Putri Rosella Lysandrel Aetherielle, anak bungsu Kerajaan Vermont, diserahkan sebagai tawanan perang demi menyelamatkan tahta dan harga diri keluarganya.
Namun yang ia terima bukan kehormatan, melainkan siksaan—baik dari musuh, maupun dari darah dagingnya sendiri.
Di bawah bayang-bayang sang Duke penakluk, Rosella hidup bukan sebagai tawanan… melainkan sebagai alat pelampiasan kemenangan.
Dan ketika pengkhianatan terakhir merenggut nyawanya, Rosella mengira segalanya telah usai.
Tapi takdir memberinya satu kesempatan lagi.
Ia terbangun di hari pertama penawanannya—dengan luka yang sama, ingatan penuh darah, dan tekad yang membara:
“Jika aku harus mati lagi,
maka kau lebih dulu, Tuan Duke.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Luo Aige, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Batas antara mati dan terhina
Kabut malam merayap rendah di hutan sekitar barak militer, menggantung berat di antara batang-batang pohon seperti tirai kelabu yang menutup pandangan. Udara terasa lembap dan menusuk, membawa aroma tanah basah, lumut, dan dedaunan yang membusuk. Langkah kaki yang terlalu keras bisa membuat ranting kering patah, dan suara sekecil itu pun bisa berarti kematian malam ini.
Rosella bergerak perlahan, tubuhnya condong ke depan untuk menyeimbangkan langkah di tanah licin. Napasnya ditahan, dadanya naik-turun dengan ritme cepat namun terkendali. Semua akses keluar telah ia periksa sebelumnya—gerbang depan dipenuhi prajurit bersenjata, jalur sungai dijaga perahu patroli yang mondar-mandir tanpa henti, bahkan celah sempit di sisi timur, satu-satunya harapan, kini telah dipasangi barikade kayu dan kawat berduri.
Ia tahu, melangkah sedikit saja ke arah yang salah, ia akan berakhir di moncong senjata. Namun anehnya … tak satu pun prajurit melihatnya sejauh ini. Entah keberuntungan, atau ada sesuatu yang lebih gelap yang menuntunnya malam ini.
Rosella merunduk di balik semak, merapatkan tubuh pada batang pohon besar yang lembap. Ujung roknya kotor, terjilat lumpur, tapi ia tak peduli. Saat hendak bergerak lagi, telinganya menangkap suara samar—dua orang berbicara tak jauh darinya.
“Kau yakin jalur ini aman?”
“Aman. Duke akan lewat sini sendirian … dan satu peluru saja cukup untuk mengakhirinya.”
Rosella menegang. Otot-ototnya terasa kaku.
“Kau gila? Kalau ketahuan—”
“Tak akan ketahuan. Semua orang sibuk mencari gadis itu … Rosella, atau siapa pun dia. Begitu dia masuk ke jarak tembak, selesai sudah.”
Jantungnya berdegup kencang, darahnya mendingin. Orion … akan ditembak?
Bukan urusannya. Dia tidak peduli apakah pria itu selamat atau tidak. Tapi sebelum pikirannya sempat merangkai langkah berikutnya, terdengar derap langkah berat dari belakangnya—tenang, mantap, dan terlalu dekat.
“Oh … rupanya kau di sini, Putri?”
Rosella tersentak. Ia langsung berbalik dan tanpa pikir panjang, menempelkan telapak tangannya di mulut Orion.
“Jangan bersuara,” desisnya tajam, matanya memberi isyarat bahaya.
Orion tidak bergerak, hanya memandangnya singkat dengan tatapan dingin. Namun sebelum ia bisa menarik tangan Rosella, suara teriakan dari kejauhan memecah kesunyian hutan.
Cahaya obor mulai berpendar di antara kabut, bergerak tak beraturan—para pengejar. Langkah-langkah mereka berat, ranting patah di bawah sepatu bot, dan suara logam beradu terdengar di udara malam.
Tanpa peringatan, Orion meraih pergelangan tangan Rosella dan menariknya.
Langkahnya panjang, tegas, menembus kabut yang semakin tebal.
“Tetap di depan. Jangan menoleh,” ujarnya datar, namun nadanya membawa perintah yang tak bisa dibantah.
Rosella mencoba mengatur napas, tapi udara dingin menusuk paru-parunya, membuatnya tersedak tipis. Akar-akar pohon yang mencuat dari tanah menjadi jebakan mematikan di bawah kakinya, sementara suara pengejar semakin dekat.
Namun ada sesuatu yang membuatnya melambat—perasaan aneh di udara, seolah ada mata yang mengawasi dari kegelapan. Nalurinya berteriak. Ia menoleh cepat.
Dan di sanalah ia melihatnya—kilatan logam di antara kabut. Laras pistol terangkat, mengarah lurus ke punggung Orion.
Dentuman keras memecah malam, membelah kabut, dan waktu seperti melambat. Jalur peluru itu sempurna … terlalu sempurna untuk meleset.
Tanpa berpikir, Rosella menghentakkan kakinya dan mendorong tubuhnya sendiri ke depan Orion.
DOR!
Rasa panas membakar perutnya. Bukan seperti sayatan pisau yang dingin dan tajam, melainkan bara menyala yang merobek dari dalam, menggerogoti setiap saraf. Napasnya terputus, pandangannya sempat berkunang, dan dunia di sekelilingnya berguncang seperti hendak runtuh.
Tubuhnya limbung. Lututnya goyah, siap menyerah pada gravitasi. Namun sebelum ia jatuh, sebuah tangan besar dan kuat menangkapnya dengan gerakan cepat, menahan seluruh berat tubuhnya.
Tatapan biru dingin itu—milik Duke Orion—menelusuri wajahnya sebentar, tajam namun tanpa tanda panik. Seolah menilai kerusakan, bukan memeriksa keselamatan.
“Serius? Menghalangi peluru untukku?”
Nada suaranya datar, nyaris terdengar seperti ejekan, seakan hal itu adalah kebodohan yang tak pantas dibicarakan.
Rosella meringis. Darah hangat mulai mengalir dari sudut bibirnya, menetes ke tanah gelap. Tangannya menekan luka di perut yang berdenyut hebat, setiap denyut terasa seperti pukulan dari dalam. Meski napasnya berat, ia memaksa menatap balik, tatapannya membakar meski tubuhnya melemah.
“Tidak ada … yang boleh membunuhmu … kecuali aku .…”
Bisikannya terdengar patah-patah, disertai batuk kecil yang memuntahkan bercak darah, menodai tanah dan sepatu Orion.
Alis Orion terangkat sedikit. Bukan senyum yang muncul, melainkan helaan napas pendek—suara yang lebih mirip rasa jengkel daripada simpati. Ia berlutut sedikit, menekan luka di perut Rosella dengan telapak tangannya sendiri, tekanan itu keras dan tanpa kompromi.
“Lukanya dalam,” ujarnya singkat. “Jangan mati di sini.”
Teriakan marah dari para pengejar memecah kabut di kejauhan. Derap langkah berat menghantam tanah basah, bercampur bunyi gesekan logam senjata yang beradu dengan baju zirah. Kabut membawa gema suara itu, membuatnya terdengar lebih dekat dari kenyataan.
Orion melirik ke arah suara tersebut—sekilas, cepat—lalu kembali menatap Rosella. Tanpa satu kata pun, ia memutuskan sesuatu. Tangannya meraih pinggang gadis itu, mengangkatnya ke gendongan seperti membawa beban yang tak bisa ditinggalkan.
“Berat,” komentarnya datar, tanpa ironi. “Tahan hidupmu.”
Langkahnya mantap, memotong kabut dan bayangan hutan dengan arah yang pasti.
Di gendongannya, Rosella merasakan dunia di sekelilingnya berputar: cahaya obor yang menjauh dan mendekat, aroma tanah basah bercampur keringat, suara napas berat sang Duke yang teratur di dekat telinganya.
Rasa nyeri di perutnya membuat setiap tarikan napas seperti tusukan pisau, namun pelukan kokoh itu menahan tubuhnya agar tidak terlepas. Darahnya merembes, membasahi mantel gelap Orion, menetes dari ujung kain ke tanah becek, meninggalkan jejak samar di belakang mereka.
Namun Orion tidak melepaskan. Tatapan dinginnya tetap fokus ke jalur di depan, seolah peluru tadi hanyalah gangguan kecil yang harus disingkirkan.
Di belakang mereka, suara pengejar semakin marah. Teriakan bercampur sumpah serapah terdengar jelas, langkah-langkah berat memecah malam. Cahaya obor meloncat-loncat di antara kabut, memberi ilusi bahwa hutan itu dipenuhi mata yang memburu mereka.
Kabut mulai menipis saat Orion menembus batas hutan menuju jalan berbatu yang mengarah ke barak militer. Di kejauhan, cahaya obor dari menara jaga berpendar samar, seperti mercusuar yang mengintip di tengah gelap.
Rosella mulai terasa lebih berat di gendongan. Bukan karena bobot tubuhnya berubah, melainkan karena tenaganya yang menguap perlahan. Nafasnya semakin lemah, tubuhnya mulai lunglai.
Orion menunduk sedikit, matanya cepat memeriksa luka di perutnya. Balutan darurat dari kain dan tangannya sendiri sudah basah oleh darah segar. Ia bisa merasakan hangatnya menembus kulit meski terhalang sarung tangan tipis.
“Kau kira.” Suaranya datar, “setelah menghalangi peluru untukku, aku akan berbelas kasih padamu?”
Rosella membuka matanya setengah. Bibirnya melengkung samar, wajahnya pucat namun tatapannya tetap hidup.
“Tidak … aku bahkan … tidak mengharapkan itu … darimu.”
Orion mengerling sekilas, sudut matanya menangkap darah yang kembali mengalir dari sudut bibir gadis itu.
“Dasar cari mati,” ucapnya singkat—nada yang terdengar seperti fakta, bukan kemarahan.
Rosella menarik napas pelan, setiap kata yang ia ucapkan membuat nyeri di perutnya semakin tajam.
“Kalau harus mati ….” Suaranya lirih, nyaris terbawa angin malam. “Lebih baik … dengan keadaan seperti ini … daripada mati dalam keadaan terhina.”
Orion tidak menjawab. Tatapannya lurus ke depan, namun genggamannya di pinggang Rosella menguat, seolah tubuh itu adalah harta yang tidak boleh jatuh di tengah jalan.
Rosella mencoba membuka mulut lagi, namun suaranya hilang. Nafasnya menjadi pendek dan cepat, pandangannya kabur. Cahaya obor di kejauhan tampak berpendar dan pecah, seperti bintang yang hampir padam.
Orion menyadari perubahan itu.
“Jangan pingsan di sini,” katanya datar, namun intonasinya membawa perintah yang tak bisa dibantah.
Rosella mencoba merespon, tapi hanya suara serak yang keluar. Kelopak matanya berat, kepalanya jatuh ke bahu Orion.
“Rosella.”
Tidak ada jawaban.
Orion menghela napas pendek. Bukan helaan pasrah, melainkan seperti seseorang yang menerima beban baru yang merepotkan. Langkahnya dipercepat, tubuhnya condong ke depan, memotong jarak menuju gerbang barak.
Cahaya menara jaga kini semakin besar, suara penjaga mulai terdengar. Dan di tengah malam yang dingin itu, hanya satu hal yang pasti—Rosella masih hidup… setidaknya sampai Duke Orion memutuskan sebaliknya.
~oo0oo~
Lorong sayap barak itu sunyi, hanya diterangi cahaya obor yang bergoyang di dinding batu. Bayangan api menari liar di permukaan, membuat siluet dinding tampak hidup, seperti ada sesuatu yang bernafas di antara retakan batu tua itu. Aroma asap obor bercampur udara malam yang dingin menempel di kulit, menyusup ke paru-paru setiap kali bernapas, meninggalkan sensasi berat di dada.
Orion berdiri di depan pintu kamarnya. Tubuhnya tegap, bahunya lebar, kedua tangannya menyangga Rosella yang tak sadarkan diri di gendongannya. Kepala gadis itu terkulai lemah di bahunya, rambut pirangnya berantakan dan lembap oleh keringat dingin. Helaan napasnya pendek, nyaris tak terdengar, dan darah dari balutan daruratnya telah meresap ke mantel Orion—meninggalkan noda gelap yang masih hangat di kain tebal itu.
Tanpa ragu, ia mendorong pintu. Engsel tua berderit pelan, memecah kesunyian lorong. Udara hangat ruangan langsung menyergap mereka, kontras dengan gigitan dingin di luar. Orion melangkah masuk, menutup pintu dengan tumitnya. Kakinya berderap pelan di lantai kayu menuju ranjang besar di sudut ruangan. Gerakannya terkendali—tidak tergesa, namun juga tidak lembut—saat ia menurunkan Rosella, memastikan tubuhnya tertopang dengan benar.
Tabib yang sudah menunggu segera maju, membawa baskom berisi air panas yang masih beruap dan kain bersih. Orion mundur setengah langkah, memberi ruang tanpa benar-benar menjauh. Matanya mengunci setiap gerakan tabib itu—membuka balutan kotor, membersihkan darah, membungkus luka dengan kain baru. Tatapannya tajam, mengawasi seolah satu kesalahan kecil saja akan menjadi alasan untuk menebas leher.
Beberapa menit kemudian, tabib menunduk hormat, lalu keluar ruangan tanpa sepatah kata. Suara pintu menutup meninggalkan keheningan yang lebih tebal, seakan dinding menyerap semua bunyi.
Rosella terbaring di sana—pucat, bibirnya kehilangan warna, rambutnya yang biasanya jatuh rapi kini kusut di atas bantal. Napasnya tipis namun stabil, selimut tipis menutupi tubuhnya hingga dada, mengikuti gerakan dadanya yang nyaris tak terlihat.
Orion berdiri di sisi ranjang. Bahunya sedikit condong ke depan, tatapannya memaku wajah itu, seakan mencoba membongkar isi pikirannya meski ia tak sadarkan diri. Kata-kata yang diucapkan gadis itu di perjalanan tadi terngiang jelas di benaknya, menggema seolah baru saja keluar dari bibirnya:
“Kalau harus mati … lebih baik … dengan keadaan seperti ini … daripada mati dalam keadaan terhina.”
Alisnya sedikit berkerut. Ia membungkuk, hanya cukup dekat agar suaranya akan terdengar jika Rosella terjaga. Nada suaranya rendah, dingin, dan nyaris datar—tidak menyiratkan kelembutan, namun juga tidak benar-benar kosong.
“Mati dengan cara seperti itu? Hm ....”
Tatapannya bertahan di wajah pucat itu beberapa detik lebih lama. Ada sesuatu di balik matanya yang sulit dibaca—mungkin penilaian, mungkin rasa ingin tahu yang tidak diakuinya sendiri.
“Jangan mati sebelum aku mengatakannya.”
Kata-kata itu meluncur tenang, tanpa intonasi manis, tapi membawa sesuatu yang samar—campuran ancaman dan janji yang sama-sama tidak ingin diuji.
Orion meluruskan punggungnya, lalu berbalik menuju pintu. Langkahnya pelan, nyaris tak terdengar, hanya bunyi gesekan mantel yang mengikuti. Ia menarik pintu hingga hampir tertutup, membiarkannya sedikit terbuka sebelum melangkah keluar.
Lorong kembali sunyi. Cahaya obor yang bergoyang menciptakan bayangan panjang di lantai batu, seperti tangan-tangan yang meraih dari kegelapan. Orion berhenti sejenak, punggungnya bersandar pada dinding dingin. Tatapannya kosong menembus ujung koridor, namun pikirannya tidak tenang. Kata-kata Rosella berputar di benaknya, berulang-ulang, menolak menghilang seperti noda darah yang membandel.
Senyum tipis—nyaris tak terlihat—terbentuk di sudut bibirnya.
“Keadaan seperti itu? Hm … kita lihat nanti Putri. Apakah kau masih berani mengulanginya di hadapanku?”
.
.
.
Bersambung ....
Orion Von Draevenhart
...
...