian. Tatapan para siswa perempuan selalu saja tertuju padanya.

Sebenarnya itu bukan hal yang aneh bagi Revan. Tapi sedikit yang membuatnya aneh adalah para siswa itu memberikan berbagai obat-obatan untuk luka kepadanya. Walau Revan selalu menolaknya. Mereka juga terus bertanya apakah luka pada lututnya sudah sembuh apa belum. Karena penasaran dia mulai bertanya pada salah satu siswa perempuan.

Siswi itu langsung berteriak kala Revan memgang tangannya jika saja tidak dihentikan oleh Revan. Dia bertanya kenapa pada saat itu dia harus mendapatkan luka di lutut. Siswa perempuan itu tertawa, tingkah Revan lucu sekali. Bagaimana bisa dia lupa bahwa saat itu dirinya ditekel oleh pemain lawan dengan sangat keras. Satu nama diucapkan oleh siswa perempuan itu dan sukses membuat Revan membeku untuk beberapa saat.

Siswa perempuan itu sangat senang karena obat luka pemberiannya diterima oleh Revan. Setelahnya dia pergi dengan penuh kegirangan. Di sisi lain dia menatap Raka yang wajahnya mencurigakan. Karena sudah tidak tahan lagi ditatap sedemikian rupa oleh Revan, dia memutuskan untuk mengatakan yang sebenarnya. Terlebih saat ini hanya ada mereka berdua. Kian sedang ke toilet karena mendadak sakit perut.

"Iya Haris, Haris yang ada di pikiran lo saat ini emang itu Haris yang dimaksud sama cewek tadi." Ucap Raka pada akhirnya.

Revan sedikit menggebrak meja, membuat para siswa lain terkejut dan takut sekaligus. "Kenapa lo gak jujur sama gue?"

"Gue pengen dari semenjak itu gue pengen nyerita tapi lo harus tau keadaannya gimana Rev." Raka mendesah frustasi.

Revan memicing dingin. "Dan lo biarin Devan dibunuh perlahan sama dia gitu?"

Raka menggelengkan kepalanya. "Apaan sih lo Rev?! Kalau gue cerita tentang Haris saat itu juga, gue yakin lo bakal kepancing emosi dan apa lo mau Devan tahu semuanya?! Gue aja nyaris keceplosan terus kalau gak ada Kian yang ngalangin gue buat ngehajar itu orang."

"Seenggaknya lo bisa jujur ke gue saat Devan gaada!" Nadanya memang dingin, tapi lebih tersirat kekecewaan disana.

Raka mengerang frustasi. "Gue butuh waktu Rev, gue butuh waktu! Lo gak tahu gue terus berusaha ngehindarin pertanyaan Devan tentang Haris ke gue! Nah tadi pagi gue udah mau bilang kok sebelum lo natap gue dengan tatapan ngebunuh lo tadi!"

Revan hanya terdiam tidak mau lagi membalas kalimat Raka. Kian yang baru saja kembali dari toilet sedikit bingung melihat keadaan dua rekannya. Walau Kian agak lemot, dia bisa menyimpulkan ada sesuatu yang tidak beres diantara keduanya.

"Apaan sih kalian diem-dieman kayak ketemu mantan?" Kian mencoba mencairkan suasana diantara keduanya.

Revan membalas dingin. "Gue gak mood becanda."

"OK. Ok. Kalau kalian pikir gue gak denger pertengkaran kalian tadi, kalian berdua salah. Gue tau gue sama Raka salah karena gak bilang kejadian ini ke lo, tapi gue juga emang memaklumi Raka terus diburu pertanyaan tentang si Haris itu sama Devan. Gue juga gak bisa jawab karena gue gak tahu masalah kalian berdua sama si Haris itu apa. Tapi Rev ucapan lo tadi bener-bener keterlaluan Rev. Lo seolah bilang kalau Raka ngelakuin hal yang kejam dan sengaja ngekhianatin persahabatan kalian." Jelas Kian untuk menengahi keduanya.

Revan menghembuskan nafasnya kasar. Dia tidak menampik, bahwa ucapannya tadi sudah cukup keterlaluan pada Raka. "Sorry Ka, gue gak kontrol ucapan gue."

"No problem. Gue ngerti lo kok." Balas Raka tersenyum.

Mereka bertiga kembali ke dalam suasana yang seperti biasa.

Sementara itu di meja lainnya ada Devan dan Ardli sedang menikmati makan siang mereka. Tidak lupa juga Ardli selalu memperingatkan Devan jika dia makan terlalu pedas. Mengingatkannya untuk segera meminum obat setelah makan. Devan mencebik semakin hari semakin mirip Ardli dengan Revan.

Setelah memakan makan siang mereka, Ardli malah sibuk dengan laptopnya yang memang sedari tadi dibawa olehnya. Devan merasa diabaikan oleh sahabatnya itu padahal tadi dia sangat cerewet sekarang malah asyik bermesaraan dengan salah satu pc yang bisa dibawa pergi kemanapun.

Karena bosan Devan juga mulai memainkan ponselnya untuk bermain game MMORPG yang sangat disukainya itu. Sayangnya Devan tadi malam lupa untuk men-charge ponselnya tersebut, alhasil ponselnya menunjukkan tanda low battery. Karena tidak ingin ponselnya sampai mati dan membuat jiwa singa Revan mengamuk, Devan memutuskan untuk berhenti memainkan ponselnya dan hanya memperhatikan Ardli dengan bosan.

Ardli memang sedang mengedit video. Devan sudah menduga bahwa itu pasti dari hasil kegiatannya saat sahabatnya itu tidak bisa melihat dirinya bertanding. Cita-cita Ardli memang ingin menjadi video editing sampai mendalaminya seperti ini. Merasa bosan otak jahil Devan mulai bekerja, kini dia mengambil laptop Ardli dengan paksa.

Ardli sangat ingin mengumpatkan seluruh kata-kata manis pada Devan, sayang disana dia melihat Revan dan tentu dia tidak ingin masuk ke lubang buaya. "Dev, gue belum selese ngeditnya kambing!"

"Bodo amat lo cuekin gue sih, emangnya gue patung apa?" Balas Devan acuh dan mulai memainkan laptop Ardli.

Ardli menggaruk rambutnya. "Gue gak acuhin lo, gue lagi ngedit dulu elah. Kayak anak kecil banget sih."

"Bomat. Gue juga masih ngambek karena lo gak liat pertandingan gue waktu itu." Lagi jawab Devan keras kepala.

Ardli menghela nafasnya. "Terus biar lo gak ngambek gue harus apa?"

"Beliin gue kuota seumur hidup, lo kan kaya Dli." Pinta Devan dengan wajah polosnya.

Ardli langsung menjawab singkat. "Ogah."

Devan mencebik. "Dasar udah pelit sampe DNA lo. Yaudah gue bakal mainin ini laptop sampe bel masuk."

"Kalau kita kaya bukan berarti kita harus menghamburkan uang, yang harus dilakuin adalah membeli apa yang dibutuhkan bukan diinginkan." Ardli berkata sok bijak lagi.

Devan hanya menggelengkan kepalanya mendengar perkataan Ardli. Dia ingin mengejeknya saat itu juga, tetapi sebuah foto mengalihkan perhatian Devan. Foto tersebut langsung di zoom oleh Devan. Tidak salah lagi itu adalah orang yang waktu itu malabraknya dan Raka ketika pertandingan persahabatan sepak bola dengan SMA Harapan.

"Darimana lo ambil foto ini Dli?" Tanya Devan langsung.

Ardli langsung melihat foto tersebut. "Oh ini, waktu acara photograph gallery. SMA Harapan yang lo lawan waktu itu, kenapa emang?"

"Lo tahu dia ini siapa?" Devan langsung menunjuk foto Haris.

Ardli mulai berpikir. "Kalau gak salah namanya Haris. Harista Bratmajaya. Kalau gak salah sebelas dua belas lah sama Revan. Dia cowok nomor satu disana, idola nomor satu. Kenapa lo nanyain nih orang tiba-tiba segala? Kesambet lo ya Dev?"

"Revan kayak kenal sama orang ini, cuma dia gak pernah bilang sama gue." Jelas Devan padanya.

"Ha? Kok bisa? Para siswa cowok disana bahkan bilang jangan pernah deketan sama Haris kalau lo gak mau punya masalah. Gak nyangka gue, Revan circle pertemanannya nyampe sana dong. Keren gak tuh kakak kembar lo?" Ardli malah memuji Revan.

Devan menghela nafasnya. "Pertemanan, gue lebih milih kata permusuhan buat mereka."

"Serius Dev?" Tanya Ardli tidak percaya.

Devan mengangguk. "Iya gue serius."

"Haris tuh orang yang bahaya Dev. Sekali dendam dia bakal ngelakuin cara apapun buat ngelampiasin semua dendamnya." Ardli mengetahui ini dengan fakta dari beberapa siswa yang ada di SMA Harapan pada waktu itu.

Perkataan Ardli sukses membuat Devan menjadi kepikiran hingga masuk bel. Jika dia memikirkannya lagi kalimat Ardli tadi memang tepat. Pada saat pertandingan, Haris benar-benar serius melakukan sesuatu yang mengejutkan padanya yang pada saat itu dianggap adalah Revan. Dia semakin khawatir dengan kakak kembarnya tersebut. Apa yang tidak diketahui oleh dirinya tentang Revan sebenarnya? Saat pulang nanti Devan memutuskan untuk menanyakannya langsung pada Revan.

Bel pulang sudah berbunyi. Devan tanpa lama langsung membereskan tasnya dan meninggalkan Ardli yang hanya bisa heran. Tumben sekali Devan terburu-buru seperti itu, biasanya dia paling malas untuk buru-buru pulang. Setelah melihat Revan yang sudah menuju motornya Devan ingin segera bicara, tetapi ada ekspresi dingin terpancar dari wajahnya. Jika seperti itu Devan yakin sedang terjadi sesuatu ataupun Revan memang sedang dalam keadaan benar-benar marah saat ini.

Sepanjang perjalanan pulang Revan tidak mengeluarkan ekspresi apapun. Wajah datar dan sangat dingin. Sampai ke rumah Devan sedikit bergidik terkejut karena dia mendengar Revan membanting pintu dengan cukup keras. Namun karena rasa penasarannya tentang siswa bernama Haris itu, Devan memberanikan diri untuk bertanya pada Revan.

Baru saja Revan akan pergi ke kamarnya, Devan terlebih dahulu menahan tangan Revan. "Rev tunggu."

"Apa?" Tanya Revan dingin.

Devan tidak mengerti kenapa Revan sampai semarah ini. "Kenapa sih lo? Ngambek ngedadak segala."

Revan mendecih. "Ha? Lo gak nyadar lo udah boong sama gue Dev?"

"Bohong?" Devan semakin bingung dengan pertanyaan Revan.

Revan tersenyum sinis. "Kepeleset? Lo ditekel Haris kan? Maksud lo boong ke gue apa? Biar lo disangka kuat dan jagoan gitu? Lagi-lagi lo gak mau nurutin apa yang gue minta Dev! Padahal itu buat kebaikan lo sendiri!"

"Rev, gue nurutin. Gue gak tau bakal ada kejadian itu. Gue bohong waktu itu karena gue tahu lo tuh emosian kayak gini! Gak pernah ada di sekenario hidup gue buat ketemu orang yang namanya Haris Rev." Devan berusaha menjelaskannya pada Revan.

Revan berusaha untuk tidak marah. "Dev gue pengen lo ngehindar dari orang itu dan orang itu harus gatau bahwa lo itu ada."

Devan bingung dengan permintaan Revan. "Sepelik itu masalah lo sama dia ya Rev. Disini cuma gue yang gatau, padahal kita barengan terus. Jadi Rev gue pengen nanya siapa itu Haris dan punya masalah apa lo sama dia?"

"Gak ada yang perlu gue jelasin Dev. Lo cuma harus nurutin ucapan gue tadi." Jawab Revan seadanya.

Devan tidak terima pernyataan Revan itu. "Lo kembaran gue kita sodaraan! Gue berhak buat tau! Lo seenaknya aja ngurusin gue tapi kenapa gue gak boleh ngurusin lo?!"

"Lo tahu Dev, gak semua masalah pribadi gue harus diceritain ke lo." Ucap Revan dengan nada sangat dingin.

Devan sangat terkejut mendengar kalimat Revan. Entah kenapa perasaannya sangat sakit mendengar itu semua. Revan sendiri dia tidak mengira akan mengeluarkan kalimat itu begitu saja. "Eh Dev lupain aja pembicaraan ini, gue gak mau berantem dan malah bikin kesehatan lo turun. Gue pamit kerja dulu. Jangan lupa minum obat lo."

"Lo egois Rev........." Hanya kalimat itu yang keluar dari Devan setelahnya.

.

.

.

.

.

.

Pagi ini Revan sudah duduk manis di mejanya. Bukan di dalam kelas tetapi di dalam ruangan rapat. Ya, tidak terasa festival tahunan sekolah akhirnya dimulai juga. Sebagai ketua panitia acara festival dia harus menunjukkan sikap yang bisa dicontoh oleh semua siswa. Para anggota panitia festival tidak berhenti-berhenti memandang Revan dengan tatapan takjub dan kagum. Revan begitu menunjukkan pesonanya yang luar biasa.

Revan mengarahkan semua kegiatan dengan baik. Dimulai dari pembukaan hingga penutupan festival nanti. Tidak hanya Revan, para siswa juga mengagumi Raka yang tidak kalah berwibawanya. Tidak ada salahnya Raka dipilih menjadi ketua OSIS sebagai kandidat terkuat pada saat itu untuk menggantikan Revan yang bersikukuh tidak mau menjadi ketua OSIS.

Festival sekolah ini berlangsung sangat meriah. Banyak stand makanan dimulai dari makanan lokal hingga makanan luar negeri. Ada juga berbagai permainan menyenangkan yang bisa dimainkan oleh para siswa. Para guru di SMAN 399 sangat beruntung karena untuk tahun ini mereka memiliki Revan dan Raka sebagai ketua panitia dan ketua OSIS. Murid-murid terlihat sangat antusias mengikuti setiap acara yang ada di festival sekolah tahun ini. Acara ini cukup bagus untuk para murid, jadi mereka bisa sedikit refreshing tanpa harus selalu fokus pada tiap pelajaran yang ada.

Acara festival sudah mulai memasuki acara pertunjukkan musik. Ini adalah acara yang paling ditunggu oleh semua murid yang ada disana. Revan dan Raka menjadi MC dari pertunjukkan musik yang akan diadakan. Semua siswi berteriak kegirangan melihat Raka dan Revan yang begitu sempurna di atas panggung.

"Jadi Rev, pertunjukkan selanjutnya paling ditunggu bukan?" Tanya Raka diatas panggung pada Revan.

Revan menjawab dengan senyuman yang langsung membuat para siswi heboh. "Ya! Music is my life! Bakal banyak banget penampilan dari setiap kelas."

"Dan satu lagi kalian pasti tahu pertunjukkannya siapa yang paling ditunggu kan?" Raka bertanya pada para siswa dan siswi di bawah panggung.

"Revano! Revano! Revano! Revano!" Dari bawah sana mereka berteriak.

Raka membenarkannya. "Ya Revano Ardian Pratama bakal perform bareng Arkiansyah sebagai gitarisnya, tepuk tangan semuanya!"

Revan tersenyum kikuk, tanpa sadar dia bertingkah lucu. "Gue malu Ka, stop."

Semua langsung berteriak melihat sikap Revan yang jarang sekali ditunjukkannya.

Masing-masing perwakilan kelas satu-persatu memberikan penampilan musik mereka. Semua langsung terbawa suasana dengan setiap musik yang dimainkan. Sampai saat gilirannya Revan suasana semakin meriah. Disana terlihat Kian sudah siap dengan gitarnya yang tidak kalah sukses menarik perhatian para siswi disana. Kian tampak begitu tampan dari sehari-hari biasanya.

Kemeriahan semakin terasa saat Revan sudah menaiki panggung dengan pakaian tampilnya. Teriakan para siswi langsung terdengar melihat Revan. Sang idola sekolah memang selalu sukses membuat semua orang terkagum. Dengan ditemani permainan gitar indah dari Kian, Revan mulai bernyanyi. Suara Revan tidak bisa dipungkuri begitu indah dan lembut. Para penonton bahkan ikut bernyanyi bersama Revan dan Kian.

Setelah lagu ketiga dinyanyikan, Revan memberikan sebuah encore yang luar biasa. Secara tiba-tiba dia bernyanyi sambil menari. Semua langsung berteriak histeris melihatnya. Mereka seolah menonton konser solo secara langsung. Kian yang sudah turun dari panggung kini hanya bisa tertawa menyaksikan Revan yang tidak biasa. Ya itu memang penampilan mengejutkan yang sengaja direncanakan oleh Raka saat dirinya marah pada saat itu. Semua bertepuk tangan setelah Revan menyelesaikan penampilannya.

Tanpa terasa acara sudah selesai. Para murid mulai meninggalkan sekolah untuk pulang. Panitia sendiri kini sibuk untuk membereskan bekas-bekas festival. Revan bahkan tidak mengganti pakaiannya terlebih dahulu. Disana dia melihat Devan dan Ardli yang masih duduk untuk menunggunya. Setelah membereskannya, Raka, Kian dan Revan menghampiri mereka berdua.

"Gimana penampilan tadi gue sama Revan?" Tanya Kian dengan narsis.

Ardli mengedikkan bahunya. "Well, bagus kok. Acieh Rev, lo udah kayak oppa-oppa Korea aja nyanyi sambil joget-joget."

Revan memutar bola matanya malas. "Lo muji apa ngeledek?"

"Elah Rev, meski konyol lo tadi. Tapi gue akuin lo keren di atas panggung." Devan memuji dengan ikhlas rupanya kali ini.

Revan menatap Devan tidak percaya. "Heh kagak salah denger kan gue? Tumben amat dipuji gue ama Devan."

Kian mencebik. "Kan yang nanyain gue tadi, kenapa gue kagak dipuji sih."

"Iya Yan iya lo juga keren kok." Puji Raka padanya.

Kian menjawab malas. "Gue kan pengen pujian dari yang lain juga."

"Daripada lo mewek nih gue puji. Dari lubuk hati gue yang paling dalam lo keren banget main gitarnya Yan." Ini pertama kalinya Revan memuji seseorang selain Devan.

Kian takjub. "Mimpi apa gue dipuji sama lo Rev?"

"Gue seneng Rev, di atas panggung tadi lo bisa ketawa selepas itu. Seolah lo gak punya beban. Gue pengen liat lo kayak gituh terus meskipun gue udah gaada nanti." Kalimat itu terucap tiba-tiba dari Devan.

Revan tidak terima mendengarnya. "Maksud lo apa? Gue udah bilang kan gue paling gasuka kalau lo ngomong gitu. Lo ngerusak mood gue tau gak?"

"Tapi suatu saat itu bakal terjadi Rev." Jujur ini bukan yang diinginakan oleh Ardli, Kian dan Raka bahwa Devan malah membalas ucapan Revan.

Revan mencoba menahan emosinya. "Gue gakan pernah ngebiarin itu terjadi Dev!"

"Lo nyampurin hidup gue tapi gue gak boleh tahu tentang Haris musuh lo itu. Dan gue juga gak mau ngebiarin dia ngelakuin apa-apa ke lo Rev! Lo selalu ngehindar dari setiap pertanyaan gue, asal lo tahu apapun kejujuran lo nanti tentan si Haris gue bakal nerima kenyataannya! Lo selalu ngebantah kalau gue gak bisa bertahan! Rev terima kenyataan dong!" Devan malah membalas penuh emosi. "Lo tuh denial tau gak?!"

"TERSERAH LO DEV!"

Revan meninggalkan mereka begitu saja dengan langkah cepat. Saat ini dia tidak bisa berkata apa-apa lagi pada Devan. Bukan rasa marah tapi rasa sakit dan kecewa. Devan sendiri sekarang menyesali dengan perkataannya. Bagaimana sirat mata orang yang membentaknya tadi dipenuhi dengan luka.

.

.

.

.

.

To Be Continue..............

Jangan lupa untuk tinggalin vomment kalian ya, saran atau apapun itu. Author akan sangat senang mendapatkannya.  Maaf apabila story/ff ini masih banyak kekurangan.

1
Lourdes zabala
Makin ketagihan.
Earnist_: makasih banyak~
total 1 replies
ALISA<3
Bikin ketagihan deh.
Earnist_: wuah makasih reviewnya
total 1 replies
Sterling
Jleb banget!
Earnist_: hehe thank u kak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!